Ke Mana Arah Pembaruan KUHP?

Miko Ginting:
Kepala Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Hukum pidana, yang salah satunya termuat dalam KUHP, adalah sebuah kesepakatan tentang batasan sejauh apa negara dapat melarang suatu perbuatan. Titik tolak ini tertuang dalam prinsip paling fundamental dalam hukum pidana: prinsip legalitas. Prinsip yang dikemukakan Anselm von Feuerbach pada 1801 tersebut berangkat dari adagium nullum crimen sine poena legali atau tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang.

Hukum pidana lahir jika terjadi pertemuan kehendak antara negara dan rakyat. Pelanggaran terhadap kesepakatan itu berbuah sanksi berupa pidana (nestapa). Artinya, hukum pidana hadir bukan sebatas ekspresi koersif negara, melainkan juga spirit proteksi terhadap hak asasi manusia.

Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas Rancangan Undang-Undang KUHP. Ini merupakan langkah pembaruan KUHP oleh Dewan. Masalahnya, ke mana arah pembaruannya: menghukum atau melindungi?

Semangat perlindungan sebenarnya sejalan dengan salah satu tujuan pembaruan KUHP, yaitu demokratisasi hukum pidana. Hukum pidana tidak selalu muncul untuk menghukum, tapi juga untuk melindungi dan memberdayakan.

Namun pembaruan KUHP bergerak ke arah sebaliknya. Mengutip data Institute for Criminal Justice Reform (2016), dalam Rancangan KUHP terdapat 1.251 ketentuan pidana. Pidana penjara masih menempati urutan teratas dengan 1.154 perbuatan, diikuti sanksi berupa pidana penjara. Dari kuantitas pidana penjara itu, durasi pidana penjara 5-15 tahun berada pada peringkat pertama.

Data ini menggambarkan bahwa pidana penjara masih dominan dan menjadi karakter utama pemidanaan dalam Rancangan. Benar bahwa terdapat beberapa jenis pidana alternatif, seperti denda, pidana pengawasan, hingga pidana kerja sosial. Namun jenis pidana alternatif itu tidak dapat mengimbangi pendekatan pidana penjara yang dominan.

Salah satu contoh adalah pidana kerja sosial, yang hanya dapat diterapkan pada 59 ketentuan. Peluang penerapan pidana kerja sosial ini hanya sekitar 2 persen dari total keseluruhan sanksi pidana dalam Rancangan. Dengan demikian, pidana penjara tetap diproyeksikan menjadi pendekatan utama dalam Rancangan. Hal ini menunjukkan bahwa Rancangan KUHP masih kental dengan naluri pengawas yang berupaya mengontrol sebagian besar perilaku masyarakat.

Penggunaan instrumen pidana untuk mengontrol perilaku rakyat ini didukung oleh karakter hukum pidana yang memaksa (koersif). Hukum pidana dapat menerobos kemerdekaan seseorang atas nama hukum. Dengan demikian, hukum pidana adalah instrumen yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku masyarakat.

Miller (1934), misalnya, memproyeksikan bahwa terdapat kecenderungan pemerintah menggunakan hukum pidana sebagai strategi yang efektif dalam mengontrol perilaku rakyat. Proyeksi yang sama pernah dikemukakan Garland (2001) dengan kritik yang lebih tajam bahwa kecenderungan pemerintah untuk mengontrol perilaku masyarakat ini sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengendalikan kejahatan di yurisdiksinya.

Kecenderungan untuk mengontrol itu terlihat dari langkah menjadikan perbuatan yang dulu bukan perbuatan pidana menjadi pidana (kriminalisasi). Begitu juga dengan kecenderungan mempertahankan perbuatan pidana tetap menjadi perbuatan pidana.

Hal ini bukan berarti bahwa negara tidak boleh menghukum wwperbuatan jahat. Atas dasar kepentingan umum, negara dibekali tugas untuk mengatasi perbuatan jahat yang merugikan individu, masyarakat, maupun negara. Namun parameternya adalah pada seberapa perlu suatu perbuatan dijadikan perbuatan pidana dengan dasar perlindungan hak asasi manusia.

Negara tidak perlu gamang dalam mengkriminalkan perbuatan-perbuatan yang secara universal dinyatakan jahat (mala in se). Namun negara perlu mengurai lebih lanjut proporsi kriminalisasi terhadap perbuatan yang dinyatakan jahat karena dinyatakan jahat dalam aturan (mala prohibita).

Kata kunci dalam tindakan kedua itu adalah relativitas. Sepanjang perbuatan itu tidak secara universal dinyatakan jahat, terhadapnya dibutuhkan uji keperluannya. Parameternya tidak boleh hanya berbasis moralitas yang dipandang secara subyektif oleh pembentuk undang-undang. Perbuatan itu disepakati sebagai perbuatan pidana hanya jika terdapat pertemuan kehendak antara negara dan rakyat. Pada konteks ini, pemberian legitimasi dari publik menjadi sangat vital.

Pengutamaan hukum pidana sebagai yang “harus” dan bukan lagi yang “perlu” pada akhirnya berdampak kurangnya apresiasi pada hukum pidana itu sendiri. Moeljatno (1983) menyatakan bahwa semakin banyak hukum pidana dibuat (melebihi proporsionalitas), hal itu dapat berujung pada inflasi hukum pidana. Kecenderungan yang sudah tampak adalah naiknya ancaman pidana dalam banyak undang-undang pasca-reformasi (Anugerah Rizki Akbari: 2015).

Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah dan DPR sebaiknya menarik Rancangan KUHP dari pembahasan. Penarikan ini bertujuan memastikan bahwa pembaruan KUHP bergerak menuju misi besarnya, yaitu demokratisasi hukum pidana dengan spirit proteksi terhadap hak asasi manusia, bukan menuju hukum pidana yang koersif dan kejam tapi minim nilai.

Oleh:

Miko Ginting

Kepala Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Tempo, 22 Februari 2018

You may also like...