Memberdayakan Partai Politik

Sejak era reformasi bergulir pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Transisi pemerintahan menuju tata pemerintahan dalam perwujudan Negara hukum yang demokratis kian terbuka. Hal itu ditandai dengan mekarnya kembali partai politik seperti cendawan di musim hujan. Sehingga partai politik pada pemilu 1999 kembali tumbuh dalam jumlah yang banyak. Sebanyak 24 partai politik berlaga di medan pemilu yang dihelat pada tahun 1999. Pemilu diera pasca reformasi seolah menguak kembali masa pemilu di Tahun 1955 ketika pasca kemerdekaan yang mana pada waktu itu, parpol juga berjumlah amat banyak sebagai kontenstan pemilu.

Pemikiran politik modern terus melaju dalam memikirkan peran partai politik. Partai politik tidak lagi semata sebagai sarana pengendali konflik, rekrutmen dan memberikan pendidikan politik. Tetapi partai poltik dalam jangka panjang meniscayakan pembentukan demokrasi yang stabil. Bahkan tujuan yang lebih fundamental adalah perwujudan Negara hukum yang menyejahterakan.

Konsep Negara hukum yang dimaksud di sini bukan semata bersandar Negara pada power legislasi namun yang lebih utama ditujukan untuk pembentukan Negara hukum kesejahteraan, sebagaimana juga perkembangan historisitas dari tipe Negara hukum di dunia.

Secara sepintas lalu fungsi Partai Politik tidak dapat disangkut pautkan dengan partai politik. Seorang dapat beropini bagaimana keterkaitan erat partai politik dengan konsep Negara hukum. Dimana keterkaitannya sehinga dapat disangkutpautkan.

Sumber: ziyaht.blogspot.com

Sumber: ziyaht.blogspot.com

Sederhananya adalah siapakah yang menjadi pengisi jabatan publik selama ini, terutama pada lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Bukankah mereka semua pada dasarnya berasal dari partai politik. Memilih anggota legislatif (DPR, DPRD) yang menjadi ujung tombak utama adalah partai politik. Pengusungan Capres dan Cawapres juga harus melalui partai politik. Bahkan dalam persoalan pemilihan Presiden dan Wakil presiden dominasi partai politik amat dominan. Oleh karena MK sudah “meringkus” tidak ada seorang Presiden dapat dipilih melalui calon independen atau calon perseorangan. Hanya partai politik yang dapat mengusung calon Persiden dan calon wakil Presiden.

Parpol adalah sumber rekrutmen utama pejabat publik mulai dari tingkat presiden hingga bupati, partai merupakan supplier kepemimpinan nasional, pemilihan panglima TNI, kapolri, dan lain-lain juga harus melalui fit and proper test di DPR. Parpol juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga alasan yang demikian menjadi sandaran agar partai politik seyogiayanya diberdayakan.

Fungsi Partai Politik sebagai konversi dan agresi kurang diangkat dipermukaan. Padahal fungsi ini merupakan fungsi yang mengkombinasikan fungsi parpol sebagai representasi sekaligus sebagai perantara. Dengan konersi kita dapat memahami transformasi dari hal-hal yang disebut bahan mentah politik yaitu kepentingan dan tuntutan, menjadi kebijaksanaan dan keputusan. Sebagaimana organ tubuh kita mengubah karbohidrat menjadi energi maka partai mengubah kepentingan menjadi kebijaksanaan dan keputusan. Sebagaimana organ tubuh kita mengubah karbohidrat menjadi energi, maka partai mengubah menjadi kebijaksanaan. Jika kita pakai analogi tadi, maka pelaksanaan fungsi-fungsi yang berhasil akan tergantung pada keseimbangan yang tepat antara bahan yang dimasukkan (intake) dan bahan bahan yang dikeluarkan (output). Fungsi tersebut akan semakin terganggu oleh adanya bahan asupan energi yang terlalu banyak. Ide ini lebih tertujuh pada masalah pengelolaan pendanaan partai politik. Atau dengan kata lain penerapan asas transparansi dalam pendanaan Partai Politik guna mewujudkan persaingan serta kompetisi yang sehat bagi partai politik dalam menawarkan (supply) ideologi politiknya sebagai produk politik yang memiliki nilai tawar bagi rakyat.

Oleh karena itu bukan barang baru serta ironis kalau ada yang mengatakan seolah menghabiskan waktu dan tenaga saja  melakukan studi atas pemberdayaan partai politiik.  Berkali-kali partai politik menjadi bahan perbincangan menarik mulai dari kampus-kampus hingga hotel berbintang. Bahkan memenuhi isi buku perpusatkaan dari buku-buku hingga penelitian dan artikel yang bertebaran di media massa tidak ada habisnya menyoroti partai politik sebagai organisasi yang perlu diberdayakan.  Studi atas partai politik selalu menjadi kajian dan penelitian dari berbagai pengamat dan para akademisi yang tak pernah berkesudahan.

Penelitian yang selalu menjadi rujukan utama adalah tesis Scot Mainwaring atas 31 negara di Amerika latin yang menganggap sistem pemerintahan presidensialisme yang dikombinasikan dengan multipartai merupakan kombinasi yang tidak tepat. Model pemerintahan yang demikian akan semakin menjadikan presiden sebagagia penentu kebijakan selalu dalam ancaman tersandera oleh parlemen. Kesimpulan demikian dibangun dengan dasar fenomena multipartai ekstrem akan menyebabkan partai politik bergeser ketengah dan semakin menjauh dari cita-cita dan ideologinya. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah bangunan koalisi pemerintahan yang rapuh. Segala kehendak untuk menguatkan pemerintahan, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang pragmatis dan penuh transaksional saja.

Selain penelitian yang dilakukan oleh Scott Mainwaring kemudian dikembangan juga penelitian tersebut di Indonesia oleh Hanta Yudha dalam yang telah diangkat dalam judul bukunya Presidensialisme Setengah Hati, kajian buku tersebut tidak jauh berbeda degan studi Mainwaring. Cuma pendekatan itu diterapkan pada Negara Indonesia selama fase pemerintahan SBY-JK. Hasilnya, desaian pemerintahan yang ideal dibangun oleh Hanta Yudha melalui penyederhaan Partai politik dengan konsistensi menerapkan Parliamentary Treshold serta mendesain pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan jabatan eksekutif (Presiden dan wakil Presiden). Merupakan solusi alternatif yang ditawarkan agar gagasan kombinasi koalisi ideal dengan presiden  lebih stabil serta dapat terbangun ke depannya.

Berpijak dari dua studi tersebut meskipun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan politik. Tapi bukankah politik dan hukum ibarat satu pohon yang tidak dapat dipisahkan dalam meraih semua tujuan hukum. Politik adalah serangkaian cara atau aktivitas untuk meraih sutau tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud dalam hemat penulis adalah tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Bagaimana menjadikan partai politik dapat melahirkan keadilan dari segala kebijakan yang terbaca melalui ideologi, visi dan misi, hingga program kerjanya.

Pasti dengan melalui pemberdayaan partai politik yang bagaimanapun tidak boleh Negara membiarkan dalam praktik liberalisasi politik. Dengan konsep Negara hukum materil maupun konsep hukum formil telah membantah bahwa Negara jaga malam tidak layak lagi diterapkan, maka dalam konteks itu parpolpun perlu diperbaiki oleh Negara.

Bagaimana membatasi kekuasaan partai politik dalam menstabilkan demokrasi? juga dengan pijakan konsep Negara hukum. Yakni melalui pembentukan undang-undang partai politik, termasuk desain Undang-Undang Pemilu dalam memberi harmonisasi undang-undang partai politik. Terakhir, tujuan hukum pada kemanfaatan sebagai tujuan hukum ala Jeremey Bentham praktis partai politik sengaja dibentuk untuk memperjuangkan kesejahteraan. Senada dengan Negara hukum kesejahteraan, ibarat setali tiga uang partai politik hanya dapat mewujudkan Negara hukum kesejahteraan kalau dilakukan reformasi terhadap partai politik. Reformasi yang dimaksud adalah reformasi undang-undang partai politik.

Formulanya adalah bagaimana mungkin melahirkan Negara hukum dengan ideologi kesejahteraan (welfare state) kalau pejabatnya juga tidak layak ataukah berkulitas. Siapa yang melahirkan pejabat publik kalau bukan dari partai politik. Karena itu pembenahan partai politik dengan melakukan penelahaan satu persatu terhadap indicator kulitas calon pejabat publik melalui penentuan kader dan penentuan Bacaleg (bakal calon legislatif) merupakan jawaban dalam melahirkan Negara hukum kesejahteraan.***

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...