Mengeksekusi Susno Duadji, Mungkinkah ?

 Banyak sekali kekeliruan dikalangan Yuris dan sebagian pengamat hukum pidana. Berdalih  bahwa putusan tiga pengadilan (PN. PT. dan MA) yang tidak mencantumkan dalam amar putusannya. Agar Susno Duadji ditahan. Sebagaimana ketentuan imeperatif dalam Pasal 197 ayat 1 huruf ‘k” KUHAP. Adalah putusan yang dapat dieksekusi, meski tidak ada lagi perbaikan putusan oleh Mahkamah Agung.

Hal tersebut berangkat dari argumentasi hukum. Bahwa melalui Putusan Nomor 69/PUU-X/2012. MK telah memutuskan: “Pasal 197 ayat (2) huruf ‘k’ Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana … bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Artinya, tidak dicantumkannya perintah untuk tetap menahan terdakwa dalam suatu putusan hakim tidak menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.

Namun dalam hemat penulis. Putusan pengadilan atas kasus Susno. Tidaklah tepat menerapkan  putusan MK tersebut. Karena sudah tegas dinyatakan oleh putusan MK ini. Pencabutan ketentuan pasal 197 ayat 1 huruf  k Junto ayat 2 KUHAP hanya berlaku prospektif. Tidak berlaku surut (retrospektif). Oleh karena itu kajian yang lebih tepat. Setidaknya dapat membantah dalih hukum. Yang menjadi pegangan Susno dan kuasa hukumnya adalah kita kembali memahami makna “teks” secara substantif dari ketentuan Pasal 179 ayat 1 huruf ‘k”  junto ayat 2 KUHAP tersebut.

Sumber: www.republika.co.id

Sumber: www.republika.co.id

Tafsir

Secara tegas Pasal 197 ayat 1 huruf “k” berbunyi Pasal 197 (1) Surat putusan pemidanaan memuat: a. dst..; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3)…dst.

Penjelasan resmi KUHAP atas ketentuan Pasal 197 ayat (2) tersebut menyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”Penjelasan  Pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah terletak pada  kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan/salah ketik (typing error. Untuk  huruf k tidak masuk dalam pengecualian tersebut. Karena itu memunculkan pertanyaan baru, bagaimana jika sama sekali tidak ada penulisan atau sama sekali tidak ada pencantuman ketentuan huruf k tersebut ? Sebagian  orang memandang putusan demikian batal demi hukum. Dalam konteks penafsiran ini,  juga menjadi pegangan utama alias senjata ampuh. Bagi Susno Duadji dan kuasa hukumnya, termasuk Yusril Ihza Mahendra.

Tanpa memakai argumentasi hukum dari doktrin para ahli hukum pidana atau menggunakan postulat hukum negara lain sebagai comparative aproach. Sesungguhnya dengan tafsiran secara cermat ketentuan Pasal 197 ayat 1 KUHAP, Susno tidak dapat menggunakan lagi dalih hukum. Bahwa dirinya tidak dapat dieksekusi.

Pasal 197 ayat 1 huruf k jika ditelaah dengan baik. Dapat dibagi dalam tiga frase. Frase 1: perintah supaya terdakwa ditahan; atau; Frase 2: tetap dalam tahanan atau Frase 3: dibebaskan.

Frase ke-1 maknanya: terdakwa tidak ditahan sebelum putusan dibacakan dan hakim dengan putusannya memerintah untuk menahan terdakwa; Frase ke-2 maknanya: terdakwa telah ditahan sebelum putusan dibacakan dan hakim dengan putusannya menetapkan terdakwa tetap ditahan dalam tahanan; dan Frase ke-3 maknanya: terdakwa telah ditahan sebelum putusan dibacakan dan hakim dengan putusannya menetapkan tidak melanjutkan penahanan terdakwa atau dengan kata lain terdakwa dibebaskan dari tahanan. Kata “dibebaskan” pada frase ke-3 ini konteksnya penahanan, bukan terdakwa tersebut divonis bebas, sebab konteks Pasal 197 ini adalah pemidanaan.

Ditahan atau Dieksekusi ?

Dalam bahasa yang sederhana sebenarnya makna perintah untuk ditahan dalam frase tersebut tidak dapat dipungkri kalau hal itu akan menimbulkan multitafsir. Apakah maksud perintah untuk ditahan disamakan dengan perintah untuk dieksekusi. Tentu nalar sehat kita semua akan mengatakan bahwa maksud kata ditahan dalam pasal tersebut masih dalam ruang lingkup si terdakwa dalam hal untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (lihat: Pasal 190, Pasal 193, dan Pasal 253 ayat (5) “a” KUHAP). Seorang yang diperiksa, masih terus berada dalam status sebagai orang yang ditahan, bukan sebagai terpidana.

Apalagi dalam perkara yang melibatkan Komjen Pol (pur) besar ini. Sedari awal dibebaskan dari masa penahanan. Sehinga meski perkaranya masih terus berlanjut, tidak mungkin lagi hakim memerintahkan agar terdakwa Susno ditahan.

Patut juga menjadi catatan dalam pasal tersebut, terminologi penahan tidaklah bersifat absolut. Artinya bisa dilakukan, bisa juga tidak. Tapi hanya karena alasan sitersangka misalnya dapat melarikan diri, menghilangkan barang bukti, ditakutkan akan mengulangi tindak pidana dijadikan patokan seorang tersangka itu dapat ditahan. Satu lagi biasa menjadi alasan penahanan adalah jika seorang tersangka itu dikenai sanksi pidana di atas lima tahun. Tafsiran lain juga, bahwa tujuan dari pada penahanan sudah pati juga untuk memperlacar pemeriksaan dalam persidangan.

Oleh karena itu, kalau dicermati secara jelas putusan MK sebenarnya juga tidak terlalu sempurna. Dengan mencabut ketentuan Pasal 179 ayat 1 huruf k junto ayat 2 KUHAP, tanpa memperbaiki redaksi atau bunyi pasal tersebut. Seyogianya isi pasal tersebut diperbaiki oleh MK. Sehingga  frasenya menjadi; Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa dipindahkan dalam tahanan Napi jika putusan ini telah inkracht, atau tetap dalam tahanan untuk kepentingan pemeriksaan sidang selanjutnya jika putusan ini diajukan upaya hukum, atau terdakwa dibebaskan dari tahanan.

Saya kira jika seperti ini maksud teks dalam pasal tersebut. Tidaklah akan muncul perdebatan serumit sekarang. Apalagi sudah nyata-nyata Susno Duadji terbukti bersalah dan “dihukum” melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh karena itu dijatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara 6 bulan.

 Intinya, sederhana saja memahami maksud ditahan dan dipidana. Ditahan sudah pasti untuk kepentingan pemeriksaan persidangan menuju kepembuktian yang reasounal doubt. Sedangkan dipidana sudah nyata-nyata seorang tersebut terbukti kesalahannya. Dan bukan lagi menjalani penahanan. Tetapi harus menjalani pemidanaan, maka eksekusipun yang dijalankan oleh kejaksaan  merupakan bagian untuk menempatkan si terpidana dalam pemidanaan, bukan dalam kapasitas sebagai tahanan lagi.***

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...