OSO yang Jumawa; Peta Jalan Untuk KPU

Sumber Gambar: kompas.com

Jika ada pihak yang menyita pikiran dan energi KPU ditengah proses helatan Pemilu 2019 saat ini, ia adalah Oesman Sapta Odang (OSO), dan mereka yang disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa/ODGJ (saya sengaja tidak menyebutnya “orang gila” untuk menghormati hak asasinya). Soal ODGJ, hukum – melalui putusan MK – sudah memberikan hak untuk memilih (right to vote) kepada mereka, dan telah ditindaklanjuti dengan PKPU No 11/2018, meskipun sebetulnya hak politik termasuk dalam hak yang bisa dibatasi (oleh hukum), dengan alasan hukum (ratio legis) yang memungkinkan untuk pembatasan itu.

Tapi dibanding masalah ODGJ, OSO lah yang paling membuat KPU pusing dan bingung, termasuk juga kita sebagai pegiat/pemerhati hukum. Sebagai Ketum Parpol (Hanura), OSO seakan jumawa, superpower, menantang dan mencibir nalar hukum kita. OSO memaksa KPU berpikir keras ketika diperhadapkan dengan tiga putusan pengadilan; MK, MA, dan PTUN, dua diantaranya (MK dan MA), mengikat dan final (final and binding). KPU bingung putusan mana yang harus diikuti. Banyak yang menyarankan KPU mengikuti putusan MK, tidak sedikit pula yang berseberangan. KPU diminta hati-hati bertindak. Semua keputusan yang akan dikeluarkan memiliki konsekuensi hukum serius, KPU pasti sudah membaca dan menimbang itu. Sementara OSO merasa ‘diatas angin’ karena diuntungkan dengan putusan MA (uji materi PKPU No 26/2018) dan PTUN (keputusan KPU soal penetapan DCT) yang kesemuanya diajukan dan dimenangkan olehnya, hebat! Disamping ia adalah Pimpinan Parpol yang masuk dalam barisan koalisi Jokowi-Maruf, sebuah posisi politik yang ‘menguntugkan’ dirinya untuk memaksa KPU tunduk.

Semua bermula dari keengganan OSO mengundurkan diri dari kepengurusan Parpol (Hanura) saat mendaftar sebagai calon anggota DPD. Cacat UU Pemilu No 7 Tahun 2017 lah yang ‘mengizinkan’ OSO untuk tidak menanggalkan status keanggotaannya. Dari 16 syarat calon pada Pasal 182 UU No 7/2017, tidak ada larangan rangkap jabatan sebagai pengurus/anggota parpol. Isi Pasal 182 UU No 7/2017 seperti meng-copy paste– Pasal 12 UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tentang Peserta Pemilu Anggota DPD yang juuga tidak memasukan larangan itu. Tidak diaturnya larangan rangkap jabatan sebagai anggota/pengurus parpol ini patut dicurigai sebagai persekongkolan jahat elit parpol. Mendegradasi semangat pembentukan DPD sebagai representasi aspirasi daerah non parpol, sekaligus sebagai kamar penyeimbang di lembaga perwakilan dengan model bicameral. DPD rasa partai.

Sekarang, sikap KPU ditunggu, apakah mengikuti putusan MK dengan mengabaikan putusan MA dan PTUN, atau sebaliknya.

Mengurai persoalan ini, seyogianya memakai pendekatan penalaran hukum konstitusional, agar tidak terjebak pada wilayah perdebatan hukum hitam-putih. Termasuk bagaimana kita mendebat putusan PTUN yang melawan putusan MK saat membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018.

Pertama, putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada intinya menerangkan bahwa anggota/pengurus parpol harus mengundurkan diri ketika mendaftar sebagai caleg DPD. Persoalannya ada ruang kosong dalam putusan itu yang debatable. MK membiarkan publik menafsirkan keberlakuan (waktu) putusan tersebut. Apakah serta merta diterapkan pada pemilu 2019, atau sesudahnya. Padahal, sebuah putusan harus bisa memberikan kepastian hukum.

Situasi ini jika digiring ke asas non retroaktif, akan menyulitkan KPU untuk mengikuti putusan MK ini, jika mengacu ke tahap pendaftaran, penetapan DCS dan DCT yang sudah dilewati. Meskipun demikian, KPU bisa merujuk pada beberapa putusan MK yang retroaktif. KPU bisa menjadikan putusan MK Nomor: 102\/PUU-VII\/2009 yang membolehkan penggunaan KTP dan KK bagi warga yang belum terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang dikeluarkan pada 6 Juli, untuk bisa mencoblos pada Pilpres 2009 tanggal 8 Juli, putusan tersebut hanya berselang 2 hari sebelum Pilpres.  Putusan lain adalah putusan PUU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pengujian Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan Pasal 212 UU  a quo. Demikian pula dalam pengujian UU HAM No 39/1999 (kasus Bom Bali), MK mengeluarkan putusan yang retroaktif.  Pertimbangan MK dalam putusannya, agar bisa memberikan keadilan substantif.

Lagi pula, asas non retroaktif itu bersandar pada asas legalitas sebagai asas dasar dalam ajaran hukum pidana. Karakteristik hukum pidana dengan hukum tata Negara, khususnya dalam praktik pengujian undang-undang memiliki perbedaan mendasar. PUU di MK menyangkut “kerugian konstitusional” warga Negara, bukan “kerugian jiwa” dalam ajaran hukum pidana. Pengujian undang-undang tidak termasuk dalam rumpun hukum pidana, tapi hukum tata Negara atau administrasi Negara. Sehingga asas yang digunakan dalam praktik peradilannya pun berbeda. Sebagaimana asas-asas yang berlaku dalam hukum perdata, peradilan agama, militer. jadi, ketika putusan tersebut dibacakan, OSO tidak bisa terdaftar dalam DPT jika tidak mengundurkan diri sebagai pengurus parpol (Hanura).

Kedua, ditinjau dari kewenangan menguji. Kewenangan menguji MK adalah UU terhadap UUD 1945, sementara kewenangan menguji MA adalah peraturan dibawah UU terhadap UU. Jika dikaitkan dengan ajaran stufenbau theory Kelsen (ajaran sistem hukum), maka sepatutnya putusan MK lah yang harus diikuti KPU. Konstitusi adalah hukum tertinggi, dan MK yang berwenang menguji keabsahan norma dalam UU yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).

Ketiga, putusan PTUN yang membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 melawan putusan MK No: 30/PUU-XVI/2018. Meskipun sebagai produk KTUN, tapi roh Keputusan KPU tersebut bersandar pada Putusan MK No: 30/PUU-XVI/2018 tentang PUU Pasal 128 UU Pemilu. Ini tercantum pada bagian konsideran “mengingat” keputusan KPU a quo. Bahwa “frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU No 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) parpol”. Artinya, secara jenjang norma, Keputusan KPU a quo merujuk pada putusan MK yang setara dengan UU. Sebagai KTUN, ia tidak berdiri sendiri, roh dan jiwanya terikat dengan putusan MK. Ketika PTUN membatalkan Keputusan KPU tersebut, secara langsung juga menolak/melawan putusan MK. Melawan asas erga omnes dalam putusan MK. Ini tidak baik bagi tertib hukum pemilu di Indonesia.

Keempat, dengan mengikuti putusan MK, KPU membantu menjaga independensi DPD dari kooptasi parpol. Dalil Pemohon PUU No 7/2017 menjadikan data Indonesian Parliamentary Center. Data tersebut cukup mengejutkan, hingga akhir 2017, ada 78 dari 132 anggota DPD yang merupakan pengurus parpol. Berdasarkan data itu, yang terbanyak adalah berasal dari Partai Hanura (28 orang), Partai Golkar (14 orang), Partai Persatuan Pembangunan atau PPP (8 orang), Partai Keadilan Sejahtera atau PKS (6 orang), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Jadi memang ada persekongkolan jahat parpol ketika tidak memasukan larangan anggota Parpol untuk mendaftar sebagai caleg DPD tanpa didahului dengan pengunduran diri.

KPU jangan ragu mengikuti putusan MK. KPU harus berani mempertahankan produknya. Dengan cara begitu, KPU mengingatkan letak kekeliruan putusan PTUN. Jikapun hendak kompromi, KPU bisa menyurati OSO untuk mengundurkan diri sebagai pengurus Hanura, agar bisa diakomodasi dalam DCT. Ini untuk menguji sikap OSO, sebagai negarawan atau pemain sirkus politik.

Oleh: Wiwin Suwandi (Advokat, Peneliti Negara Hukum.com)

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...