Memahami Luka Berat Novel

La Said Sabiq, Mahasiwa Magister Hukum UIT Makassar

Kasus Novel Baswedan serupa lembaran yang menarik. Alur ceritanya menyita perhatian publik. Menguras energi bersosial media kita. Tidak hanya bagi kalangan pembelajar hukum, publik luas juga tergiring membaca seluruh kronologi yang melingkupinya.

Kita disuguhi banyak istilah hukum yang unik. Dengan membuka wacana, bahwa bahasa hukum ternyata tidak sesederhana definisi bahasa sosial. Ia bergerak dalam tafsir sendiri.

Belum juga beres persoalan diksi “sengaja atau tidak sengaja”, kita kembali ditarik dalam pertarungan pemaknaan terhadap “Luka Berat” (zwaar lichamelijk letsel). Gelanggang tafsir kembali dibuka, para insan hukum kembali bertarung pendapat, sedang publik kembali tersuguhi asumsi, bahwa bahasa hukum tidak bisa dimaknai secara serampangan.

Lalu bagaimana hukum kita memberi makna pada “luka berat”, dan apakah luka yang disebabkan oleh penyiraman air keras pada wajah Novel Baswedan terkategori luka berat dalam bahasa hukum?

KUHP

Berdasarkan Pasal 90 KUHP luka berat dimaknai, jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu pancaindera; mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Soesilo dan R. Soegandhi kemudian memberi tafsir bahwa Luka Berat, kehilangan salah satu pancaindera adalah “tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindra (penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit).” Dipertegas bahwa “orang yang buta satu mata atau tuli satu telinga, belum masuk dalam pengertian ini, karena dengan mata dan telinga yang lain ia masih dapat melihat dan mendengar”.

Lalu pada unsur “mendapat cacat berat”, kedua pakar tersebut menjelaskan bahwa “kudung (romping) dalam teks Belanda-nya Verminking, cacat sehingga jelek rupanya, karena ada sesuatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya romping, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya”.

Penjelasan mendapat cacat berat sifatnya lebih umum jika dibandingkan dengan kategori luka berat, kehilangan salah satu panca indra. Sebab segala bentuk kehilangan panca indra, baik salah satu atau keduanya, ia tentu terkategori sebagai kejadian”mendapat cacat berat.”.

Jika demikian adanya, maka kategori “kehilangan salah satu panca indra” merupakan jenis kejadian yang mubadzir, dan berpotensi melahirkan tafsir yang bias terhadap luka yang dialami oleh korban kekerasan.

Hoge Raad

Dalam sebuah putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda), memberikan penjelasan tentang luka berat. Bahwa Pasal 90 KUHP tidak memberikan definisi yang jelas, dan hanya menyebutkan kejadian-kejadian tanpa batasan.

Pada putusan lain (31 Oktober 1904-W. 8136) Hakim berpendapat bahwa, luka berat merupakan suatu luka dengan akibat yang parah juga permanen, kehilangan sebagian besar daun telinga (salah satunya), sudah termasuk “zwaar lichamelijk letsel (luka berat).

Merujuk pada beberapa pendekatan ini, baik dua pakar hukum maupun beberapa putusan Hoge Raad, sepanjang mengenai kehilangan salah satu panca indra, tidak satupun memberikan definisi dan batasan yang jelas terhadap jenis kejadian ini. Meskipun Hakim mempunyai kebebasan untuk menganggap setiap luka pada tubuh (lichamelijk letsel), sebagai luka berat di luar kejadian-kejadian di atas, tetapi Hakim tidak boleh secara serampangan menyematkan istilah luka berat.

Hoge Raad kemudian memberikan batasan pada tindakan hakim, bahwa luka itu haruslah demikian parah dan merupakan luka yang menimbulkan kerugian yang berlanjut bagi orang yang luka itu. Sekali lagi, hal ini tentu berpotensi melahirkan tafsir yang luas juga bias.

Novel Baswedan

Padal dasarnya, Tuhan menciptakan beberapa bagian panca indra berpasang-pasangan. sejatinya ia adalah bentuk kesempurnaan. Kehilangan salah satu mata atau kuping, membuat alat indra tersebut tidak lagi terkategori sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut harulah dimaknai verminking yang menyebabkan buruknya rupa, sehingga harus pula dikategori sebagai zwaar lichamelijk letsel (luka berat).

Secara faktual Novel Baswedan kehilangan satu matanya dan mengalami malfungsi pada bagian kulit wajahnya. Sayangnya, jika merujuk pada tafsir dari dua pakar di atas, maka luka yang timbul akibat penyiraman air keras terhadap Novel, bukan merupakan “Luka Berat”. Sebab Novel masih dapat melihat dengan mata yang lainnya, juga kerusakan indra kulit pada wajahnya tidak serta merta menghilangkan fungsi keseluruhan panca indra kulitnya.

Ia hanya bisa dikatakan sebagai luka berat jika dimasukkan dalam kategori mendapat cacat berat. Oleh karena itu, rumusan kehilangan salah satu panca indra tidak lagi relevan dan tidak manusiawi. Bayangkan saja, seseorang yang mengalami luka kehilangan salah satu kuping atau matanya, jika merujuk rumusan kategori ini, bukan merupakan luka berat.

Bahasa hukum selalu hadir dengan tafsir-tafsirnya yang unik, tetapi lebih dari itu, rumusannya selalu disandarkan pada prinsip keadilan dan kemanfaatan yang berprikemanusiaan.*

 

Oleh:

La Said Sabiq

Mahasiwa Magister Hukum UIT Makassar

You may also like...