Mendorong Audit Investigasi Pengadaan Rapid Test

Sumber Gambar: cyprusmail.com

Peneliti senior Indonesia Budget Center, Roy Salam, menduga pengadaan alat kesehatan, khususnya rapid test corona untuk kepentingan pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu, kerap dijadikan kesempatan untuk meraup keuntungan. Pihak-pihak tertentu mengambil untung dengan memanfaatkan minimnya pengawasan terhadap pengadaan alat kesehatan serta berbagai aturan yang melonggarkan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan penanganan pagebluk.

“Karena alat kesehatan dianggap kebutuhan mendesak, sehingga mendorong mereka tidak menjalankan prosedur pengadaan yang benar,” kata Roy, Kamis, 26 Mei 2022.

Mantan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center ini mengatakan kondisi mencari untung itu tergambar dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun ini atas pembelian rapid test antigen anggaran 2021 dan temuan BPK tahun lalu untuk anggaran 2020.

Roy berpendapat, BPK perlu melakukan audit investigasi atas temuan awal mereka terhadap berbagai pengadaan alat kesehatan untuk kepentingan pandemi Covid-19 tersebut. Temuan awal itu menunjukkan adanya ketidakpatuhan serta indikasi penyimpangan pengadaan barang dan jasa. Misalnya, pejabat pemerintah yang menangani pengadaan alat kesehatan tidak menjalankan prosedur pembelian barang sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

“Harusnya indikasi awal ini sudah bisa mendorong ke aparat penegak hukum. BPK bisa menyampaikan hasil auditnya ke penegak hukum, lalu penegak hukum dapat meminta audit lanjutan ke BPK,” kata dia.

Ia melanjutkan, pemerintah seharusnya belajar dari pengadaan alat kesehatan 2020 agar pengadaan barang dan jasa tahun berikutnya lebih matang dan terencana dengan baik.

Hasil audit BPK tahun ini untuk anggaran 2021 menemukan adanya ketidaksesuaian spesifikasi pengadaan rapid test Covid-19 pada tahap I dan II sebesar Rp 363,5 miliar. BPK juga menemukan masa kedaluwarsa alat tes merek Panbio sebanyak 4.406.229 unit tidak sesuai dengan spesifikasi kerangka acuan kerja, yaitu minimal 9 bulan sejak diterima di lokasi. Kondisi itu terjadi karena pejabat pembuat komitmen pada Kementerian Kesehatan tidak mensurvei pasar sehingga tak mendapatkan harga yang paling kompetitif.

Padahal terdapat 34 penyedia rapid test antigen pada e-katalog dan telah memenuhi kriteria uji validitas. Data itu mengacu pada laporan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) serta Direktorat Pengawas Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Kementerian Kesehatan.

Harga alat tes yang ditawarkan di e-katalog juga cukup rendah, dari Rp 29.900 hingga Rp 116.000 per unit. Sedangkan harga rapid test antigen yang dibeli pemerintah tahun lalu sebesar Rp 82.500 per unit. BPK juga menemukan sebanyak 897.616 alat tes cepat merek Panbio senilai Rp 74 miliar tidak terpakai hingga 14 Januari 2022.

Pembelian alat tes Covid-19 yang tidak sesuai dengan spesifikasi ini bukan pertama kali terjadi. Pada awal pandemi Covid-19 merebak di Indonesia dua tahun lalu, juga muncul masalah atas pembelian alat rapid test lewat PT Kimia Farma. Dikutip dari artikel majalah Tempo berjudul “Tergelincir di Apeldoorn” edisi 9 Mei 2020, Kimia Farma memesan 300 ribu alat rapid test antigen merek Biozek dari perusahaan Inzek International Trading BV di Belanda pada 2020. Setelah diselidiki oleh Organized Crime and Corruption Projects (OCCRP) bersama sejumlah media lintas negara, termasuk Tempo, diperoleh fakta bahwa Biozek tidak diproduksi di Belanda.

Alat tersebut diduga diproduksi di Cina lewat perusahaan Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. OCCRP menemukan alat itu hanya dikemas ulang dengan merek Biozek.

Dalam pengadaan alat tes cepat lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2020 juga terjadi kejanggalan. Saat itu, sebanyak 498.644 unit dari total 1.956.664 unit reagen polymerase chain reaction (PCR), ribonucleic acid (RNA), dan viral transport medium (VTM) yang dibeli BNPB dari perusahaan asal Cina dikembalikan karena tidak sesuai dengan mesin laboratorium di 78 rumah sakit pada 29 provinsi. Potensi kerugian akibat pengembalian alat tes Covid-19 ini ditaksir mencapai Rp 170 miliar.

Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menganggap berbagai kejanggalan ataupun temuan BPK itu menggambarkan bahwa database tentang jumlah ketersediaan rapid test antigen tidak digunakan dalam perencanaan. “Ini menurut saya fatal dan bisa masuk kategori pemborosan anggaran,” katanya.

Menurut Misbah, semestinya pengadaan rapid test mengacu pada database. Kedua, pejabat pembuat komitmen di Kementerian Kesehatan seharusnya melakukan survei lapangan dan mengandalkan penyedia alat kesehatan di e-katalog.

“Menurut saya, survei lapangan tetap sangat penting, karena keberadaan penyedia bisa sangat dinamis di masa pandemi,” kata dia. “Hari ini perusahaan A bagus, tapi satu-dua bulan kemudian bisa bangkrut.”

Misbah juga menilai pemerintah memaksakan kegiatan yang seharusnya bisa dibatalkan, karena kebutuhan tes antigen saat itu masih mencukupi. Pemaksaan kegiatan itu berpotensi memboroskan anggaran. “Apalagi kalau ada kickback di balik itu, ini jelas penyimpangan anggaran.” Ia pun mendorong BPK melakukan audit investigasi atas berbagai kejanggalan pembelian alat rapid test antigen tersebut.

Oleh:

Imam Hamdi

Wartawan Koran Tempo

KORAN TEMPO, 27 Mei 2022

Sumber : https://koran.tempo.co/read/berita-utama/474046/agar-bpk-mengaudit-investigasi-pengadaan-rapid-test-corona-selama-pandemi?

You may also like...