Menjegal Calon Kepala Daerah Berstatus Napi Bebas Bersyarat

Rasa was-was bercampur gelisah sedang menyelimuti salah satu Calon Kepala Daerah Manado, Jimmi Rimba Rogi, kendati KPUD setempat masih meloloskannya sebagai Calon Walikota. Pasalnya, status Jimmi masih dalam keadaan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Dari peristiwa inilah terpantik perdebatan dari berbagai kalangan, bolehkah seorang dalam status pembebasan bersyarat diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah? Karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 membolehkan “mantan Terpidana” ikut Pilkada dengan syarat mengumumkan dirinya kepada publik bahwa dia mantan Terpidana.

Permasalahan hukum dalam kasus ini terletak pada nomenklatur “mantan Terpidana” dan “mantan Narapidana”. Bahwa jika maksud Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 adalah mantan Terpidana maka Jimmi dapat saja diloloskan, sebab sebagian orang mengartikan status “mantan Terpidana” itu sudah diraih ketika menjalani hukuman di Lapas. Sebaliknya, jika maksud putusan MK adalah mantan Narapidana, maka Jimmi tidak dapat diloloskan dengan status pembebasan bersyaratnya, sebab dia masih dalam status hukum “Narapidana”.

Napi bebas bersyarat di pilkada

Sumber Gambar: jurnalpatrolinews.com

Mantan Narapidana

Secara in abstracto penggunaan bahasa dalam ilmu hukum memiliki tatanan tersendiri. Karenanya, dalam tulisan ini penting untuk membedakan istilah “Terpidana” dan “Narapidana.” Perbedaannya, tegas dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang pada intinya menyatakan “Terpidana adalah status seseorang yang telah divonis bersalah melakukan tindak pidana oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan Narapidana adalah Terpidana yang sudah terdaftar di lembaga pemasyarakatan.”

Jadi, secara harfiah dapat dimaknai berdasarkan pasal a quo, pada saat seseorang menjadi Narapidana maka dia sudah menjadi “mantan Terpidana”. Begitu pun hanya Narapidana yang sudah menjalani hukumannya, baru dapat disebut sebagai “mantan Narapidana”.

Bagaimana dengan maksud Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015? Apakah “mantan Terpidana” atau “mantan Narapidana”? Sepintas lalu, maksud dari putusan MK memang menyebutkan “mantan Terpidana.” Sehingga interpretasi gramatikalnya berarti “bahwa seorang Narapidana pun dapat diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah, karena Narapidana sudah masuk kategori “mantan Terpidana”.

In casu benarkah maksud MK adalah mantan Terpidana? Belum tentu, sebab dengan tafsir teleologis justru terbaca “mantan Narapidana”. Dasar argumentasinya bersandar pada tiga alasan: Pertama, dasar pijakan MK mengenai perdebatan ini harus dipahami alur historical-nya, dimulai dari Putusan MK No. 4/PUU-VII/ 2009 yang amarnya pada poin (ke-2) menyatakan: “berlaku terbatas jangka waktunya selama lima tahun “sejak Terpidana selesai menjalani hukumannya”. Berdasarkan frasa “sejak Terpidana selesai menjalani hukumannya”original inten yang dikehendaki, tidak lain dari pada “Narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya”

Kedua, penjelasan Pasal 7 huruf (g) UU Pilkada menegaskan “persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya…” Merujuk pada frasa ” telah selesai menjalankan pidananya”, pada sesungguhnya pembuat UU pun mengartikan pemberian pengecualian yang dimaksud adalah “mantan Terpidana” yang telah menjalani hukumannya. Meskipun kemudian, ternyata MK membatalkan penjelasan ini, namun setidak-tidaknya dapat diambil petunjuk bahwa maksud pembentuk UU “mantan Terpidana adalah Terpidana yang telah menjalankan hukumannya alias mantan Narapidana.”

Ketiga, konsideran Putusan MK a quo yang menyatakan : … dengan demikian seorang mantan Narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan lagi hukuman oleh Undang-Undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g,” menunjukan bahwa dalam putusan a quo, MK berkali-kali menyebutkan frasa “mantan Narapidana” untuk menggambarkan seseorang yang diberikan pengecualian.

Dengan demikian, maksud UU dan Putusan MK mengenai judicial review Pasal 7 huruf g UU Pilkada, sasarannya adalah Terpidana yang telah menjalani hukumannya atau dengan kata lain mantan Narapidana. Sehingga pun konsekuensi yuridisnya, berdasarkan putusan a quo yang dapat mengikuti Pilkada, hanyalah Terpidana yang telah menjalani periode hukumannya. Atau, hanya mantan Narapidana yang sudah mengumumkan ke publik perihal status hukumnya.

Kontestan Ilegal

Selain anasir putusan MK untuk menakar ilegalnya kontestan/Calon Kepala Daerah yang masih berstatus “Narapidana bebas bersyarat” juga dapat dirasionalisasikan dengan pertanyaan: Apakah pembebasan bersyarat masih dalam kategori Narapidana atau mantan Narapidana?

Diskursus ini harus dijawab, sebab “pengkategorian” tersebut sangat menentukan pihak yang dibebaskan bersyarat lolos/tidaknya menjadi Calon Peserta Pilkada.

Dalam hal pembebasan bersyarat masuk kategori Narapidana, maka dia tidak dapat diloloskan sebagai calon peserta Pilkada. Sebaliknya, jika pembebasan bersyarat dikategorikan “mantan Narapidana” maka yang bersangkutan dapat diloloskan menjadi peserta Pilkada.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa pemidanaan (penghukuman) di Indonesia memakai “sistem pemasyarakatan”. Jadi, seseorang yang telah divonis penjara, sejatinya harus menjalani hukuman penjaranya melalui konsep pemasyarakatan. Dan konsepsi pemasyarakat itu sendiri dalam sejarahnya terbagi dalam dua tahapan yang harus dilalui oleh Narapidana: Pertama, penghukuman melalui pembinaan di dalam Lapas; Kedua, penghukuman melalui pembinaan di luar Lapas.

In concreto sebagaimana imperatifnya UU Pemasyarakatan, penghukuman tersebut tersimpul dalam fase identifikasi Narapidana; fase pembinaan mental; fase asimilasi; dan fase lepas/pembebasan masyarakat.

Pembebasan bersyarat adalah Narapidana yang sedang menjalani hukumannya berupa pembinaan Narapidana di luar Lapas. Sangat beralasan jika KPUD menjegal kontestan Pilkada yang masih berstatus Narapidana sebab status pembebasan bersyarat memang masih termasuk kategori Narapidana. Status Narapidana bersyarat tidak lain merupakan kontestan ilegal, yang tidak memenuhi syarat konstitusional untuk diuji daulat rakyatnya

Tidak meloloskan Narapidana yang bebas bersyarat bukanlah bentuk penolakan terhadap “pertaubatan Narapidana” namun secara hukum dia harus melalui tahap “penyucian diri” terlebih dahulu, sebelum benar-benar menjadi “mantan Narapidana”. Dan ketika sudah dalam keadaan sebagai mantan Narapidana, secara kondisional sudah selayaknya KPU/D meloloskannya sebagai Calon Kepala Daerah.*

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...