Memaknai Pembatalan Status tersangka SN

PUTUSAN praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. yang dibacakan oleh hakim tunggal Cepi Iskandar (CI) dalam amar keduanya, berbunyi: “menyatakan penetapan tersangka terhadap pemohon Setya Novanto (SN) yang dikeluarkan oleh termohon (KPK) berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, tidak sah.”

Pasca pembacaan putusan praperadilan itu, banyak kalangan yang sulit menerimanya. Ada yang mengatakan kalau pertimbangan Hakim CI telah keliru. Ada pula yang menilainya, bahwa ia (yang mulia) tidak memperlakukan termohon (KPK) secara equal atau non auditaur et altera pars.

Sumber Gambar: republika.co.id

Tersangka (SN)

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, setelah membaca secara utuh putusan praperadilan yang membatalkan penetapan tersangka SN dalam dugaan korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis NIK secara nasional. Penilaian pribadi penulis: “putusan a quo sudah dalam rel hukum yang sesungguhnya, sudah tepat, dan memang penetapan status tersangka SN layak dibatalkan.

Sebelum mengemukakan alasan-alasan tersebut, satu hal yang perlu diterangkan kepada publik, bahwa Putusan Praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel, sama sekali tidak menjadikan alasan pembatalan status tersangka atas nama SN perihal sah atau tidaknya kewenangan penyidik KPK. Sebagaimana yang banyak diberitakan oleh berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

Hal demikian tertera dengan jelas dalam pertimbangannya: “…dalam permohonan pemohon tidak dicantumkan nama-nama yang menjadi keberatan pemohon, maka menurut hakim praperadilan, permohonan khusus untuk keberatan tersebut menjadi tidak jelas siapa yang dimaksud nama-nama penyidik dan penyelidik, mengakibatkan permohonan khusus tersebut menjadi kabur. Oleh karena itu, permohonan khusus hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh dan dikesampingkan….” (Lihat: Hlm. 217).

Hanya ada dua persoalan mendasar, sehingga penetepan tersangka SN layak dinyatakan batal oleh hakim CI. Pertama, penetapan tersangka terhadap SN dilakukan di awal penyidikan, padahal seharusnya dilakukan di akhir penyidikan (Lihat: Hlm.  227).  Kedua, alat bukti yang dijadikan dasar dalam penetapan tersangka SN, adalah alat bukti dari hasil pemeriksaan perkara orang lain, yaitu berasal dari perkara Irman dan Sugiharto yang telah divonis dalam Pengadilan Tipikor (Lihat: Hlm. 233).

Penting untuk dipahami bersama, bahwa memang bertentangan dengan undang-undang dan prinsip due process of law ketika seorang ditetapkan sebagai tersangka padahal belum pernah terperiksa dalam status calon tersangka (Lihat: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014).

Terdapat pendapat bahwa KPK dapat saja menetapkan seseorang sebagai tersangka di awal penyidikan, oleh karena dalam tahap penyelidikan telah diberikan kewenangan kepadanya untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup (Lihat: Pasal 44 ayat 1 UU KPK).

Dalam hemat penulis, memang penyelidik KPK dapat mengumpulkan alat bukti di tahapan penyelidikan, namun tidak berarti sudah dapat menetapkan seorang sebagai tersangka. Bagaimanapun, penetapan tersangka haruslah di akhir penyidikan.

Adapun dasar argumentasi penulis: Pertama, Pasal 44 ayat 3 UU KPK ditegaskan, “Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK “menghentikan” penyelidikan.”

Apa maksud dalam Pasal 44 ayat 3 a quo yang terdapat frasa KPK menghentikan penyelidikan? Hal demikian secara implisit memberikan makna, karena masih dapatnya “penyelidikan dihentikan” dalam hal alat bukti tidak cukup, maka di tingkat penyelidikan sasarannya adalah bukan pada si pelaku yang diduga melakukan tindak pidana, akan tetapi baru pada peristiwa pidana atau baru pada perbuatan pidana, makanya penyelidikan dapat dihentikan (Bedakan dengan penghentian penyidikan. Lebih lanjut lihat: Pasal 40 UU KPK).

Kedua, berdasarkan paham dualisme, yaitu ajaran yang memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility (sebagaimana yang dianut pula dalam KUHAP). Dengan dipisahkannya antara proses penyelidikan dan penyidikan, maka dua proses pemeriksaan tersebut terdapat perbedaan prinsipil.

Penyelidikan bertujuan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan bertujuan untuk menentukan siapa tersangkanya (Lihat: Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP) .

Tahap Penyidikan

Alasan kedua, sehingga hakim praperadilan CI membatalkan penetapan tersangka SN:  “…Tidak boleh diambil langsung menjadi bukti dalam perkara a quo, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan prosedur. Apabila termohon akan melakukan upaya paksa penyitaan harus dalam tahap penyidikan, bukan dalam tahap penyelidikan. Dan prosedur lainnya yang harus ditempuh seperti dalam perkara a quo, tahap penyidikan memeriksa ulang saksi-saksi, melakukan penyitaan, mencari dokumen yang mengambil dari perkara orang lain dalam delik penyertaan, tidak boleh langsung diambil alih….” (Lihat: Hlm. 234).

Setidak-tidaknya dalil tersebut di atas, jika dikerucutkan maka terdapat dua persoalan mendasar; (1) Upaya paksa berupa penyitaan harus dilakukan di tahap penyidikan; (2) Harus dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang ada sangku-pautnya dengan si calon tersangka.

Apakah penyitaan hanya dapat dilakukan di tingkatan penyidikan? Baik UU KPK maupun KUHAP tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan di tingkat penyidikan (Lihat: Pasal 38 ayat 1 UU KPK beserta dengan penjelasannya. Bandingkan dengan  Pasal 5 ayat 1 huruf b angka 1 KUHAP).

Pun kemudian, dalam Pasal 5 ayat 1 huruf b angka 1 KUHAP menegaskan “…atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa penyitaan….” Itu artinya, karena di dalam KPK juga dikenal jabatan penyidik, maka harus dengan surat tugas dan surat perintah dari penyidik pula, sehingga dapat dilakukan penyitaan di tahap penyelidikan.

Sementara mengenai pemeriksaan ulang terhadap saksi-saksi, sebenarnya kalimat yang lebih tepat, yaitu harus ada konfrontasi antara alat bukti (berupa saksi-saksi yang telah diperoleh) dengan si calon tersangka.

Tentu waktu untuk melakukan konfrontasi antara si calon tersangka dengan alat bukti yang sudah ditemukan (bukan hanya alat bukti saksi-saksi, dapat pula keterangan ahli dan surat) hanya berada di tingkat penyidikan, sebab di tahap penyidikanlah sebagai tahapan dalam mencari, siapa pelaku (tersangka) dari suatu peristiwa pidana.*

You may also like...