Mayoritarianisme Presidensial

Sumber Image: liputan6.com

Dalam artikelnya yang sangat berpengaruh dan telah menjadi klasik, ”The Perils of Presidentialism” (1990), Juan Linz, seorang ilmuwan politik terkemuka, telah memberikan peringatan bahwa sistem pemerintahan presidensial memiliki tiga risiko bawaan (perils), yaitu dual legitimacy, rigidity, dan majoritarian tendency.

Dual legitimacy (legitimasi ganda) terjadi karena dua institusi, yakni presiden dan legislatif, mendapat mandat langsung dari rakyat. Keduanya bisa mengklaim paling mewakili rakyat. Kalau mereka tak dapat bekerja sama, bisa terjadi kebuntuan dan saling adu kekuatan.

Rigidity (kaku) karena presiden dipilih untuk masa jabatan tertentu dan tak bisa dihentikan di tengah jalan, kecuali karena alasan kriminal atau pengkhianatan terhadap konstitusi. Jika dapat presiden yang buruk, maka harus menunggu sampai akhir masa jabatannya. Bila digabung dengan sistem multipartai, dua risiko ini menjadi lebih buruk (Mainwaring, 1993) karena akan didapat presiden minoritas (dukungan legislatif kurang dari 50 persen).

Majoritarian tendency (mayoritarianisme presidensial) adalah potensi presiden, karena kekuasaannya yang lebih besar dan hanya melekat pada satu orang, untuk menundukkan legislatif dan partai-partai politik agar tanpa oposisi yang kuat mengikuti semua atau sebagian besar keinginan presiden. Kecenderungan ini akan membawa sistem pemerintahan dan politik jadi otoriter (authoritarian).

Dua risiko pertama tampaknya relatif tak terjadi di Indonesia, setidaknya hingga saat ini. Kebuntuan hubungan presiden dan DPR relatif tak terjadi. Soal presiden yang buruk tentu bisa diperdebatkan. Namun, secara umum, sejak sistem presidensial dijalankan penuh mulai 2004, dua risiko pertama tak mewujud sampai tahap mengganggu pemerintahan atau demokrasi.

Kecenderungan ini sejalan dengan perkembangan sistem presidensial multipartai di seluruh dunia. Presiden, meski memiliki partai minoritas di lembaga legislatif, umumnya dapat membentuk koalisi yang bisa menopang kebijakan-kebijakannya. Ini membantah sekaligus tesis Linz dan Mainwaring tentang dua risiko pertama.

Kini muncul teori atau pendekatan baru dalam studi tentang sistem presidensial multipartai yang disebut coalitional presidentialism atau presidensialisme koalisional (Chaisty dkk, 2018). Namun, risiko ketiga yang disebut Linz tampaknya justru potensial terjadi di era presidensialisme koalisional.

Kecenderungan terbangunnya koalisi yang sangat besar (oversized) memberi jalan bagi potensi terjadinya mayoritarianisme presidensial. Indonesia tak luput dari kemungkinan ini, terutama di era koalisi Presiden Joko Widodo. Setidaknya ada dua faktor yang dapat mendorongnya.

Pertama, kemauan dan kemampuan presiden untuk mengajak semua kekuatan politik, terutama partai-partai di lembaga legislatif untuk bergabung dalam koalisi pemerintahannya. Kedua, hasrat yang besar dari para politisi untuk menjadi bagian dari koalisi presiden. Berada di luar pemerintahan dianggap tidak menarik dan tidak menguntungkan.

*Kuatnya presiden*

Kesan bahwa kalau pemerintah (baca: presiden) sudah memiliki agenda cenderung akan dipenuhi DPR memang mulai mengemuka sejak periode kedua kepresidenan Jokowi.

Tiga contoh kasus dapat disebut. Pertama, revisi Undang-Undang KPK tak pernah lolos sejak periode pemerintahan SBY hingga periode pertama pemerintahan Jokowi. Sebab utamanya satu, yaitu presiden tak setuju untuk merevisinya. Namun, di awal periode kedua Jokowi, Presiden setuju sehingga revisi itu lolos sekalipun mayoritas publik menentang.

Kedua, Undang-Undang Cipta Kerja. Sekalipun kontroversial dan menimbulkan demonstrasi besar di banyak tempat, UU ini lolos dengan cepat. Sebab utamanya satu, yaitu kebijakan itu adalah agenda presiden.

Ketiga, batalnya revisi Undang-Undang Pemilu menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Hampir semua kekuatan politik di DPR sudah lama mengagendakan dan cenderung sepakat untuk merevisinya. Para pakar dan praktisi pemilu umumnya juga menganjurkan pentingnya revisi ini.

Namun, rencana itu berubah dengan drastis setelah presiden (pemerintah) menyatakan tak menyetujuinya. Bahkan, ada partai yang hanya dalam waktu sehari berubah pikiran dari merevisi menjadi tak merevisi setelah bertemu presiden.

Ketiga kasus itu adalah contoh betapa kuatnya presiden dan betapa potensinya untuk menundukkan legislatif tanpa oposisi yang memadai bisa terjadi. Teori presidensialisme koalisional memang menunjukkan bahwa presiden memiliki berbagai perangkat atau instrumen untuk dipakai dalam berhadapan dengan legislatif ketika hendak meloloskan kebijakannya (the presidential toolbox) dan memelihara koalisi.

Pertama, presiden memiliki kekuasaan legislatif (legislative powers). Di Indonesia, kekuasaan ini sangat besar. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) apa pun untuk dibahas bersama DPR. Terhadap RUU yang diajukan DPR, presiden punya hak menolak untuk membahasnya. Semua RUU harus dibahas bersama-sama presiden sampai didapatkan persetujuan bersama.

Presiden juga punya hak eksklusif mengajukan RUU APBN. Kata David Easton (1965), politik adalah pengalokasian sumber daya secara otoritatif. Karena itu, salah satu lokus utama politik adalah anggaran, seperti APBN. Presiden, dalam konteks alokasi sumber daya, adalah penentu utama politik karena memegang kendali atas perencanaan alokasi anggaran.

Ketika sudah jadi APBN, kendali atas pelaksanaan anggaran juga dipegang presiden. Selain itu, kekuasaan legislatif presiden juga dilengkapi dengan kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dalam situasi yang dianggap darurat. Perppu bisa dikeluarkan presiden dalam hitungan jam.

Kedua, presiden memiliki kekuasaan membentuk kabinet (cabinet powers). Presiden punya otoritas penuh untuk mengalokasikan kursi-kursi kabinet kepada partai-partai sebagai pengikat untuk menjadi anggota koalisi pendukungnya. Bila ketua-ketua partai atau pimpinan utama partai yang jadi anggota kabinet, maka peluang presiden untuk secara tak langsung mengendalikan perilaku politik partai jadi lebih besar. Tentu saja ini bisa berbeda dari satu partai ke partai lain.

Ketiga, presiden juga mengontrol berbagai sumber daya spesifik yang bisa juga menjadi alat transaksi atau tawar-menawar dengan berbagai partai politik sebagai ganti dukungan kepada kebijakan atau usulan atau keinginan presiden (exchange of favors). Di Indonesia kategori ini banyak sekali.

Sekadar beberapa contoh adalah berbagai jabatan non-kementerian, berbagai posisi duta besar, berbagai posisi di perusahaan-perusahaan negara, bahkan dalam batas kewenangannya presiden bisa menciptakan posisi-posisi baru untuk mengakomodasi yang diinginkan partai-partai politik.

Berbagai kekuasaan presiden ini tidak mudah dikesampingkan bila ditawarkan kepada partai-partai politik. Bila tawaran itu disambut atau malah dilamar oleh sebagian besar partai politik, presiden akan memiliki dukungan politik legislatif (partisan powers) yang sangat besar dan dapat meloloskan apanpun kebijakan presiden, terutama apabila partisan powers atau koalisi ini bisa dijaga soliditasnya oleh presiden.

*Tanggung jawab etis para elite*

Di periode kedua ini tampak jelas adanya keinginan dan kemauan presiden membangun partisan powers yang sebesar dan seluas mungkin. Kemauan presiden ini bergayung sambut dengan partai-partai politik.

Terlihat jelas partai-partai lebih suka berada dalam barisan pendukung pemerintah ketimbang jadi oposisi. Maka, kekuatan politik formal yang resmi di luar pemerintahan tinggal sekitar 18 persen saja (Demokrat dan PKS). Oposisi kritis terhadap kebijakan atau usulan presiden jadi ”hampir tak terdengar”, tenggelam disapu gelombang partisan powers presiden yang kekuatan formalnya di legislatif lebih dari 80 persen.

Dapat dikatakan bahwa potensi mayoritarianisme presidensial sangat nyata di Indonesia. Bila ini mewujud, maka jalan kembali ke otoritarianisme terbuka lebar. Salah satu jalan pembuka yang kini ramai dibicarakan adalah penundaan atau pembatalan Pemilu 2024 yang berimplikasi pada masa jabatan presiden dan jabatan legislatif lain. Potensi mayoritarianisme presidensial ini hanya bisa dihalangi oleh tiga hal.

Pertama, oposisi yang besar dari publik. Ada 25-30 persen publik yang selalu beroposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Ini tecermin dari tingkat kepuasan kepada presiden sejak awal periode kedua selalu di 65-70 persen kurang lebih, selebihnya selalu menyatakan tak puas. Namun, oposisi publik bisa juga diharapkan dari pendukung presiden yang lebih kritis, rasional, dan berpegang teguh pada konstitusi.

Ini bukan harapan kosong. Menurut survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) akhir Februari-awal Maret, sekitar 60 persen publik yang puas dengan kinerja presiden tetap menyatakan menolak perpanjangan masa jabatan presiden baik karena alasan ekonomi, pandemi, maupun keberlanjutan pembangunan ibu kota negara (IKN) yang baru.

Masih ada harapan mayoritarianisme presidensial tidak terjadi bila melihat sikap publik. Namun, publik tak punya akses langsung kepada kebijakan. Karena itu, sekali lagi, kalau partai-partai politik bersepakat bersama presiden, maka proses kebijakan politik formal bisa mengabaikan suara publik tersebut. Tentu akan ada konsekuensi kalau jalan ini diambil, misalnya perlawanan publik.

Kedua, yang bisa membatasi adalah konstitusi. Tegas konstitusi kita membatasi kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Kekuasaan presiden, menurut konstitusi, tidak tak terbatas. Namun, perubahan konstitusi secara politik bergantung pada kemauan partai-partai, meski ada Dewan Perwakilan Daerah, karena kekuasaan paling besar dalam perubahan konstitusi ada di DPR.

Maka, bila partai-partai membaca bahwa presiden menginginkan perpanjangan masa jabatan melalui amendemen konstitusi dan mereka sepakat dengan presiden, konstitusi yang ada tidak kuasa untuk menghalangi munculnya mayoritarianisme presidensial.

Harapan utama untuk menghalangi munculnya mayoritarianisme presidensial kini ada di faktor ketiga, yaitu tanggung jawab etis para elite. Presiden dan para elite pengambil kebijakan tertinggi negara, baik di eksekutif maupun legislatif, bisa mencegah munculnya mayoritarianisme presidensial kalau mereka mau menahan diri dan lebih memikirkan nasib politik bangsa untuk jangka panjang.

Menyadur Acemoglu dan Robinson, dalam Why Nations Fail (2012), jalan otoritarianisme memang sering menarik, terutama dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, jalan demokrasi itu, antara lain dengan pembatasan masa jabatan kekuasaan, terbukti merupakan jalan yang jauh lebih baik dalam sejarah perjalanan bangsa-bangsa.

Namun, keduanya juga mengingatkan dalam The Narrow Corridor (2019) bahwa jalan demokrasi itu seperti lorong yang sempit, sering terasa tidak enak dan membuat kita tak sabar menjalaninya sehingga kalau tidak hati-hati, kita akan mudah tergelincir kembali ke otoritarianisme.

 

Oleh:

DJAYADI HANAN

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)

KOMPAS, 10 Maret 2022

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/09/mayoritarianisme-presidensial

You may also like...