Nasab Dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hukum perkawinan di Indonesia ini meliputi :

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Sejak berlakunya UU No. 1 1974, maka segala peraturan yang mengatur tentang perkawinan menjadi tidak berlaku. Hal ini dijelaskan dalam pasal 66 undang-undang perkawinan yang menyatakan : untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetbook), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwerlijk ordonantie Christen  indonesiers S. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Regelling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-praturan lain yang mengatur tentang perlawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Peraturan pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanan dari undang-undang tersebut. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, maka telah pastilah  saat mulainya pelaksanaan secara efektif undang-undang No. 1 tahunm 1974 tentang perkawinan tersebut, ialah pada tanggal 1 oktober 1975.

 Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai pegangan bagi para hakim bagi pengadilan agama memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadikan kewenangannya. KHI juga sebagai pegangan bagi masyarakat mengenai hukum islam yang  berlaku  baginya  yang  sudah  merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab fiqh yang semula tidak dapat mereka baca secara langsung.

Berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991, dan Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991, dan surat edaran pembinaan badan peradilan agam islam atas nama direktur jendral pembinaan kelembagaan agama islam No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi agama dan ketua pengadilan agama diseluruh indonesi, kompilasi hukum islam berlaku sebagai hukum materiil di pengadilan agama yang merupakan pengadilan bagi yang beragama Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 menyatakan : (a). pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam, (b). pengadilan umum bagi lainnya.

 Pengertian nasab.

nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah  hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan. Pasal 42 dimyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan ornag tuanya selama merka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
Dan pada pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsingkan perkawinan. (2) orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum  didalam dan diluar pengadilan. (3) pangadilan agama adapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.

Dalam hukum perkawinan Indonesia hubungan ini tidak dititik beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan kepada keduanya secara seimbang. Namun seorang anak menjadi tanggungjawab bersama antara isteri dan suami.

Dasar-dasar nasab

Seorang anak, dilihat dalam Hukum Perkawinan Indonesia secara lansung memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat dipahami dari pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan Indonesia didasarkan pada:

Perkawinan yang sah.

Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya. Setiap perkainan harus dicatat menurut perturan perundang-ungan yang berlaku. Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam beberapa ketentuan yaitu: Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi : ”anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Kedua, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat  perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Dapat di pahami dari peraturan peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan  sah,  bila memenuhi salah satu dari 3 syarat :

  1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan, Pertama,  Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut, namun kira perlu pertanyaan yang besar  apakah memeng demikian ?.
  2. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat dari adanya perkawian yang sah.
  3. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang sah, dan kemudian dilahirkan oleh istrinya. Ketentuan ini untuk menjawab kemajuan teknologi tentang bayi tabung.

Perkawinan yang dibatalkan

Kompilasi Hukum Islam pasal 76 menyatakan batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hukum antara anak dan orang tuanya. Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan hanya keputusan Pengadilan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan dengan syarat-syarat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 22-28. Pasal 22: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melansungkan perkawinan. Pasal 23:  yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: Para keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau istri; Pejabat perkawinan hanya selama perkawina belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk tersebut UU Perkawinan  pasal 16  ayat (2) dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara lansung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawian itu putus. Pasal 24: Barang siapa karena perkawinan masih terkat diri dangan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan yang baru dengan tidak dmengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan. Pasal 25: Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di man perkawinan dilansungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, Suami atau istri.

Pasal 26: (1) perkawinan yang dilansungkan di muka pegawai pencatat perkawian yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilansungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri jaksa dan suami atau istri. (2) Hak untuk membatalakan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawian yang dibuat pegawi pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharu supaya sah.

Pasal 27: (1)seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu belansungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. (3) Apabila ancaman itu telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28: (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dberlaku sejak saat berlansungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan dari perkawian tersebut; suami istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; orang ketiga lainnya tidak dtermasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Seterusnya sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70-76 yang menyatakan: Pasal 70: Perkawinan batal apabila: (a) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah dmempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i. (b) Seseorang menikahi istrinya yang telah dili‟annya. (c) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah dmenikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dhukkul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. (d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susunan sampai derajat tertentu  yang manghalangi  perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoarng denga saudara neneknya; Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi dan paman sesusuan; (e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemaenakan dari istri atau istri-istrinya.

ada pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:(a) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; (b) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih sebagai istri orang lain yang mafqud; (c) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui  masih dalam iddah dari suami lain;(d) perkawian yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana yang ditetapkan pasal  7 UU No. 1 Tahun 1974  (e) Perkawinan yang dilansungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak dberhak; (f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72: (1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.(2) Seorang suami atau istri dapat dmengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlansung nya perkawinan terjadi dpenipuan atau slah sangka mngenai diri suami atau istri. (3) Apabila ancaman itu telah berhenti, atau berslah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka 6 (enam)  bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73: Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawian yaitu: Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenag mengawasi pelaksanaan perkawian menurut Undang-Undang; para pihak yang dberkepentingan yang mengetaui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Selanjutnya pada pasal 74: (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan Pengadilan Agama yang ddmewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilansungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah  putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlansungnya perkawinan.

Pasal 75:, dijelaskan bahwa keputusan pembatan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: (a) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad; (b) Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;(c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad abaik, sebeblum keputusan pembatan perkawinan mempunyai dkekuatan hukum yang tetap.

Selanjutnya pasal 76: Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dapat dipahami dari maksud ketentuan tidak berakhirnya hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya, jika perkawinan kedua orang tuanya dibatalkan oleh pengadilan adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan didasarkan pada pertimbangan masa depan si anak.

Rahmat Hidayat, S.H. M.H

Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

You may also like...