Mengurangi Hegemoni Parpol

Sumber Gambar: kronologi.id

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) masih sekitar dua tahun lagi. Namun, kesibukan di internal parpol menyambut kontestasi lima tahunan itu sudah mulai tampak. Kantor parpol sudah sering buka. Silaturahmi lintas parpol sudah gencar dilakukan, termasuk dengan para tokoh, sesepuh, dan elite negeri ini. Hari Raya Idul Fitri 1443 H tampaknya dimanfaatkan oleh elite parpol sebagai momentum silaturahmi.

Sejauh ini, yang tampak oleh publik, parpol masih berbicara tentang siapa calon yang akan diusung dalam pilpres. Beberapa ketua umum parpol digadang-gadang untuk maju pilpres. Ada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurty Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua DPR Puan Maharani, Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan masih banyak lagi.

Parpol belum bicara tentang apa yang akan dilakukan jika dicalonkan dalam pilpres mendatang. Kendati regulasi pemilu sudah berganti, parpol masih menjadi satu-satunya pintu masuk dalam pencalonan pilpres. Tidak ada pintu perseorangan. Memang ada upaya memasukkan calon perseorangan dalam pencalonan presiden. Namun, ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 56/PUU-VI/2008.

Putusan itu justru memudahkan bagi tokoh, terlebih ketua umum parpol, dalam pencalonan pilpres. Ia tinggal mengajak partai lain untuk berkoalisi dalam pencalonan. Putusan MK tersebut menjadikan parpol sebagai pusat perhatian dalam pencalonan presiden. Parpol-lah penentu utama pencalonan. Tak ada yang lain.

Tulisan ini hendak menyigi dua hal penting. Pertama, apa yang dapat dibaca dari pemilihan presiden ini yang menurut jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan digelar pada 14 Februari? Kedua, bagaimana cara mengurangi hegemoni parpol? Dua pertanyaan inilah yang hendak dielaborasi dalam tulisan ini.

Hegemoni parpol

Partai politiklah satu-satunya pintu masuk dalam pencalonan pilpres. Hal itu tertuang dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa ”pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal ini memberikan gambaran bahwa partai politik dan gabungan partai politiklah yang memainkan peran dalam pencalonan presiden.

Kondisi ketatanegaraan ini memberikan catatan. Pertama, tidak ada pintu masuk lain selain parpol dalam pencalonan presiden. Parpol satu-satunya jalan. Akibatnya, parpol sangat hegemoni dalam pencalonan.

Kedua, hegemoni parpol tersebut menyebabkan tidak ada ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan siapa calon yang akan diusung parpol. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang menggunakan kedaulatan itu di bilik suara pada 14 Februari 2024 tak diajak berdialog dan bermusyawarah tentang siapa yang tepat memimpin negeri ini lima tahun mendatang.

Ketiga, rakyat hanya menerima apa yang disajikan parpol. Jika calon yang diketengahkan parpol tidak disukai, tidak dicintai oleh pemilih, tak menjadi pertimbangan oleh parpol, Keempat, partisipasi masyarakat sangat penting karena capres terpilih bukan untuk memimpin lima hari dan satu bulan, tetapi lima tahun yang akan datang.

Namun, hingga kini rakyat selaku pemilih tidak mempunyai saluran konstitusional untuk menolak pilihan parpol. Yang bisa jadi pilihan parpol itu sarat dengan kongkalingkong yang pada akhirnya merugikan rakyat. Apa yang dihidangkan parpol harus diterima oleh rakyat. Padahal, negosiasi dan komunikasi parpol dengan calon yang diusung merupakan hak rakyat untuk mengetahui, mendengar, dan disetujui oleh rakyat. Sebab, bagaimanapun, rakyatlah yang menjadi sasaran segala kebijakan tersebut kelak. Sayang sekali, dalam konteks pilpres, tidak ada partisipasi rakyat tentang siapa yang cocok memimpin mereka lima tahun mendatang. Hak rakyat telah dirampas oleh parpol.

Mengurangi hegemoni parpol

Parpol harus membuka kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Hegemoni parpol harus dikurangi. Rakyat harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan siapa calon presiden. Mekanisme pencalonan presiden di internal parpol harus dibenahi dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk berkontribusi dan berpartisipasi.

Jika tidak ada ruang itu, mekanisme pencalonan tetap tersandera praktik transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya penghalusan bahasa politik. Jika ruang partisipasi dibuka, presiden dan wakil presiden terpilih nanti tidak tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol (W Riawan Tjandra, Memilih Presiden dalam Karung, Kompas, 31/5/2014).

Lalu, bagaimana caranya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh parpol adalah dengan menggelar pemilihan pendahuluan di internal parpol (berupa konvensi capres). Parpol membuka pendaftaran pencalonan capres dengan mengundang tokoh-tokoh potensial untuk maju menjadi capres. Parpol melaksanakan pemilihan layaknya pilpres benaran. Parpol membentuk panitia seleksi di internal parpol.

Parpol dengan aturan dan standar yang disepakati melaksanakan pemilihan. Parpol mendengarkan visi, misi, program, dan kebijakan calon dan calon yang maju dipilih oleh kader parpol. Dan, bisa juga dengan parpol menggelar konvensi yang diperluas dengan mengikutsertakan rakyat sebagai pemilih dengan memanfaatkan metode e-voting. Konvensi ini pernah digelar oleh Partai Demokrat pada 2013.

Parpol didorong melaksanakan konvensi secara terbuka, transparan, dan demokratis sehingga tokoh-tokoh potensial bisa ikut serta dalam konvensi tersebut. Konvensi Partai Demokrat pada 2013 berhasil menetapkan 11 nama (Kompas, 30/8/2013). Namun, waktu itu ada sejumlah nama menolak ikut seleksi, seperti Jusuf Kalla dan Mahfud MD (Mohammad Fajrul Falaakh, Kampanye ”Kucing Berkarung Partai”, Kompas, 11/9/2013).

Dengan cara konvensi inilah hegemoni parpol dapat dikurangi. Konvensi pada 2013 akan berbeda hasilnya dengan konvensi saat ini karena pilpres diserentakkan dengan pileg. Jika tak ada konvensi, pilpres hanya akan menjadi urusan elite parpol. Setelah itu, rakyat diundang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) ketika hari-H pemilu. Padahal, parpol tak memberikan ruang sedikit pun bagi mereka untuk berpartisipasi.

 

Oleh:

Zennis Helen

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang; Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Unissula Semarang

KOMPAS, 26 Mei 2022

Sumber https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/23/mengurangi-hegemoni-parpol

You may also like...