Menghentikan Penyelewengan Konstitusi

arsip negarahukum.com

Tiba-tiba pada 29 September 2022 Komisi III DPR mengadakan rapat memberhentikan hakim konstitusi Aswanto dan mengajukan Guntur Hamzah, Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai penggantinya. Pada hari yang sama, Rapat Paripurna DPR meneguhkan keputusan Komisi III DPR itu.

Peristiwa super kilat ini menimbulkan tanda tanya, apa dasar hukum DPR memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatannya? Bukankah peristiwa ini bentuk intervensi nyata lembaga legislatif terhadap independensi peradilan? Mengapa Guntur Hamzah tidak keberatan diajukan sebagai hakim konstitusi di tengah prosedur yang tidak lazim ini? Dan, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah penyelewengan ini terus berlanjut dan meluas?

Tidak Berdasar

Tidak ada satu pun ketentuan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatannya. Penyelewengan ini terjadi sebagai akibat dari kesalahpahaman memaknai Putusan MK No. 96/PUU-XVIII/2020 dalam menguji Pasal 87 huruf b UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan UU MK.

Pasal 87 huruf b mengatur bahwa masa jabatan hakim konstitusi sampai ia berusia 70 tahun dan ketentuan itu diberlakukan terhadap hakim yang saat ini menjabat. Tidak ada lagi periodesasi masa jabatan hakim konstitusi seperti pada masa lalu. Dengan ketentuan ini, hakim konstitusi Aswanto seharusnya mengakhiri masa tugasnya pada 2029.

MK menyatakan Pasal 87 huruf b itu konstitusional dan menghendaki adanya konfirmasi dari MK kepada DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung mengenai status hakim konstitusi yang menjabat saat ini. Dalam putusan tersebut dinyatakan: “Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung).”

Sangat jelas bahwa yang melakukan konfirmasi itu adalah MK kepada DPR, bukan memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan konfirmasi, mengevaluasi apalagi memberhentikan hakim konstitusi.

Menindaklanjuti Putusan MK No. 96/ PUU-XVIII/2020, Ketua MK Anwar Usman mengirimkan surat kepada DPR dengan Nomor 3010/KP.10/07/2022 tertanggal 21 Juli 2022. Dengan surat itu, MK melakukan konfirmasi menyampaikan bahwa tiga orang hakim konstitusi yang dulu diajukan melalui DPR yaitu Aswanto, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams melanjutkan jabatannya sebagai hakim yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi jabatan seperti sebelumnya. Hal ini pada dasarnya untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh DPR sendiri yang di dalam perubahan UU MK terbaru menghapus periodesasi masa jabatan hakim konstitusi.

Namun, sebagaimana yang sudah diketahui publik, DPR sengaja memaknai surat itu sebagai dalih memberhentikan Aswanto. Tindakan yang dilakukan DPR dalam hal ini bisa digolongkan sebagai ‘penyelewengan konstitusi’ sebagai terjemahan dari abuse of the constitution (Rosalind Dixon dan David Landau, 2021). Penyelewengan di sini dimaksudkan sebagai penggunaan teknik dan tindakan yang terkesan demokratis namun bertujuan untuk melemahkan prinsip demokrasi dan negara hukum.

Hakim Loyalis

Pertanyaan lain yang muncul adalah mengapa DPR hanya mengganti Aswanto dan tidak Arief Hidayat dan Wahiduddin Adams? Dalam penyataannya di berbagai media, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuriyanto menyampaikan bahwa Aswanto diganti karena ia tidak memiliki komitmen terhadap DPR, karena ia membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR. Sebelumnya, Aswanto merupakan bagian dari mayoritas hakim yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Tidak ada satu pun ketentuan perundang-undangan yang menjadikan loyalitas hakim konstitusi kepada lembaga pengusul sebagai syarat pencalonan maupun sebagai dasar pemberhentiannya. Syarat utama menjadi hakim konstitusi ialah seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraan. Oleh karena itu, lembaga pengusul baik DPR, MA, dan Presiden melakukan seleksi untuk menemukan negarawan, bukan untuk mencari wakil dari masing-masing lembaga pengusul. Mereka tidak bertanggung jawab kepada lembaga pengusul, melainkan kepada konstitusi.

Kasus pemberhentian Aswanto ini merupakan suatu ujian penting bagi independensi MK. Bila pemberhentian Aswanto dibiarkan, bukan tidak mungkin seluruh hakim MK bisa diberhentikan sewaktu-waktu karena melakukan koreksi dan membatalkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR karena bertentangan dengan UUD 1945. Padahal tidak ada dasar hukum yang memungkinkan baik MA, DPR, dan Presiden untuk memberhentikan hakim MK di tengah masa jabatannya.

Penyelewengan seperti ini dapat terjadi di tengah sistem politik yang tidak kompetitif, di mana koalisi parpol penguasa sangat dominan dan mampu mengotak-atik serta merusak independensi peradilan. Seperti disampaikan oleh Tom Ginsburg dalam buku Judicial Review in New Democracies (2003), konstelasi politik dan formasi parlemen dapat mempengaruhi independensi dan performa pengadilan.

Saat ini, koalisi parpol pendukung pemerintah menguasai 81% kursi DPR, ditambah lagi posisi empat orang Ketua Parpol sebagai menteri di pemerintah yang membuat institusi pengadilan tidak berdaya menghadapi cengkeraman rezim pemerintah yang sangat kuat. Hal ini ditambah lagi dengan rivalitas antara hakim loyalis penguasa dengan hakim lainnya di MK.

Mencegah Kerusakan

Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah penyelewengan ini berlarut. Pertama, MK harus menyampaikan secara resmi bahwa maksud dari Surat Nomor 3010/KP.10/07/2022 yang disampaikan kepada DPR bukanlah untuk meminta DPR mengevaluasi apalagi memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatannya.

Ketiadaan klarifikasi dari MK bisa menimbulkan kecurigaan publik yang menduga ada rivalitas internal di MK, mengingat yang diajukan sebagai pengganti Aswanto adalah Sekretaris Jenderal MK. Selain itu, ketiadaan penjelasan dari Ketua MK kepada DPR tentang penyalahgunaan surat yang diajukan dinilai dapat memperkuat dugaan lemahnya kepemimpinan di MK untuk menjaga independensi dan integritas pengadilan dari gangguan eksternal.

Kedua, Guntur Hamzah baik sebagai Sekjen MK maupun Ketua Umum APHTN-HAN yang merupakan organisasi cendekiawan hukum tata negara perlu memberikan teladan untuk mendukung proses seleksi hakim konstitusi yang lebih baik. Pasal 20 Ayat (2) UU MK menyatakan bahwa “proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur lembaga negara dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh masing-masing lembaga negara.” Pada titik inilah perlu untuk melakukan tafakur menilai apakah pengajuannya sebagai hakim konstitusi telah memenuhi prinsip-prinsip di atas mengingat tidak dilakukan seleksi terbuka dan fit and proper test seperti biasanya.

Solusi ketiga berasal dari Presiden bila dua alternatif di atas tidak terjadi. Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.” Presiden bisa saja tidak mengeluarkan penetapan bila menyadari bahwa proses penggantian hakim konstitusi dilakukan tidak sesuai dengan prosedur. Apalagi keputusan presiden tersebut nanti bisa menjadi objek sengketa di pengadilan dan Presiden akan dimintakan pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut.

Selain karena alasan hukum di atas, peristiwa ini sekaligus juga merupakan ujian bagi Presiden terkait dengan komitmennya terhadap perlindungan independensi peradilan sebagai pilar utama demokrasi dan negara hukum. Stephen Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (2018) menunjukkan banyak contoh buruk bagaimana pemimpin otoriter mengendalikan peradilan dengan mencopot hakim dan menggantinya dengan loyalis pemerintah. Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk mencegah kematian demokrasi dan negara hukum dari kasus Aswanto.

Oleh:

Yance Arizona

Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

DETIKNEWS, 19 Oktober 2022

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-6356607/menghentikan-penyelewengan-konstitusi

You may also like...