Mendiskusikan Syarat Kemenangan Capres

Persiapan perhelatan pemilu presiden pada 9 Juli nanti sedikit “terganggu” dengan ketentuan syarat kemenangan pasangan capres-cawapres sebagaimana tertera dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008. Sejak jauh hari KPU telah mengkhawatirkan ini dengan mengundang dan meminta pendapat sejumlah pengamat dan pakar tata negara.

Menjadi pertanyaan untuk didiskusikan bersama, apakah syarat “..lebih dari 50% dari jumlah suara keseluruhan dengan sedikitnya 20% suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah dari jumlah propinsi di Indonesia..” itu harus dipenuhi (secara bersamaan) oleh pasangan capres/cawapres? Atau bisa saja ketentuan satu bisa menegasikan ketentuan lainnya, dalam arti syarat 20% itu tidak berlaku jika syarat 50% terpenuhi, maupun sebaliknya?

Sumber Gambar: islam-institute.com

Sumber Gambar: islam-institute.com

Tafsir Konstitusi

Karena syarat ini berasal dari Pasal 6A UUD 1945, maka kita akan mendiskusikan masalah ini menggunakan metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation). Penafsiran konstitusi merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar atau interpretation of the basic law, (AHY Chen; 2000).

Ada dua macam penafsiran yang bisa digunakan untuk mendiskusikan ini; dengan model penafsiran gramatikal (gramatical interpretation) atau model penafsiran argumentum a contrario (baca juga dua capres dua putaran?). Keduanya adalah model penafsiran konstitusi yang sering dipakai untuk menafsirkan konstitusi. Metode ini juga yang sering dipakai oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian undang-undang.

Jika memakai penafsiran gramatikal, maka teks yang termuat dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 adalah teks otentik yang tidak bisa diubah atau ditafsirkan lain. Ketentuan “Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden” yang tertera dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008 adalah “satu kesatuan nafas” yang saling terikat/terhubung serta tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa ditafsirkan lain dengan menegasikan satu dengan lainnya (bahwa syarat 20% itu tidak usah terpenuhi jika syarat 50% sudah terpenuhi, maupun sebaliknya). Karena kata “dengan” yang tertera dalam kedua pasal tersebut “mengikat” ketentuan 50% dan 20% itu.

Sementara jika menggunakan penafsiran “argumentum a contrario”, maka kita bisa menegasikan ketentuan satu dengan lainnya. Bahwa syarat lebih dari 50% suara tersebut sudah bisa mengantar capres-cawapres terpilih tanpa terikat dengan syarat 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Maupun sebaliknya, jika syarat 20% itu terpenuhi, maka syarat 50% tidak perlu terpenuhi.

Posisi Sulit

KPU diperhadapkan pada posisi sulit. Pilpres 2009 lalu yang diikuti oleh tiga pasangan capres-cawapres; SBY-Boediono, Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto,  yang juga mengacu pada UU No 42/2008, tidak merepotkan KPU saat itu karena pasangan SBY-Boediono langsung menang satu putaran dengan memperoleh lebih dari 50% suara (60,8%).

Mungkin tidak akan menjadi sulit bagi KPU saat ini seandainya kemenangan 50% lebih pasangan SBY-Boediono tersebut tidak diikuti dengan perolehan 20% suara pada lebih dari setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia sebagai syarat tambahan. Jika demikian, maka pasangan capres-cawapres pada pilpres 2014 yang memperoleh suara lebih 50% sekalipun tidak memperoleh 20% suara sebagai syarat lainnya itu (maupun sebaliknya) bisa langsung ditetapkan sebagai pasangan pemenang pilpres. Hal tersebut bisa menjadi preseden bagi KPU saat ini.

Namun nyatanya tidak demikian. Pada pilpres 2009 lalu, pasangan SBY-Boediono selain memperoleh lebih dari 50% (60,8%) juga memenuhi syarat 20% suara yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia.

Kekeliruan para perumus Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 adalah terlalu yakin bahwa Pilpres akan selalu diikuti lebih dari dua pasangan capres-cawapres, jika berkaca pada  pemilu 2004 dan 2009. Barangkali keyakinan ini bisa dihubungkan dengan realita sistem multipartai yang berlaku, dimana pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Sehingga tidak memperkirakan hanya akan ada dua pasangan capres-cawapres seperti pada pemilu 2014 ini.

Dengan menggunakan penafsiran gramatikal pada teks otentik Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008,  pihak yang kalah nanti bisa menjadikan ketentuan ini sebagai “pintu sengketa” untuk menuntut diadakannya pemilu ulang. Ini bisa menjebak KPU, dipakai oleh pihak yang kalah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut dilakukan pemilu ulang. Jika demikian, maka pilpres akan diadakan berulang kali sampai terpenuhinya dua syarat itu secara bersamaan. Berapa energi dan biaya yang harus dikeluarkan?

Jalan Keluar; Fatwa MK

Mencermati kondisi demikian, tidak ada jalan lain bagi KPU selain meminta pendapat (fatwa) MK. Mengapa? Alasan pertama, KPU “terjebak” dalam rumusan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008. KPU tidak bisa memberikan pendapat atau tafsir sendiri atas kedua pasal itu, karena status KPU adalah “pelaksana undang-undang” bukan lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa atau mengartikan lain sebuah teks undang-undang atau UUD. Pendapat pengamat pun tidak bisa dijadikan fatwa bagi KPU untuk mengikuti yang mana diantara kedua pilihan itu, karena pengamat bukan hakim atau juris yang pendapatnya bisa menjadi hukum. Pendapat pengamat sebatas pertimbangan, bukan hukum.

Kedua, MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. MK adalah pengawal (the guardian) dan penafsir tunggal konstitusi. Oleh karena ketentuan itu bersumber dari konstitusi (Pasal 6A UUD 1945), maka hanya MK yang berwenang menafsirkan makna dari Pasal 6A UUD 1945. Apakah pemenang pilpres ditentukan dari perolehan suara lebih 50% dengan 20% suara yang tersebar pada lebih dari jumlah propinsi di Indonesia sesuai teks tersebut, atau pemenang bisa ditentukan dari perolehan suara yang menegasikan syarat lainnya; syarat lebih dari 50% suara tersebut tidak perlu diikuti dengan 20% suara dari setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia, maupun sebaliknya.

Fatwa tersebut akan menjadi hukum yang akan meng-clear-kan tafsir rancu dari Pasla 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 itu. Sekaligus untuk mencegah masuknya sengketa ke MK dari pasangan yang kalah yang ingin menuntut diadakannya pemilu ulang.

ARTIEL INI JUGA MUAT DIHARIAN MEDIA INDONESIA KOLOM OPINI EDISI 17 JUNI 2014

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...