Narapidana Tanggung Jawab Siapa

Sumber Gambar: unpad.ac.id

DALAM situasi darurat kesehatan karena pandemi korona saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur mengenai pemberian remisi harus dikesampingkan. PP ini mengatur bahwa pemerintah tidak memberlakukan pemberian remisi melalui penerapan program asimilasi dan integrasi kepada narapidana teroris, koruptor dan narkotika

Seharusnya, di masa darurat seperti ini, atas nama keselamatan warga negara, pemerintah tidak bisa memilih-milih status narapidana yang dibebaskan. Karena semua warga binaan mempunyai hak yang sama untuk mendapat pembebasan agar terhindar dari ancaman penyakit menular.

Penyebaran virus korona tidak melihat status narapidana. Baik narapidana umum, korupsi, ataupun narkoba sama-sama berpeluang terserang virus yang menyebar di lingkungan penjara. Kalau sampai ada narapidana yang masih di dalam penjara terkena virus korona, siapa yang akan bertanggung jawab. Apakah pemerintah mau menanggung segala konsekuensinya?

Saya tetap berpikir, lingkungan yang paling aman bagi para narapida terutama yang sudah sepuh apalagi memiliki penyakit penyerta, adalah di rumah mereka masing-masing, bukan di dalam penjara.

Menurut data Kemenkumham pada 2018, jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang. Kebijakan pemerintah untuk menahan penyebaran dan penularan wabah korona adalah dengan melepaskan 30.000 dari 248.690 total narapidana yang tersebar di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Artinya kepadatan berkurang 1/8 dari semula

Sebelumnya PBB meminta agar seluruh tahanan dibebaskan karena penjara berpotensi menjadi tempat penyebaran dan penularan korona, yang berisiko bagi penghuni penjara. (https://www.france24.com/en/20200325-un-urges-prisoner-releases-to-stem-spread-of-coronavirus).

Semua negara telah melepaskan para narapidana mematuhi peringatan PBB. Sementara Indonesia hanya membebaskan 1/8 dari total narapidana yang mendekam di penjara-penjara Indonesia. Apakah pengurangan 30.000 penghuni penjara akan memenuhi physical distancing seperti yang setiap hari diserukan WHO, Presiden Jokowi dan seluruh jajaran menteri?

Buruknya situasi kebersihan dalam penjara menjadikan sangat rentan bagi penghuni di tengah wabah korona yang cepat menyebar dan menular seperti saat ini. Tentu, karena penjara bukan menjadi prioritas sehingga tidak ada anggaran untuk kebersihan.

Kalau tadinya satu kamar di rutan (rumah tahanan) atau LP (lembaga pemasyarakatan) berisi 20 orang, dengan pengurangan 1/8 penghuni maka satu kamar tahanan hanya akan berkurang 3 orang saja. Jadi, penghuni pada kamar tahanan yang berukuran 4×5 meter akan berkurang dari 20 menjadi 17 orang. Bisa dibayangkan bagaimana physical distancing harus dilakukan.

Sebagian besar kamar tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup. Sudah sebulan penghuni dilarang keluar blok. Keadaan ini menyebabkan para penghuni diserang penyakit paru-paru karena lembab. Dengan, ransum makan yang kurang memadai dan kurangnya gizi dan protein, sudah pasti akan menurunkan daya tahan tubuh yang berdampak merusak imunitas. Dalam keadaan wabah seperti saat ini sudah jelas penjara tetap akan menjadi tempat ledakan baru wabah korona.

PHEOC (Health Emergency Operations Center) Kementerian Kesehatan bentukan WHO telah melakukan skrining terhadap 11.460 masyarakat umum, ternyata ditemukan  2.491 kasus positif korona atau secara kasar kira kira 20%. (https://infeksiemerging.kemkes.go.id/). Angka yang cukup tinggi meskipun dengan perhitungan kasar.

Jika angka tersebut digunakan untuk acuan, di dalam rumah tahanan Pondok Bambu misalnya, yang penghuninya sekitar 500-an narapidana, kalau dihitung kasar 20% berarti ada 100 orang narapidana yang diduga positif korona, tersebar di 45 kamar yang padat.

Para narapidana yang masih muda mungkin asimptomatik. Tapi di Rutan Pondok Bambu, sudah sempat ada 2 orang sakit dan langsung diisolasi. Belum diketahui apakah pernah ada pemeriksaan pada kedua orang tersebut, apakah positif korona atau tidak.

Ketika terjadi kasus pertama narapidana sakit dengan gejala mirip korona, petugas segera menelpon call center/hotline 112. Karena katanya pasien akan segera dijemput  dan diperiksa. Namun petugas 112 yang menjawab tidak sesuai dengan janji. Dia menjawab harus antri menunggu penjemputan. Ketika ditanya antrian nomor berapa, dijawab tidak tahu sambil tidak peduli. Akhirnya  tidak ada petugas yang menjemput dan memeriksa pasien tersebut sampai saat ini. Sekarang di Rutan Pondok Bambu sudah dua orang diisolasi karena sakit.

Bagaimana dengan narapidana yang dimasukan kategori high risk (berisiko tinggi) tertular dan bisa fatal karena korona? Beberapa orang yang tersisa, tidak dibebaskan karena PP No.99/2012 sudah berusia di atas 60 tahun. Itu usia yang ipatok berisiko oleh WHO. Sebagian besar memiliki penyakit penyerta seperti, diabetes, jantung, asma, hipertensi, paru dan kemungkinan kanker.

Siapakah yang harus bertanggung jawab kalau mereka tertular dan berakibat fatal?Jangan sampai nanti kepala LP dan rutan yang akan menjadi kambing hitam dari kebijakan yang tidak tepat, sehingga harus berhadapan dengan pengadilan.

Perlu diingat, dalam Undang-undang dinyatakan dalam keadaan wabah pandemi seperti saat ini, pemerintah bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya, tidak ada pengecualian terhadap yang ada di dalam penjara. Artinya keselamatan rakyat termasuk yang di dalam penjara menjadi tanggung jawab pemerintah untuk diselamatkan dari kesakitan dan kematian.

Berdasarkan undang-undang, negara berhak menghukum, akan tetapi negara juga bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan, keamanan dan kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Hak-hak narapidana tersebut juga dilindungi dalam Standards Minimum Rules For The Treatment of Offenders and Prisoners yang diterbitkan oleh PBB pada 1955, yang telah diadopsi dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta dijamin dalam UUD 45 dan perubahannya.

Sampai saat ini belum ada skrining atas para narapidana yang tersisa dalam penjara di seluruh Indonesia. Sehingga satu orang saja terpapar, ledakan wabah pasti tiba

 

Oleh:

Romli Atmasasmita

Pakar Hukum Pidana, Guru Besar Ilmu Hukum  Universitas Padjajaran Bandung

Artikel ini telah muat sebelumnya di Harian Media Indonesia,  15 April 2020

You may also like...