Negeri Koruptor “Alergi” Pidana Mati

Indonesia merupakan negara besar. Negeri yang jumlah penduduk banyak, serta kaya akan Sumber Daya Alam. Ironis negeri ini belum suskses mensejahterakan rakyatnya. Usut punya usut penyebab utama adalah praktik korupsi merajalela.

Praktik korupsi memang memporak-porandakan tatanan negeri ini. Laku ini “berhasil” melemahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, serta merusak mental anak bangsa. Anehnya meski pemerintahan silih berganti, korupsi tetap saja menyerang membabi buta. Hingga banyak yang menganggap korupsi sudah menjadi tren masa kini. Lebih ekstrim lagi korupsi sudah menjadi budaya dalam masyarakat.

Penulis tidaklah sepaham dengan pendapat korupsi merupakan budaya. Kata “budaya” atau kebudayaan sebagai aktualisasi sistem nilai-nilai kebajikan. Nilai yang diterima dalam kehidupan, karena memberikan keadilan dan beradab. Sedangkan praktik korupsi adalah tindakan melanggar rasa keadilan masyarakat.

Terlepas dari kesalahan pendompelan kata “budaya”, penulis dilain sisi memahami kenapa masyarakat lazim menggunakan kata “budaya korupsi”. Pertama, praktik korupsi seperti suap sering terlihat didepan mata pada saat pengurusan-pengurusan di instansi pemerintahan. Sudah menjadi rahasia umum, bila pengurusan KTP ingin cepat harus ada uang pelicin.

Kedua, Era reformasi yang melahirkan politik desentralisasi telah menciptakan “raja-raja” kecil di daerah. Desentralisasi dengan tujuan utamanya pemerataan kesejahteraan ke pelosok daerah, disulap menjadi desentralisasi korupsi. Kongkalikong kepala daerah dengan DPRD tumbuh subur. Penulis kembali memperlihat data Kemendagri (16/4/2012), merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.

Kepiawaian Kepala Daerah tidak jauh berbeda dengan anggota DPRD. Hal tersebut dapat dilihat dari temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga penggiat antikorupsi ini, pada tahun  2010 merilis data anggota legislatif/ DPRD yang melakukan praktik korupsi sepanjang tahun 2004-2009 berjumlah 1.243 anggota. Belum termasuk sejumlah anggota DPRD Riau yang diduga terlibat kasus korupsi Wisma Atlet.

Ketiga, ramainya para elit negeri mempertontonkan praktik kotor korupsi di pusat. Megakorupsi Skandal Bank Century, Wisma Atlet, Hambalang, mafia anggaran, simulator SIM telah “terang”  dipraktikkan pejabat negara. Tersangkanya pun melibatkan orang-orang besar. Mulai dari anggota DPR RI, Perwira Tinggi Polri, petinggi Partai Politik penguasa, hingga tersangka baru Hambalang Menpora Andi Alfian Mallarangeng.

Tumbuh subur praktik korupsi menandakan lemahnya komitmen pemerintah. Para penguasa negeri ini lupa akan agenda reformasi. Agenda yang menghendaki perubahan disegala bidang. Penegakan supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Regenerasi Koruptor

Dari negeri “surga” bagi koruptor ini. Memperlihatkan adanya regenerasi pelaku korupsi. Praktik menjamurnya korupsi bagaikan organisasi yang melahirkan kader-kader baru. Bila tersangka koruptor dulu didominasi tokoh-tokoh tua, sekarang justru telah merambah generasi muda.

Regenerasi koruptor di tanah air bak mata rantai membentuk lingkaran setan. lingkaran korupsi tak berujung. Menggarong uang rakyat menjadi magnet menakutkan. Apalagi tokoh muda yang diharapkan membersihkan negeri ini dari korupsi,  justru banyak terlibat didalamnya.

Walhasil kita pun sekarang lebih banyak melihat tokoh muda terjerat korupsi. Praktik kotor yang bukan hanya didominasi kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan. Korupsi telah berhasil menanjabkan dominasinya, merusak mental generasi muda. Penerus cita-cita para pendiri negeri ini.

Menariknya meski sudah banyak pelaku korupsi yang dipenjara. Laku ini tetap tumbuh seperti jamur di musim hujan. Pidana penjara bagi koruptor tidak menimbulkan efek jera. Upaya perampasan aset terpidana, hingga pemiskinan koruptor tidaklah menakutkan bagi para pelaku korupsi. Penulis pun berharap kepada para penegak hukum agar tidak alergi menjatuhkan putusan pidana mati.

 

Matikan Koruptor

Terlepas dari perdebatan sepakat atau tidak sepakat pidana mati, penulis lebih menenkankan pada pentingnya pidana ini dijatuhkan. Model pemberantasan korupsi dengan tidak segan-segan menjatuhkan pidana mati, telah efektif diterapkan di negara Cina. Sebagai kejahatan  extra_ordinary sudah selayaknya pidana ini dijatuhkan kepada koruptor.

Pidana mati tidaklah melanggar konstitusi. Malahan pidana mati sudah lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan jenis-jenis pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Khusus pidana pokok termasuk di dalamnya pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan  pidana denda.

Sedangkan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Artinya guna memutuskan tali rantai lingkaran setan, membasmi para koruptor. Maka hakim haruslah menjatuhkan putusan pidana mati bagi koruptor. Penegak hukum negeri ini tidak boleh “alergi” pidana mati, bila memang komitmen terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...