Opini Publik, Media dan Pornografi (suatu analisis- legal psychology)

Pembicaraan tentang tema pornografi menjadi perbincangan hangat. Mulai dari seminar ilmiah, media elektronik (baik visual maupun audio visual, media elektronik, dan media cetak), sampai pada kafe-kafe terdengar ramai meyinggung artis yang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari sebagai pelaku adegan video syur yang telah menyebar mulai dari dunia maya sampai telphone genggam. Tak ada lagi orang yang tidak pernah menyaksikan pertunjukan video syur itu.

Opini publik telah menggiring kedisiplinan normatif hukum ala Kelsen (pure of law) bahwa tak ada lagi dasar dan argumentasi untuk mengelak ketika pelaku adegan video syur  itu sudah di ketahui oleh publik. Bukan lagi dalam kapasitas sebagai praduga tak bersalah (persumption of innocence). Ahli yuris, pakar telematika, pakar micro ekspresion, ahli kedokteran forensik membaur bersama untuk mengungkap bersalah atau tidak (guility or not guility) pelakunya.

Institusi penegak hukum dalam kepolisian sebagi penyelidik dan penyidik menjadi kalang kabut atas desakan dan tekanan dari media dan publik yang berbeda pendapat (pro dan kontra) untuk mengkriminalkan pelaku telah berbuat salah dan melanggar peraturan perundang-undangan.

Asas legalitas kembali diperkuat, seorang tidak boleh dipidana kalau tidak ada peraturan yang mengaturnya kemudian. Undang-undang KUHP, Undang-undang Pornografi (Nomor 44  tahun 2008), dan Undang-undang ITE adalah dasar hukumnya untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi. Persoalan yang mencuat dari kasus tersebut, yaitu tidak adanya keseragaman (uniform) antara ahli hukum dan institusi penegak hukum tentang terpenuhinya unsur delik kesusilaan dan pornografi yang telah diatur dalam Undang-undang. Hukum bagai aturan yang tak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial (social control). Undang-undang menjadi multiinterpretatif oleh kalangan ilmuwan hukum dan institusinya. Siapa yang menjadi korban? Pelaku adegan video syur  ataukah masyarakat yang telah menikmati sehingga disinyalir dengan beredarnya video syur dalam waktu dua minggu telah meresahkan masyarakat dari kasus kejahatan dan penyimpangan seksual. Frekuensi kejahatan Pemerkosaan anak (child rape), pelecehan seksual, semakin meningkat dalam waktu 10 hari. Komisi perlindungan anak Indonesia mengumpulkan data kekerasan seksual terhadap anak sekitar 33 kasus dalam waktu sepuluh hari. Munculnya video syur yang baru dari berbagai propinsi tidak boleh lagi menjadi alasan bagi penyidik berdiam diri atas kejahatan pornografi.

Salah satu alasan baik dari partisipan hukum maupun non partisipan hukum yang mempengaruhi “mengkriminalkan” pelaku video syur  yang masih mirip adalah tekanan publik, LSM, pelakunya adalah figur publik (artis) yang banyak dieluk-elukan alias diidolakan. Segala perbuatan, tindak-tanduk dari figur adalah dibenarkan walaupun dianggap bertentangan dengan moral, budaya dan adat ketimuran.

Demikianlah, tegaknya hukum sebagai benda mati yang dihidupkan oleh institusi hukum dan publik adalah dipengaruhi oleh determinan partisipan hukum. Hukum bukan sekedar yang tercantum dalam Undang-undang. Undang-undang pornografi dianggap undang-undang yang kompromistis, tidak jelas, debatable, dan tidak melindungi pribadi dan privasi seseorang.

Undang-undang pornografi dipandang oleh sebagian ilmuwan hukum sebagai dasar yang sudah tepat untuk menangkap pelaku video syur. Padahal pasal 4, pasal 6 dan pasal 9 tidak dapat dikategorikan sebagai delik (tindak pidana) terhadap orang yang memotret, memvideokan dirinya hanya untuk kepentingan pribadi. Penjelasan Undang-undang dianggap bertentangan dengan batang tubuhnya. Hakimlah menjadi penentu terakhir apakah akan mengenyampingkan penjelasan Undang-undang tersebut ataukah hakim akan melakukan penemuan hukum (rechtsfinding). Kepentingan pribadi menjadi terminology yang ditafsirkan berbeda. Video syur yang beredar tidak bisa dipandang sebagai pembuatannya adalah untuk kepentingan diri sendiri, karena mereka berdua. Privasi di sini adalah bukan maksud pada adanya dua orang tersebut, tetapi video tersebut dimaksudkan untuk kepentingan privasi dan rahasia mereka berdua.

Penulis sendiri memandang bahwa penangkapan Ariel adalah usaha mengkriminalkan pelaku yang belum jelas status hukumnya. Ironisnya ada pemaksaan dari pihak yuris, menteri maupun dewan legislasi untuk mengakui perbuatannya. Apa mereka benar-benar lupa pada hak asasi yang dijamin dalam hukum acara penyelidikan dan penyidikan. Hanyalah pihak penyelidik dan penyidik yang dapat menggali pembuktian melalui alat bukti keterangan terdakawa. Selama tidak ada putusan pengadilan yang inkra tidak boleh seseorang dijadikan sebagai orang yang bersalah (gulity). Pandangan hak asasi (hak kodrat) berlaku universal. Terhadap orang yang sekalipun tertangkap tangan dan dijadikan praduga bersalah, masih berhak untuk mendapat bantuan hukum berdasarkan asas inquisitoir dan perlakuan yang manusiawi. Pemberlakuan penahanan dan penangkapan bukan sesuatu yang absolut dilakukan oleh penyidik atau penyelidik. Penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan jika diduga pelaku itu akan menghilangkan barang bukti, akan mengulangi tindak pidana, dikhawatirkan pelakunya akan melarikan diri. Apalagi Ariel yang diduga sebagai pelaku, tetap koperatif mengikuti pemeriksaan oleh pihak kepolisian, maka tidak perlu ada alasan bahwa ia akan dikecam, didemo oleh publik, terancam jiwanya. Kekhawatiran  rencana pembunuhan dari korban video syur yang sakit hati. Oleh karena kesadaran dan penghormatan terhadap hukum itu lebih penting daripada menempuh jalan kurasif.

Kesadaran hukum (internalization) bangsa kita ini masih rendah. Ahli yuris dan penegak hukum terlalu gampang kebablasan memaksakan aturan hukum untuk dipatuhi (obey) sesegara mungkin tanpa melalui prosedur hukum yang benar (due process of law) sebagai mana diatur  dalam hukum acara formil. Motif balas dendam tidak tertekan. Kelompok yang secara inklusif mewartakan kebenaran baik melalui institusi keagamaan, dan LSM mengambil alih tugas institusi penegak hukum dengan main hakim sendiri (eigenrechting), menjalankan hukuman tanpa menghormati hak dan kemanusiaan. Kepercayaan masyarakat (baca: publik) sudah mulai pudar terhadap institusi penegak hukum.

Institusi penegakan hukum tidak perlu ditambah-tambah dengan pembentukan komisi-komisi. Kekhawatiran yang mungkin dianggap nyeleneh adalah mungkinkah semua delik yang tercantum dalam KUHP akan ada komisinya. Beredar video syur yang meresahkan, sebagian ahli dan akademisi menganggap perlu, kepengen lagi membentuk komisi pemberantasan video syur, komisi pemberantasan pemerkosaan. Entah Sampai kapan  lembaga negara (eksekutif dan legislatif) hanya sibuk merancang pembentukan komisi. Padahal terlupakan akan pentingnya penguatan terhadap institusi hukum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Opini publik, media dan pornografi sebagai embrio disparitas pemidanaan.

            Video syur yang dianggap sebagai pornografi juga melahirkan pandangan adanya disparitas bagi pelaku yang pernah memvideokan dirinya. sejak periode tahun 2000-an ke atas sudah banyak kasus yang demikian, juga tak seserius video mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari sampai pihak kepolisian mengerahkan seluruh pakar untuk menyingkap keaslian video dan pelakunya.  Hanya pernah terdengar bahwa pelaku video syur Bandung Lautan Asmara (Nanda) telah di tindak melalui KUHP dengan putusan pengadilan berdasarkan pada pasal 281 yang melanggar delik kesusilaan. Apakah suatu saat hakim di pengadilan akan memakai preseden kasus Bandung Lautan Asmara?, dalam rangka menghidupkan kembali hukuman yang dibuat oleh pelaku hukum yang telah wafat. Tidakkah itu adalah disparitas jika tindak dan rumusan deliknya sama kemudian putusannya berbeda.

Publik akan melihat bahwa hukum itu penuh kepentingan (interested). Boleh jadi menghukum yang minoritas, tetapi juga tatkalah akan menghukum yang mayoritas jikalau ada tekanan media, opini publik dan otoritas keagamaan. Equal justice under law, menjadi abu-abu bahwa hukum itu memihak pada yang mana.  Apakah Mereka yang kaya? seperti ulasan Mark galanter, ataukah mereka yang ditekan oleh media dan publik yang menjadi ulasan, minat dan penelitian psikologi hukum (legal psychology) melalui pendekatan dan kacamata psikologi seperti kajian  Brigham, Bartol, kapardis, Saks dan Gudjonson.

Dalam kacamata psikologi yang melihat pada pelaku kejahatan digunakan pendekatan psychology in law (spesific aplication in law), pornografi ternyata sikap yang dianggap abnormal, penyimpangan seksual, narsis yang berlebihan (over), ekshibisionis. Penyakit memvideokan diri yang abnormal, kalau ternyata menimbulkan efek kecemasan dan patologi sosial tidak hanya disikapi dengan mengkriminalkan pelaku tetapi perlu ada pemulihan pelaku video syur tersebut dari sindrum yang meresahkan dengan melibatkan psikiater. Menjalankan hukum adalah tetap dibenarkan sebagai pertanggungjawaban pidana (criminal rensponsibility) untuk menjadi terapi sekaligus memulihkan keadaan dari tekanan publik agar tidak berlaku main hakim sendiri dengan slogan kebenarannya yang inklusif.

Faktor media, tekanan publik juga mempengaruhi sehingga delik seperti pornografi yang dalam penyidikan kepolisian berlaku transparan dalam setiap pembuktian dan keterangan perihal tersangka. Hanya kemandirian dari hukum dan penegak hukum itu sendiri juga berkorelasi negatif dengan pengambilalihan media untuk membenarkan dan mengkriminalkan juga pelaku. Terlepas dari tarik menarik kepentingan tersebut yang penting adalah publik harus menghormati legalitas principle, dan penghormatan tersangka pada hak-haknya.

Fakta-fakta yang bersifat istimewa adalah bahan kajian kepolisian untuk melibatkan berbagai kalangan dan akademisi bekerjasama dalam mencari penyebar video syur tersebut. Ataukah jangan-jangan mereka pelaku juga berperan sebagai penyebar. Identik dengan pembunuhan  dalam beberapa kasus di Amerika (Bartol:2004) yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya, kemudian melapor ke kantor polisi bahwa anaknya telah dicuri oleh yang tak dikenal kemudian dibunuh, padahal pelaku adalah ibunya sendiri. Adalah peran kepolisian dengan tetap berpegang pada kerahasiaan yang harus dilindungi terhadap pelaku untuk melibatkan berbagai peneliti (brief: argumentasi tertulis) melalui model criminal profiling  dalam mencari penyebarnya. Karena tidak mungkin semua penyebar video syur itu ditangkap dan ditahan. Maka kepolisian akan mencari penyebab utama kejahatan tersebut (causa prima).

Apakah pelaku video syur tersebut dapat dikategorikan memenuhi rumusan delik? Hakim dalam putusan pengadilan tentunya tidak mutlak otonom. Mengkonstantir kejahatan memang otonom tetapi pemberlakuan dan penerapan akan melihat reaksi publik terhadap putusannya. Hakim di sini tidak hanya akan di pengaruhi oleh fakta yang bersifat istimewa (idiosyncracy of fact), namun juga dipengaruhi oleh prapemahaman (vervonstandnis)  yang tidak melibatkan Undang-undang. Dalam hal ini dipengaruhi oleh pemahaman (verstehen) mereka yang lebih awal dalam memandang kejahatan tersebut.

Hukum bukan sekedar Undang-undang, logika, dan penalaran, tetapi adalah juga pengalaman (Holmes:1998). Pengalaman akan berkonfigurasi dengan aspek kognitif seperti emosi yang berempati terhadap pelaku, korban, juga efek dari kejahatan tersebut. Tekanan media akan menekan cara berpikir hakim yang dogmatik untuk mengenyampingkan undang-undang, demi keinginan publik pada pemuasan keadilan yang universal. Namun tak boleh dilupakan bahwa tekanan reaksi emosional atas publik jangan sampai mengabaikan hak-hak dari pada pelaku. Tidak perlu ada debat siapa korban atau penjahat dari kejahatan. Lebih penting bahwa hukum adalah penekan dari motif balas dendam. Oleh karena hukum telah meniadakan kita dari perilaku yang buas seperti ungkapan hegel (dalam dialektika idealisme). Hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...