Menang Sengketa Pilkada di MK

Sumber Gambar: mkri.id

Jika tak ada arah melintang dan halangan yang berarti, pertarungan  etape terakhir pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagian akan berujung di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 270 daerah terselenggara Pilkada serentak 2020 kemarin, terdapat 136 permohonan perselisihan suara, sudah tercatat di website MK. Sedianya, pertanggal 18 Januari 2021 seluruh permohonan tersebut akan selesai tercatat ke dalam e-BRPK kemudian dilanjutkan dengan penerbitan ARPK.

Salah dan meleset, untuk Pilwali Makassar yang dahulu banyak meramalkan, bagaimanapun keadaan dan siapapun pemenangnya akan berakhir di MK. Nyatanya tidak demikian, daerah di Sulsel, hanya terlihat beberapa kabupaten yang mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan, seperti Pilkada Bulukumba, Pangkep, Barru, dan Luwu Timur.

Kunci Kemenangan

Sama dengan permohonan-permohonan dahulu pada Pilkada  2018, kali ini dalil yang kembali mendominasi dari para Pemohon, yaitu dugaan pelanggaran oleh peserta pemilihan peraih suara terbanyak dan/atau penyelenggara yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Tidak kapok-kapok juga, kendatipun dalil yang seperti itu, mahkamah selalu mengabaikannya, kembali lagi mewarnai banyak permohonan, laksana senjata pamungkas pihak Pemohon bisa membalikan keadaan.

Dan lucunya lagi, beberapa pasangan calon di daerah baik yang berpredikat kalah maupun yang menang suara, selalu menambatkan hati dan kepercayaan pada advokat Ibukota DKI Jakarta, akan meraih kesuksesan, dan menggapai harapan yang diimpikannya saat hendak bersengketa di MK.

Padahal persoalan kalah-memang di MK, tidak semata-mata ditentukan oleh siapa kuasa hukumnya, mau kuasa hukum ibu kota, bergelar profesor, sejuta ketenaran, tidak ada guna menggelontorkan rupiah, kalau materi permohonan, alat bukti tidak cukup dan tidak dapat memberikan keyakinan atas seluruh dalil-dalil pelanggaran yang diharapkan bisa menggeser hasil rekapitulasi suara KPU.

Dalam beberapa hasil penceramatan yang saya lakukan atas putusan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Kunci kemenangan bagi Pemohon pada sesungguhnya terletak pada ranah kompetensi absolut MK dalam menangani perselisihan suara. Yang mana itu? Tidak lain, perselisihan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Ini merupakan kunci utama dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan agar tidak mati  ditengah jalan, sebagai berikut Mahkamah akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima dalam putusan sela. Jadi yang harus diutamakan, yaitu hasil rekapitulasi suara yang telah ditetapkan oleh KPU sedianya akan berubah hasil atau akan bergeser angkanya, dengan kemampuan Pemohon menunjukkan pelanggaran yang terjadi, terutama pada masa pemungutan dan penghitungan suara.

Dalam konteks ini, saya mengamati perselisihan perolehan suara yang signifikan yang selanjutnya dapat “menghipnotis” mahkamah sebagian besar tertuju pada pelanggaran penggelembungan suara baik oleh KPPS, PPK, maupun KPU. Ingat, harus signifikan, sekalipun terdapat pelanggaran, tapi tak mampu menggeser perubahan suara plus penetapan calon terpilih. Dalam arti, tetap saja paslon yang ditetapkan oleh KPU dalam hasil rekapitulasi sebagai pemenang, maka mahkamah akan mengenyampingkannya.

Selebihnya, keadaan-keadaan berupa pelanggaran pada saat pemungutan suara, diantaranya kehadiran pemilih tidak sah, pemilih ganda, pemilih di bawah umur (ghost voters), juga bisa menjadi dasar kemenangan bagi Pemohon. Tapi, itu pun keadaannya sangat terbatas, sebab harus dibuktikan pula untuk pemilih tidak sah demikian harus lebih dari satu.

Cegat Vs Koreksi

Saya termasuk pihak yang memandang bahwa kewenangan MK sekaitan dengan perselisihan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih. Sudah demikian terdesain sebagai lembaga yang terakhir (the last resort) bagi pencari keadilan, kalau sekiranya peserta pada proses pemilihan tidak mendapat perlakuan yang adil oleh penyelenggara.

Sebab mengapa? Hampir semua pelanggaran di tingkatan proses, materi yang sering dahulu diperiksa dan diadili MK, dapat tercegat bahkan terkoreksi secepat mungkin. Misalnya, di sebuah TPS, ketahuan oleh saksi paslon atau Pengawas TPS, ada pemilih di bawah umur, maka saksi atau pengawas TPS dapat mengajukan keberatan. Dan jika keberatan itu tak diindahkan oleh KPPS, ada formulir C-Keberatan/kejadian khusus KWK, yang bisa terkoreksi di tingkat PPK, agar di TPS tersebut diadakan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Begitu pula, kalau ada penggelembungan suara misalnya di tingkat kecamatan oleh PPK. Saksi pasangan calon atau Panwas kecamatan dapat mengajukan keberatan, keberatan tidak diterima, ada formulir keberatan lagi. Dan lebih ekstra, Bawaslu di Provinsi, Kabupaten/Kota akan mengeluarkan rekomendasi untuk dilakukan pembetulan hitungan suara yang benar.

Jadi, kesimpulan akhirnya, Mahkamah Konstitusi akan berfungsi sebagaimana mestinya, jika dua penyelenggara, KPU dan/atau Bawaslu bandel, tidak taat pada regulasi pemilihan yang sudah paripurna mencegat dan mengoreksi kesalahan perolehan suara untuk masing-masing pasangan calon.

Terobos Vs Tunda

Tak luput, dalam beberapa kasus, MK juga sering berpihak pada Pemohon pada pelanggaran yang sifatnya prinsipil dan terukur. Contoh konkritnya, ada pasangan calon terdiskualifikasi, padahal dengan Putusan Bawaslu atau Putusan Pengadilan, untuk kembali diikutkan sebagai peserta pemilihan, namun KPU mengabaikannya. Mahkamah dalam ruang-ruang keadilan substantif, memberinya kedudukan sebagai pemohon, meskipun tidak terkualifikasi sebagai paslon karena tanpa surat keputusan penetapan.

Pemohon tidak perlu takut dengan “palu godam” ambang batas perselisihan hasil perolehan suara untuk bertarung di MK. Dengan kemampuan menerangkan perubahan perolehan  hitungan suara yang signifikan, ambang batas perselisihan suara akan terterobos atau terkesampingkan. Dan jika pelanggaran yang sifatnya terukur, seperti hak untuk dipilih tercabut oleh kebandelan penyelenggara, yakin saja mahkamah akan menunda keberlakuan ambang batas itu. Dan MK untuk akhir-akhir ini, lebih banyak memerintahkan PSU daripada langsung memerintahkan KPU untuk menetapkan paslon pemenang suara terbanyak.*

 

Artikel Ini Pernah Muat di Harian Tribun Timur Makassar, … Januari 2021

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...