Merajut Asa di Hari Pemungutan Suara

Sumber Gambar: pemiluupdate.com

Gelombang ketiga elektoral demokrasi akan menyisir secara sistematis-terpadu dan serempak di 171 bagian daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.  Di sejumlah tanah air Indonesia, fajar baru bertalu-talu menyingsingkan janji sebagai asa berubahnya nasib melalui kulminasi demokrasi.

Di tengah kejumudan dan rasa pesemisme pemilih yang kian apolitis, menjadi patut dan layak kemudian diacungkan dua jempol untuk para penyelenggara pemilu dan sejumlah aktivis pemilu dan demokrasi. Mereka adalah pihak-pihak yang bekerja secara hierarkis, baik secara kelembagaan maupun secara “pribadi” tanpa kenal “lelah” dalam merebut simpatik rakyat pemilih. Rakyat pemilih sedianya datang berduyun-duyun di Tempat Pemngutan Suara (TPS), guna menyalurkan hak periodik elektoral mereka.

Kerugian Pemilih

Rabu, 27 Juni 2018, start dari Jam 07.00 dan berakhir 13.00 waktu setempat, kepada rakyat pemilih sudah bukan waktunya lagi mengurung diri di rumah, sibuk berpeluh keringat di tempat kerja, bermalas-malasan, tanpa atensi pada hak pilih yang telah diberikannya.

Suatu perbuatan dengan maksud atau dengan tujuan untuk tidak datang memilih di hari pemungutan suara adalah tindakan yang berimplikasi pada kerugian secara materil maupun secara immaterial. Secara materil, betapa ruginya kita tidak menggunakan hak pilih pasif itu, di saat negara sudah menggelontorkan dana sebanyak 20 triliun, hanya untuk pembiayaan dan belanja penyelenggaraan Pilkada dengan dasar menegakkan kedaulatan rakyat. Kita sudah tidak mendapatkan anggaran negara dalam jumlah triliunan pada aspek pemenuhan hajat hidup secara langsung. Berbanding lurus dengan itu, kita sudah tidak mendapatkan pula “kesempatan” untuk menjadi penentu garis hidup sendiri di masa mendatang, perihal Kepala Daerah yang peduli dengan jerat derita dan kemiskinan kita bersama.

Secara immaterial, kita juga telah mengalami kerugian psikologis. Pengisian jabatan pemerintahan dengan menggunakan mekanisme pemilihan langsung berdasarkan principat “demokrasi” adalah perjuangan dari sejarah berdarah-darah ummat manusia “memangkas” kekuasaan oligarki, menjadi kekuasaan rakyat sepenuhnya. Para  founding leader telah meletakkan lentera cahaya ke jantung pemerintahan; Pancasila dan UUD NRI 1945. Rakyat diberikan hak pilih dengan falsafah; mendekatkan dirinya sebagai direh dengan pemerintah (pangreh). Itulah demokrasi yang sesungguhnya. Terselenggara dalam sejumlah tahapan yang begitu panjang, menghabiskan waktu dan energi, adalah semata-mata bertujuan membangun hubungan emosional antara direh dengan pangreh.

Asa Pemilih

Asa pemilih di hari pemungutan suara sangat ditentukan oleh kemampuan kognitifnya masing-masing dalam mengonfirmasi jejak rekam setiap pasangan calon. Mereka yang tidak suka dengan korupsi, penganut indeterminisme criminal, penjahat adalah penjahat selamanya, sudah pasti dijamin hak kebebasannya untuk mendepak calon yang diketahuinya sebagai mantan napi korupsi. Demikianlah kemudian makna leksikal dan makna hitroris-fillosofisnya mahkamah tertinggi, MK sebagai guardian constitution mereduksi hak konstitusional mantan narapidana memiliki hak di hadapan pemerintahan secara terbatas, wajib mengumumkan status dirinya sebagai mantan narapidana. Biarkanlah “suara Tuhan” yang mengadilinya.

Mereka yang tidak suka dengan oligarki, pastilah menolak dinasti, dan juntrungnya akan memilih calon yang dianggapnya sebagai pembaharu. Pun dibalik itu, tidak ada secara normatif, pembatasan syarat calon kepala daerah karena adanya konflik kepentingan terkait pertalian darah berdasarkan garis keturunan vertikal dan horizontal. Deklarasi universal hak asasi manusia jauh-jauh hari telah menisbatkan bahwa jangan membatasi hak politik seseorang karena suku, agama, ras, dan golongan, termasuk di dalamnya keturunan. Terbuka pintu ijtihad bagi setiap pemilih mengadili pasangan calon yang telah memenuhi syarat seleksi, dalam mekanisme eleksi dengan format tahapan pemungutan suara.

Dan di atas semua itu, terkait dengan pengakuan hak pilih aktif atas pasangan calon tunggal yang bertarung dengan kolom kosong, sudilah kiranya disikapi dengan bijak. Esensi kolom kosong semata-mata bersangkut paut dengan hak atas kedaulatan rakyat pemilih yang tidak membenarkan penundaan pelaksanaan. Jika sudah tiba saatnya pelaksanaan hak itu, maka tunaikanlah. Konstitusionalnya pengisian jabatan pemerintahan melalui pemilihan harus tertunda “pribadi jabatan” yang akan mendudukinya, adalah hak kebebasan rakyat sendiri yang menentukannya.

Jika kolom kosong menjadi pilihan terbanyak rakyat pemilih. Pilkada akan terselenggara lagi di periode berikutnya (2020). Pun tidak ada pelarangan bagi calon yang pernah kalah untuk kembali berlaga lagi dalam kontestasi selanjutnya. Ataukah sebaliknya, pasangan calon tunggal, paslon yang ada gambarnya meraup suara terbanyak, lima puluh persen plus satu, apakah baik atau tidak? Tentu sangat ditentukan pula  oleh pemilih.

Dengan terpilihnya paslon tunggal, tidak akan terjadi pengisian jabatan melalui penunjukan (appointment) sebagai pelaksana tugas kepala daerah dalam status pemerintah daerah yang tidak dapat mengambil kebijakan strategis. Paslon tunggal terpilih, tentu biaya penyelenggaraan pemilihan akan bisa ditekan pula, sehemat-hematnya.

Siapakah yang terpilih di hari (H) pemungutan suara nanti? Masih cukup panjang perjalanan ini. Masih ada tahapan penghitungan suara di setiap TPS, rekapitulasi di PPK, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Belum lagi dengan pertarungan selanjutnya di MK, melalui perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Rakyat pemilih hanya mampu menaut dan merajut asa. Akankah nasib dan kesejahteraannya berubah di esok hari bersama dengan terbitnya mentari demokrasi di ufuk pengharapan, hari pemungutan suara. Jawabannya, sangat ditentukan oleh konsistensi paslon terpilih. Dilantik, disumpah, kemudian mereka diberikan otoritas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan DPRD dalam melayani kebutuhan rakyatnya.*

 

Artikel Ini  Muat Sebelumnya di Harian Tribun Timur, 25 Juni 2018, Halaman 29, Kolom Opini Tribun Timur Makassar

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...