Mem (Pidana) Kan Boediono

Rapat Timwas Centrury bersama DPR (10/11) selasa kemarin. Kembali memunculkan polemik. Benarkah Boediono dapat diperiksa oleh KPK ?

Blunder Abraham Samad (AS) yang memicu banyak polemik. Diawali dengan pernyataannya: “Penanganan kasus Bank Century yang terkait dengan dugaan keterlibatan Wakil Presiden (Wapres) Boediono harus ditangani DPR untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). KPK tak berwenang menangani kasus itu karena Wapres adalah warga negara istimewa.”

Sebenarnya AS tidak salah-salah amat. Namun “bola liar” yang dilempar oleh AS. Seolah-olah KPK saat ini “lepas tangan” terhadap keterlibatan Boediono dalam kasus Century. Padahal KPK adalah lembaga superbody yang akhir-akhir ini diharapkan dapat menuntaskan semua kasus-kasus korupsi di negeri ini. Bukankah kasus Century adalah kasus prioritas sebagaimana Abraham Samad dulu pernah berjanji sebelum dilantik menjadi ketua KPK ?

Hemat saya, dengan melihat kasus yang menjerat Boediono. Kalau toh memang KPK memiliki bukti permulaan cukup, terhadap keterlibatan Boediono dalam kasus Century. Kasus korupsi hingga  merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun berdasarkan temuan Timwas Century DPR RI. Ada baiknya KPK lebih mengedepankan hukum pidananya. Hal ini berangkat dari beberapa argumentasi diantaranya:

Pertama: kebijakan yang diambil oleh Boediono pada waktu itu. Pada saat beliau menjabat sebagai Gubernur BI.  Dalam konteks daya keberlakuan hukum berarti ini termasuk dalam lingkup keberlakuan berdasarkan waktu (lex temporalis). Tidak mungkinlah Boediono dijerat sebagai pejabat yang salah mengambil kebijakan dalam posisi ini. Karena yang dimaksud dalam Pasal 7 A adalah jabatannya sebagai wakil Presiden yang melakukanan penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan atau perbuatan tercela lainnya. Sementara dugaan Boediono melakukan tindak pidana korupsi waktu itu masih menjabat sebagai Gubernur BI. Artinya Pasal 7 A tidak dapat menjadi landasan kuat untuk memproses Boediono secara politik.

Kedua: KPK memang pada dasarnya berwenang melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara negara. Dengan merujuk pada kewenangan legalitas yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang KPK). Pasal 11 huruf (a) menegaskan bahwa “KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.” Dengan penafsiran sistematis. Melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal tertentu sebagai suatu kesatuan yang sistematis dengan ketentuan lainnya. Maka penafsiran “Penyelenggara Negara” dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebagaimana  Pasal 1 angka (1) UU Nomor 28 Tahun 1999, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dengan demikian KPK di sini tidak ada alasan bahwa Wakil presiden adalah warga negara istimewa. Bukankah juga dalam konstitusi kita, Pasal 27 menegaskan semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum ? equal justice under law adalah jurus jitu, jurus pamungkas yang jelas-jelas memberi legalitas bagi KPK untuk memproses Boediono dalam kasus pidana.

Ketiga: adalah amat sulit jika Boediono harus diproses secara politik. Untuk mengorek kebijakan-kebijakannya yang salah melalui impeachment. Karena suara DPR untuk mendapat persetujuan proses menuju impeachment, untuk selanjutnya diserahkan kepada MK minimal 2/ 3 yang sepakat dari 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir. Menghadirkan saja anggota DPR dalam jumlah yang demikian, adalah pekerjaan berat. Belum lagi Parlemen saat ini lebih banyak dikuasai oleh partai Demokrat (partai koalisi pemerintah) dan beberapa kawan koalisinya (seperti Golkar, PPP, PKB, PAN). Karena itu jika sekiranya berharap pada Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR, adalah sebuah kemustahilan. Bukan juga berarti tidak percaya terhadap wakil rakyat kita. Tetapi itulah sunnatullah politik sistem Presidensialisme kita yang terjebak dalam koalisi yang “gemuk”.

Keempat: dalam kajian Hukum Tata Negara dikenal dua mekanisme pemberhentian  kepala negara/ kepala pemerintah, yaitu melalui impeachment dan forum previlegiatum (Denny Indrayana: 2008). Impeachment (pemakzulan) adalah proses badan legislatif (DPR) secara resmi menjatuhkan dakwaan kepada pejabat tinggi negara pada umumnya. Sedangkan previlegiatum adalah konsep pemberhentian pejabat tinggi negara yang memiliki posisi strategis di pemerintahan melalui mekanisme peradilan khusus (special legal proceedings). Prosesnya dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional dari tingkat bawah. Forum previlegatum ini di negara kita, dikombainkan dengan mekanisme impeachment. Impeachment dijalankan oleh DPR sebagaimana yang dibenarkan oleh konstitusi. Sedangkan forum previlegiatum-nya adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Bahwa dakwaan DPR atas Presiden/Wakil Presiden harus dibuktikan terlebih dulu oleh MK. Meskipun sekiranya tidak sama dengan MK dan pengadilan Tipikor dalam konteks adanya forum previlegiatum, dimana seoarang tersangka yang kemudian dapat dilimpahkan pada pengadilan Tipikor. Namun melalui pengadilan Tipikor bukankah seorang tersangka juga dapat dipercepat penyelesaian perkaranya. Yang tentunya tidak jauh berbeda dengan prinsip yang dianut dalam forum previlegatum,  bahwa pejabat yang diadili perkaranya mesti dipercepat. Dan kalau memang terbukti bersalah setelah melalui peradilan pidana (baca Tipikor) DPR, MK, dan MPR secepatnya mengambil sikap untuk melakukan impeachmnet terhadap Wakil Presiden itu

Akhirnya kembali semua di tangan KPK. Soliditas AS beserta rekan sejawatnya. Untuk menuntaskan kasus century. Tidak melepas tangan terhadap kasus Century. Agar ditangani oleh DPR saja, agar Boediono diproses secara politik saja. Namun yang jelas, kita semua rakyat Indonesia juga tidak mau wakil presiden kita demikian lama tersandera dengan isu century. KPK harus memperjelas poisisi Boediono secepatnya.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...