Menelaah Pelanggaran Administrasi Pilkada

Sumber Gambar: antvklik.com

Pilkada sedang sengit-sengitnya. Kesengitan demikian tentu potensial menimbulkan berbagai pelanggaran di 171 daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang sedang menyelenggarakan.

Berbagai bentuk pelanggaran dalam regulasi pilkada sudah diatur secara ketat, untuk tujuan preventif, korektif, dan futuristik. Tentunya, ujung akhir dari pengaturan regulasi pemilihan menghendaki suatu proses elektoral yang berkualitas dalam mewujudkan prinsip penyelenggaraan pilkada yang jujur dan adil.

Menelisik pada pilkada langsung sebelumya, terdapat Pelanggaran Administrasi terkait larangan memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (selanjutnya disebut Pelanggaran TSM). Trend pelanggarannya meningkat 100% sejak Pilkada 2015, sebagaimana data temuan Bawaslu di Pilkada serentak Tahun 2017 menemukan 600 pelanggaran di 101 daerah.

Pelanggaran TSM, dalam klasifikasi pelanggaran pilkada terkualifikasi dalam Pelanggaran Administrasi Pemilihan (PAP). Dalam UU Pilkada tercantum di Pasal 70 hingga Pasal 74 dengan mekanisme penyelesaiannya diatur berdasarkan Pasal 135 A UU Pilkada.

Dalam perkembangannya, atas PAP (Vide : Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 135 A ayat (1) UU Pilkada) ditetapkanlah ius operatum pada tanggal 9 Oktober 2017 berupa Perbawaslu No. 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi terkait larangan memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif dalam Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota.

Sebelumnya, ditetapkan pula Perma No.11 Tahun 2016, sebagai koridor bagi paslon yang disanksi pembatalan oleh KPU Provinsi/Kabupaten yang terbukti melakukan pelanggaran TSM sebagaimana putusan Bawaslu Provinsi untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.

Dalam penanganan TSM, secara historis sebelumnya telah ada Perbawaslu No.13 Tahun 2016, namun konsideransi menekankan faktor efektivitas penanganan, dilakukanlah penyempuraan regulasi, dalam hal ini dibuatlah lex posteriori Perbawaslu 13 Tahun 2017.

Kehadiran tiga regulasi diatas (UU Pilkada, Perma No.11 Tahun 2016 dan Perbawaslu No.13 tahun 2017) lantas tidak serta merta menjadikan penanganan PAP, terkhusus Pelanggaran TSM dapat memiliki bekal substansi yang baik. Sebab ditemukan beberapa inkonsistensi, disharmoni, dan ketidakpastian norma. Secara umum dapat dikatakan bahwa tiga regulasi tersebut mengalami antinomi jika diinterpretasikan secara sistematis-logis.

Ketidakpastian Hukum

Merujuk pada norma Pasal 135 A UU Pilkada, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal prinsip yang diatur. Pertama, otoritas penerimaan, pemeriksaan dan pemutus sengketa pelanggaran administrasi pemilihan oleh  Bawaslu Provinsi (ajudikasi); Kedua, putusan Bawaslu Provinsi bersifat imperative, dalam arti wajib dilaksanakan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, serta setelah adanya putusan Bawaslu Provinsi, tidak tersedia lagi upaya hukum bagi pelapor (upaya hukum pertama dan terakhir); Ketiga, pasangan calon yang diputus terbukti melakukan pelanggaran TSM oleh Bawaslu Provinsi dan akhirnya disanksi pembatalan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, disediakan upaya hukum mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.

Keberlakuan Perbawaslu No. 13/2017 bukan hanya mengatur tata cara/mekanisme penyelesaian sengketa PAP sebagaimana ditegaskan Pasal 135 A UU Pilkada, namun juga memuat berbagai perubahan, yakni menambahkan upaya hukum “keberatan” ditingkat Bawaslu. Pelapor dapat mengajukan “keberatan” kepada Bawaslu dalam hal tidak menerima putusan Bawaslu Provinsi. Upaya hukum “keberatan” diatur dalam ketentuan Pasal 46. Ruang hukum yang ada notabene memberikan ruang hak pada pelapor untuk melapor kepada Bawaslu manakala berkeberatan atas putusan Bawaslu Provinsi.

Selain tidak dikenal upaya hukum “keberatan” pada pasal 135 A UU Pilkada, putusan Bawaslu RI terhadap upaya ‘keberatan’ tidak bersifat mengikat kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Kepastian sifat mengikat atas putusan sengketa PAP sebagaimana norma Pasal 135 UU Pilkada limitatif hanya atas keputusan Bawaslu Provinsi.

Setidaknya, jika melihat norma diatasnya, norma ini mengalami petentangan dengan Pasal 135 A UU Pilkada, dimana dalam mekanisme PAP tidak disediakan upaya hukum “keberatan” pada pelapor. Penambahan norma upaya hukum “keberatan” bagi pelapor yang tidak menerima keputusan Bawaslu Provinsi dengan terang-benderang menunjukan inkonsistensi mekanisme penyelesaian PAP.

Keadilan

Ada ketidaksinkronan antara upaya hukum yang termaktub pada Bab VI perihal Keberatan berdasarkan Perbawaslu No.13 Tahun 2017 dan Perma No.11 Tahun 2016. Sisi ini tentu berkonsekuensi pada ketidakadilan bagi pasangan calon. Dalam ketentuan Pasal 46 Perbawaslu a quo, melimitasi hanya putusan Bawaslu Provinsi yang telah dieksekusi oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang dapat digugat di MA, sedang atas keberatan terhadap Putusan Bawaslu RI yang ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi/Kabupaten /Kota tidak disebutkan dapat digugat ke MA. Tidak ada upaya hukumnya bagi paslon tersanksi.

Terjadi ketidakseimbangan hak dan keadilan antara pelapor dan terlapor (paslon yang disanksi). Pelapor disediakan 2 (dua) upaya hukum yakni melapor ke Bawaslu Provinsi dan upaya keberatan ke Bawaslu atas putusan Bawaslu Provinsi, sedangkan bagi terlapor/paslon yang disanksi, hanya dapat mengajukan gugatan ke MA atas keputusan bawaslu provinsi, namun tidak tersedia upaya hukum bagi terlapor/paslon yang sanksi atas putusan Bawaslu ke MA. Kekosongan upaya hukum atas sanksi pembatalan paslon akibat Putusan Bawaslu RI mencederai sisi keadilan hak atas upaya hukum bagi paslon tersanksi.

Berbeda dengan mekanisme pada Perma No. 11 Tahun 2016, yang memberikan ruang bagi paslon tersanksi untuk mengajukan keberatan ke MA terhadap putusan Bawaslu RI/Provinsi yang ditindaklanjuti oleh keputusan berupa pembatalan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 14 Perma a quo.

Toh jika upaya hukum diajukan ke MA adalah Perma a quo yang menjadi ketentuan tekhnisnya, namun terang menyiratkan bahwa ketidakadilan bagi paslon yang disanksi dan pelapor timbul akibat penyusunan Perbawaslu yang tidak melalui proses harmonisasi regulasi. Sebagai regulasi yang muncul setelah Perma a quo, seharusnya Perbawaslu a quo menjadi regulasi yang terkonsideransi oleh Perma a quo, terlebih kedua substansi hukum ini mengatur mekanisme yang sama. Secara interpretasi sistematis Perma a quo dan Perbawaslu a quo memiliki ketidaksinkronan logis.

Dualisme Kewenangan

Terdapat ketidakjelasan dalam UU Pilkada pada pemberian kewenangan terhadap Bawaslu mengenai penyelesaian PAP. Norma Pasal 22 B huruf b, memberi kewenangan bagi Bawaslu untuk menerima, memeriksa dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait sanksi diskualifikasi. Kemudian mencermati mekanisme penyelesaian PAP Pelanggaran TSM dalam Pasal 135 A, tidak dikenal upaya keberatan untuk diajukan ke Bawaslu dan hanya berupa upaya hukum ke MA sebagaimana tercantum dalam Pasal 135 A ayat (6). Jika memperhatikan proses penyelesaian PAP Pelanggaran TSM dalam Pasal 135A, Bawaslu tidak dilibatkan.

Sejatinya Perbawaslu a quo hadir dengan kata kunci efektivitas. Jika melihat tujuannya, tentu mekanisme yang dirancang menekankan proses penyelesaian yang lebih cepat. Namun ternyata efektivitas yang ditujukan justru tergerus jika mencermati lebih lanjut penyelesaian sengketa yang disediakan dengan membuat upaya hukum baru “keberatan” ditingkat Bawaslu.

Padahal, rasio historis penanganan sengketa PAP awalnya dikeluarkan dari kewenangan MK, hingga pelanggaran TSM menjadi ranah Bawaslu. Kemudian dalam jenjangnya, pelanggaran TSM untuk Pilkada Kabupaten/Kota diadili di Bawaslu Provinsi, sedangkan pelanggaran di Pilkada Provinsi diadili di Bawaslu RI. Oleh sebab itu, ternormakan dualisme kewenangan untuk mengadili pada proses ajudikasi yaitu Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi.

Namun dengan adanya ruang upaya keberatan pada Perbawaslu a quo (Vide: Pasal 46 Perbawaslu No. 13/2017) sama saja memberi upaya keberatan sengketa di Kabupaten/Kota dapat melompat penanganannya pada Bawaslu RI. Kemudian, lanjut di UU Pilkada, tidak secara tegas memberi kewenangan Bawaslu untuk mengadili TSM (Vide: Pasal 135a). Hal ini merupakan kekosongan, dengan konsekuensi terhadap sisi ketidakpastian hukum. Dengan demikian dapat dipertanyakan sisi kekuatan mengikat dari putusan Bawaslu RI.

Saran

Regulasi yang ada seyogianya mempertegas kewenangan dari Bawaslu dalam penyelesaian PAP. Sebagaimana adanya sifat bovedegheid dalam Pasal 22 B poin b UU Pilkada, namun kemudian tidak tercantumkan mekanismenya di Pasal 135 A UU a quo. Dalam artian, kewenangan yang ada tidak diikuti dengan bagaimana ruang dan cara menjalankan kewenangan tersebut.

Hal ini seharusnya diikuti, terlebih jika mencermati substansi UU a quo yang memberikan kewenangan dan bagaimana menjalankan kewenangan tersebut pada Bawaslu Provinsi. Hal yang penting mendasari itu adalah mengingat norma yang valid setidaknya harus memenuhi kondisi merupakan bagian dari sistem norma, sebagaimana konsep validitas hukum menurut Hari Chand.

Kemudian, mestinya ada penyeragaman upaya hukum dalam ketiga regulasi a quo. Dalam ketidakseragaman ini, memang bertalian pada ruh dari Perbawaslu yang merupakan tergolong proses ajudikasi. Namun notabene Perbawaslu merupakan semi-yuridis, sebab mencantumkan ketentuan untuk upaya hukum. Disisi ini selayaknya Perbawaslu yang merupakan lex posteriori sudah harus tersistematisasi, terkonsideran, harmoni dengan Perma No.11 Tahun 2016 sebagai bagian yang mengatur mekanisme PAP pula.

Begitupula dengan kedudukannya terhadap UU Pilkada yang notabene adalah hierarkinya. Hingga atas sistematika yang teratur, selayaknya Perbawaslu bisa menjadi aturan yang mengakomodir mekanisme yang terintegrasi. Perbawaslu seharusnya terlahir atas konsep validitas hukum, sebagaimana yang dimaksud Hans Kelsen dalam Fundamental Views and Ideas of Hans Kelsen. Dimana Perbawaslu yang tergolong norma partikuler dapat diidentifikasi sebagai bagian dari suatu tata hukum (legal order) Pilkada yang berlaku (efficacious), wajib dikondisikan oleh norma lain yang lebih tinggi dalam hierarki norma, serta dijustifikasi kesesuaiannya dengan norma dasar.

Lebih lanjut soal perlindungan hak. Dalam Perbawaslu No.13 Tahun 2017, bagi pelapor diberikan dua kali upaya hukum, yakni melapor pada tingkat Bawaslu Provinsi, jika tidak diterima/ditolak maka pelapor masih memiliki hak untuk mengajukan keberatan pada Bawaslu. Dan jika dikabulkan, keberatan pelapor mengoreksi Putusan Bawaslu Provinsi maka keputusan Bawaslu tersebut final bagi KPU dan Bawaslu Provinsi. Disisi lain, bagi Terlapor, hanya memiliki satu kali pengajuan upaya hukum kepada MA (Vide: Pasal 45 ayat 3) adalah bentuk ketidakseimbangan hak. Perbawaslu yang dirancang dengan tujuan menekankan proses penyelesaian yang lebih cepat, sejatinya menekankan hak yang substansial dalam kontestasi elektoral, yakni right to be candidate yang equal pada pihak pelapor, pun bagi terlapor. Oleh karena itu, diperlukan konsep ruang hak yang sama.

Dari paparan diatas, pada ujungnya kita semua berharap pada penyelenggaraan pilkada yang lebih berkualitas. Untuk melahirkan proses tersebut tentu salah satu variabel utamanya adalah substansi hukum yang ideal, sebagaimana dimaksud adalah regulasi pilkada yang sistematis, harmoni dan berkeadilan. Dari permasalahan ini, semoga kedepannya melahirkan pembaharuan-pembaharuan regulasi yang lebih baik, demi pembangunan demokrasi di negeri yang kita cintai ini. Semoga…!

Oleh: Marco Adhitya

Alumni Fakultas Hukum UHO/Praktisi Hukum.

You may also like...