Mencari Pengadil Tertinggi untuk Kasus Korupsi

Sumber Gambar: kotamobagupost.com

Tak mudah mencari hakim ”ad hoc” tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung. Banyak calon pintar berbicara, tetapi tak menjawab substansi pertanyaan. Ada pula yang tergagap-gagap merespons pertanyaan.

Problema krisis hakim ad hoc tindak pidana korupsi di tubuh Mahkamah Agung atau MA sudah mengemuka sejak setahun lalu. Tepatnya, ketika lima hakim ad hoc tipikor pada MA memasuki usia pensiun pada 22 Juli 2021 lalu. MA tinggal mengandalkan tiga hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi/peninjauan kembali (PK) yang dimiliki untuk menangani ratusan perkara korupsi yang masuk tahun 2021 dan sisa perkara tahun sebelumnya.

Hingga saat ini, proses pencarian pengganti kelima hakim ad hoc tipikor untuk tingkat kasasi/PK tersebut belum berakhir. Akhir April lalu, Komisi Yudisial baru menyelesaikan seleksi tahap akhir, yaitu wawancara terhadap lima calon hakim ad hoc tipikor pada MA. Proses seleksi tersebut merupakan rangkaian pencarian calon hakim agung untuk kamar pidana dan kamar tata usaha negara (TUN) khusus pajak. Total sebanyak 21 calon yang mengikuti seleksi wawancara yang digelar pada Senin (25/4/2022) hingga Kamis (28/4).

Selain tujuh komisioner KY yang menguji para calon, dihadirkan pula panelis dari luar seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva untuk menggali unsur kenegarawanan, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwono, mantan Ketua Kamar Pidana MA Djoko Sarwoko, dan lain-lain.

Juru bicara KY Miko Ginting saat dihubungi Minggu (1/5) mengatakan, pihaknya sudah mengantongi nama-nama calon hakim agung dan hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi/peninjauan kembali (PK) yang akan segera dikirimkan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. ‘’Nama-nama sudah ada dan tidak mungkin berubah,” kata Miko

Menurut dia, KY akan mengirimkan surat permohonan pertemuan dengan pimpinan DPR. Pada pertemuan tersebut, nama-nama calon akan diserahkan dan diumumkan kepada publik. “Jadi, sekarang prosesnya menunggu masa sidang DPR dibuka kembali,” ujarnya.

Tergagap di Masalah Substansi

Menengok kembali proses seleksi wawancara untuk calon hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi/PK, ada beberapa catatan yang patut diperhatikan. Beberapa calon tampak tergagap-gagap dalam merespons pertanyaan terkait substansi persoalan korupsi.

Salah satu yang juga patut dicatat dalam proses seleksi ini, KY mengundang masyarakat umum untuk turut mengajukan pertanyaan melalui kanal percakapan di aplikasi telekonferensi Zoom.

Sejumlah pihak mengajukan pertanyaan, misalnya dosen pidana Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Ariesta Wibisono Anditya atau Krisna Harahap, mantan hakim ad hoc tipikor pada MA. Pada kesempatan tersebut, Krisna menanyakan tentang penerapan business judgement rule jika dalam suatu kasus telah timbul kerugian negara.

Setelah pertanyaan tersebut dibacakan oleh petugas KY, salah satu Arizon Mega Jaya terdiam sebentar sampai akhirnya menjawab. “Saya kira di negara kita belum begitu dikenal itu Pak. Jadi, saya juga belum terlalu paham business judgement rule,” Arizon Mega Jaya.

“Sudah lama Pak,” ketua Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata.

“Mohon maaf Pak,” kata calon.

Tak hanya Arizon, calon lain, Rodjai S Irawan, juga agak tergagap ketika mendapat pertanyaan dari Djoko Sarwoko terkait UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. “Di sana ada beberapa aturan khusus mengenai fiduciary duties, doktrin business judgment rule, ada ultra vires dan intra vires. Coba dijelaskan,” tanya Djoko.

Atas pertanyaan tersebut, Rodjai mengaku kurang jelas dengan yang pertama. Ia kemudian menjelaskan tentang business judgement rule. Entah karena sudah mempelajari pertanyaan untuk calon sebelumnya (Arizon) atau memang dia sudah memahami doktrin tersebut, Rodjai mampu menerangkannya.

Menurut dia, doktrin tersebut mengatur bahwa kerugian keuangan negara sepanjang terjadi dalam rangka penanganan bisnis normal, hal itu tidak bisa disebut tindak pidana korupsi. Namun, apabila ditemui unsur penyalahgunaan kewenangan atau melawan hukum dengan maksud untuk memperkaya atau menguntungkan dirinya sendiri, atau ada mens rea-nya, maka terhadap kerugian keuangan negara itu bisa dikelompokkan dalam tindak pidana korupsi.

“Mohon maaf yang kedua (ultra vires dan intra vires—Red) tidak ini….,” kata calon.

Djoko kemudian mengulang pertanyaannya tentang ultra vires dan intra vires dimana hal tersebut dihubungkan dengan sifat melawan hukum dari perbuatan pelaku. Namun meskipun sudah diberi petunjuk oleh Djoko, Rodjak mengaku agak lupa. Djoko pun melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya terkait pidana khusus korupsi.

Saat dihubungi Minggu, Djoko mengatakan, dirinya memang sudah mempersiapkan 15 pertanyaan terkait korupsi untuk para calon hakim ad hoc tipikor tersebut. Mantan ketua kamar pidana MA tersebut memang secara khusus membuat pertanyaan yang berkenaan dengan makanan sehari-hari yang harus “dikunyah” calon jika terpilih menjadi hakim agung ad hoc tipikor di MA. Ia juga menanyakan tentang kasus PT Chevron, IM2, dan asuransi Jiwasraya dalam kaitannya penggunaan undang-undang yang bersifat lex specialis sistematis.

Djoko yang selalu dilibatkan Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim ad hoc tipikor di tingkat pertama dan banding mengungkapkan, pertanyaan yang disiapkan untuk calon hakim ad hoc tipikor di MA memang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Harapannya, ditemukan hakim-hakim ad hoc tingkat kasasi/PK yang memiliki pemahaman lebih dan siap menjadi pengadil terakhir di kasus-kasus korupsi.

KY rencananya mencari tiga calon hakim ad hoc tipikor di MA untuk dikirim ke DPR. Saat ditanyakan apakah dari lima calon tersebut akan terpenuhi tiga orang untuk diusulkan menjadi hakim ad hoc ke DPR, Djoko mengatakan, “Mungkin agak berat (kalau tiga). Kalau satu dapat.”

Menurut dia, banyak calon yang memang pintar sekali ngomong tetapi omongan yang disampaikan sebenarnya tidak menjawab substansi pertanyaan. “Umumnya ngomong pinter, panjang, tapi tidak menjawab pertanyaan,” tegas Djoko.

Integritas

Selain penguasaan substansi hukum, perihal integritas juga menjadi catatan yang utama. Dalam sesi wawancara yang digelar, komisioner KY Siti Nurjanah dan Sukma Violetta mendalami mengenai hal tersebut. Misalnya, Siti Nurjanah menanyakan bagaimana calon menghindari perdagangan pengaruh yang kemungkinan akan berseliweran saat sudah duduk di Mahkamah Agung. Selain itu, bagaimana calon menjaga diri dari pengaruh atau upaya-upaya yang dilakukan oleh teman-teman yang berasal dari bekas kolega advokat (bagi calon yang pernah menjadi advokat).

Pertanyaan-pertanyaan terkait kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) menjadi penting sebab penilaian publik mengenai perilaku hakim yang selaras dengan kode etik belum optimal.

Berdasarkan survei nasional kinerja hakim di pengadilan yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 20-25 April 2022 terhadap 1.219 responden, skor kinerja hakim di pengadilan masih jauh dari menggembirakan. Terkait kemandirian dan netralitas hakim dari tekanan dari pihak luar, hanya sekitar 2-3 persen responden yang menilai kinerja di bidang itu sangat baik. Sementara sekitar 45-48 persen responden menilai baik. Masih ada kurang lebih seperempat responden yang menilai hakim masih buruk dalam menghadapi tekanan.

Soal korupsi hakim, sebanyak 33 persen respon menilai buruk dan tiga persen menilai sangat buruk.

Hal-hal di atas patut diperhatikan KY, terutama dalam menyediakan hakim agung untuk mengisi lembaga peradilan tertinggi di negeri ini tersebut. Hitam putih MA sangat bergantung pada proses seleksi yang diselenggarakan KY.

Oleh

Susana Rita Kumalasanti

Kompas, 10 Mei 2022

Editor: Antonius Ponco Anggoro

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/05/01/mencari-pengadil-tertinggi-untuk-kasus-korupsi

You may also like...