Pelaku Mampus, Hukum Jalan Terus

Prof. Reza Indragiri Amriel : Pakar Psikologi Forensik Indonesia
Sumber Gambar: kabar6.com

Otoritas penegakan hukum di Indonesia bisa dibilang sangat gencar memburu orang-orang yang tersangkut aksi dan jaringan teror. Di samping ditangani dengan program deradikalisasi, sebagian dari mereka juga ada yang dijatuhi sanksi maksimal, yakni hukuman mati. Akan tetapi, terhadap pelaku aksi teror yang keburu meninggal dunia sebelum diproses hukum, hukum seolah menganggap masalah sudah selesai seiring dimakamkannya orang tersebut.

Sudah saatnya pelaku aksi teror, termasuk mereka yang memakai modus bom bunuh diri seperti yang berlangsung di Surabaya pada Minggu lalu yang tewas tetap diseret ke hadapan hakim. Ini disebut sebagai persidangan pascakematian pelaku (posthumous trial, post-mortem trial).

Beberapa nama pelaku kejahatan yang disidang secara hukum lewat post-mortem trial ialah Martin Bormann, pelaku kejahatan perang. Betapapun kadung bunuh diri, Bormann tetap diajukan ke hadapan hakim secara in absentia di persidangan Nurenberg pada 1946. Juga, Sergei Magnitsky yang diseret ke posthumous trial atas penggelapan pajak di Rusia pada 2014. Sekian abad silam, Pope Formosus juga disidang setelah ia wafat. Dikabarkan, kuburan Pope Formosus digali dan jenazahnya benar-benar didudukkan di kursi terdakwa.

Sejarah mencatat posthumous trial bisa berlanjut dengan pelaksanaan eksekusi atas diri terdakwa betapapun ia telah meninggal dunia (posthumous execution). Pope Formosus, misalnya, dihukum dengan cara dipotong tiga jari tangannya dan jasadnya ditenggelamkan ke dasar sungai.

Posthumous execution juga dilakukan terhadap Jacopo Bonfadio, pelaku sodomi, yakni lehernya dipenggal lalu mayatnya dibakar. Hukuman yang mengarah ke penghancuran reputasi pelaku juga dapat dilakukan dengan memenjara pelaku selama ratusan tahun, tanpa tubuhnya benar-benar dikurung di balik jeruji besi.

Mekanisme progresif berupa post-mortem trial selayaknya diselenggarakan sebagai respons terhadap kebiadaban individu-individu yang sebelum tewas telah melancarkan kejahatan yang amat-sangat tidak manusiawi. Terlebih karena pelaku melibatkan anak-anak dalam misi jahanamnya serta mengakibatkan anak-anak jatuh sebagai korbannya. Maka UU Perlindungan Anak menjadi salah satu instrumen pemidanaan yang dapat diterapkan.

Intinya, siapa pun tidak boleh mengajak anak melakukan kekerasan dan melakukan kekerasan terhadap anak. Apalagi ketika pihak yang melakukan kejahatan terhadap anak sedemikian rupa ialah orang dekat kedua anak yang dikabarkan turut dalam aksi bunuh diri di Surabaya. Maka, kepadanya harus diberikan pemberatan sanksi.

Posthumous trial ialah cara agar pelaku teror laknatullah itu secara pidana (sah dan meyakinkan) dijatuhi vonis bersalah. Lewat persidangan semacam itu, negara membuktikan bahwa kematian bukan merupakan jalan buntu untuk mengejar pertanggungjawaban pelaku. Bahwa negara tetap memburu pelaku sampai ke liang lahad.

Lewat post-mortem trial, negara memastikan bahwa kematian pelaku bukan gerbang bagi yang bersangkutan untuk menjadi pahlawan atau martir, melainkan justru pintu baginya untuk menyandang status sebagai terpidana aksi teror.

Vonis bersalah atas diri pelaku bom bunuh diri yang dijatuhkan melalui posthumous trial juga bagian dari keadilan yang diidamkan para korban dan masyarakat. Vonis ialah bukti nyata keberpihakan penuh negara kepada para korban. Bahwa hukuman dan penghinadinaan atas diri pelaku oleh masyarakat bukan sebatas sanksi sosial, tetapi justru merupakan dendam yang terinstitusionalisasi secara legal.

 Pantas Diadakan

Persidangan atas diri pelaku, betapapun ia telah tiada, juga merupakan mekanisme hukum yang pantas diadakan bagi para terduga teroris yang kehilangan nyawa di tangan penegak hukum. Selama ini, operasi Densus 88 terhadap para terduga teroris selalu memantik berbagai analisis yang berbasis pada ‘teori’ konspirasi. Dalam pertarungan opini di ruang publik, pihak yang mengusung spekulasi beraroma konspirasi cenderung unggul.

Situasi semacam itu jelas tidak menguntungkan otoritas penegakan hukum karena sebagaimana dikatakan banyak pengamat, peperangan melawan teroris tidak hanya terletak di ujung pelor, tetapi juga di ujung pena. Begitu pula, tidak tertutup kemungkinan, regenerasi pelaku teror berjalan mulus berkat, antara lain, inspirasi yang muncul deras dari analisis-analisis konspirasi tersebut, dan mengena langsung ke proses berpikir para ‘kader potensial’.

Posthumous trial pun sebenarnya merupakan kepentingan bagi keluarga para terduga teroris yang tewas. Mereka, di samping masyarakat luas, membutuhkan kepastian tentang status anggota keluarga yang meninggal dunia (diduga) akibat operasi perburuan teroris.

Andai anggota keluarga yang kadung dijuluki sebagai terduga teroris itu divonis tidak bersalah dalam sebuah post-mortem trial, nama yang bersangkutan dan keluarganya tentu harus direhabilitasi. Serta pihak yang menewaskan dirinya mesti bertanggung jawab atas operasi salah sasaran itu.

Senyampang revisi UU Antiterorisme belum difinalisasi, ataupun apabila pemerintah berancang-ancang akan mengeluarkan perppu antiterorisme, ihwal posthumous trial atau post-mortem trial ini–bahkan termasuk pula posthumous execution–patut dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai salah satu pasal tambahan.

Allahu a’lam.

Oleh:

Reza Indragiri Amriel

Alumnus Psikologi Forensik,The University of Melbourne

Media Indonesia, 15 Mei 2018

You may also like...