Pemimpin Bersih di Era Desentralisasi Korupsi

 NEGARAHUKUM.COM___Pemilihan Gubernur Sulsel telah berlalu. Aroma persaingan tidak sehat beberapa hari kemarin,  sudah lama berhembus. Kontestan Pilgub saling klaim keberhasilan. Tak jarang mereka pun saling sikut di lapangan.

Pascapenandatangan Deklarasi Pilgub Damai. Seluruh masyarakat Sulsel tentunya mengharapkan Pilgub berjalan lancar. Mengedepankan konsep sipakatau_sipakainga. Menjauhkan diri dari praktik-praktik jekkong. Demi mewujudkan demokrasi substantif, menghasilkan pemimpin bersih Sulsel.

Gubernur bersih bagi Sulsel menjadi “harga mati”. Hal ini sangat penting, bukan hanya karena posisi seorang Gubernur sebagai representasi pemerintah pusat dan   mempunyai kewenangan besar dalam pengelolaan keuangan daerah. Akan tetapi, guna menjaga nama baik Provinsi Sulsel.

Di mata orang luar, Sulsel salah satu provinsi tersukses di Indonesia. Kesuksesan terlihat dari segi kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Hingga kesuksesan program pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua program pro rakyat yang tidak jarang dicontoh daerah lain.

Tantangan

Desentralisasi yang sudah lama diterapkan. Memberikan kekuasaan besar daerah  mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Asas otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan.

Ironis tujuan suci dari otonomi daerah tercederai. Elit-elit lokal justru berlomba menilap uang rakyat. Lahirlah istilah “raja-raja Kecil” di daerah. Kekuasaan yang kebablasan, mengokohkan desentralisasi korupsi.

Kemendagri tahun 2012, merilis jumlah kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya. Khusus Gubernur tercatat 17 dari 33 gubernur terseret kasus korupsi.

Tingkat keterseretan Gubernur dalam pusaran korupsi, menjadi tatangan bagi Gubernur ke depan. Para calon Gubernur Sulsel haruslah memiliki sosok bersih. Meski pun penulis sendiri tidaklah yakin akan “kebersihan” mereka. Terlihat dari sering dikait-kaitannya dengan sejumlah kasus korupsi di Sulsel.

Pertama, Kasus mark up Dinas Pekerjaan Umum Makassar. Pekerjaan rumah jabatan Walikota Makassar. Kerugian negara mencapai Rp 2 Miliar. Kedua, Kasus korupsi pembangunan kampus PIP Makassar. Jumlah kerugian negara ditafsir Rp 10 Miliar lebih. Ketiga, Kasus pembebasan lahan Celebes Convention Centre (CCC). Kerugian negara senilai Rp 3,4 Miliar.Keempat, Kasus mesin penyulingan air bersih. Kelima, Kasus korupsi PDAM Kota Makassar yang mencapai Rp. 520 Miliar. Keenam, Kasus korupsi anggaran dana Bantuan Sosial (Bansos). Merugikan negara Rp 8,8 Miliar.

Kasus korupsi ini tentunya sangatlah berdampak kepada jalannya roda pemerintahan ke depan. Gubernur terpilih nantinya akan “tersandera”. Kasus korupsi menjadi momok menakutkan. Meski tentunya asas praduga tak bersalah haruslah dipegang teguh. Sebagai wujud negara hukum.

Pertanyaan kemudian, apakah Pilgub Sulsel dapat menghasilkan pemimpin bersih_antikorupsi?

Optimis

Keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah tidak terlepas dari peran serta kita semua. Komponen penyelenggara pemilu, masyarakat, dan kontestan Pilgub haruslah bisa bekerja sama guna mewujudkan Pemilu yang Luber dan Jurdil. Menghasilkan pemimpin yang bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat. Sehingga terwujud kemenangan untuk kita semua.

Dalam kajian antikorupsi, salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah Pemilukada. Di setiap perebutan kekuasaan, money politik selalu berkuasa. Partai politik pengusung tidak jarang membagikan sembako ke masyarakat. Figur calon disulap menjadi sangat dermawan. Perilaku ini tidak lain agar masyarakat nanti memilihnya.

Perilaku-perilaku kadidat dan timnya telah merusak demokrasi. Permainan uang menjadi pilihan utama. Suara pemilih diperoleh bukan karena visi misi kandidat. Tebal dompet dan besar sumbangan menjadi penentu. Kekuasaan sekali lagi diperjualbelikan.

Masyarakat kemudian ikut larut. Walhasil pesta demokrasi bukanlah mencari pemimpin berkualitas. Masyarakt lebih melihat dari sisi pendapatan. Di mana ada pemilihan, maka disitu ada money politik. Oleh karena itu jangan heran bila suksesi politik (Pemilukada) merupakan mata pencaharian baru.

Pemilukada kemudian melahirkan bibit-bibit korupsi. Masyarakat dibiasakan menerima suap. Mengambil sumbangan berwujud gratifikasi. Tanpa mempertanyakan sumber dari uang atau hadiah tersebut. Apakah itu hasil kegiatan halal ataukah justru berasal dari uang hasil kejahatan seperti korupsi.

Suksesi politik menjadi barang mahal. Mulai dari besarnya uang mahar partai politik pengusung, kos politik, dan uang pembeli suara (money politik). Substansi dari proses pesta demokrasi telah hilang. Para kandidat yang mau bertarung mau tidak mau harus berdompet tebal. Atau mencari sponsor-sponsor yang membantu kekuatan finansial. Implikasi dari banyaknya pengeluaran finansial guna mendapatkan kekuasaan, maka setelah terpilih pengeluaran dan pinjaman sponsor harus kembali. Di sinilah laku korupsi kepala daerah terjadi.

Oleh karena itu, agar kita mendapatkan pemimpin bersih atau Gubernur antikorupsi. Maka ada langkah-langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, menolak pemberian baik berupa uang maupun barang dari tim sukses atau calon gubernur. Kedua, memilih calon gubernur yang tidak terlibat praktik korupsi. Hal ini sangat penting agar ke depan gubernur Sulsel bisa lebih konsentrasi mengurus pemerintahan dan tidak tersandera persoalan hukum. Ketiga, memberikan hukuman kepada calon gubernur yang melakukan money politik dengan cara tidak memilihnya sebagai gubernur. Keempat, memilih calon gubernur yang komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Bila kita semua telah melakukan langkah-langkah ini. Maka penulis optimis masyarakat Sulsel akan memperoleh Gubernur Antikorupsi. Demi mewujudkan Indonesia bersih.

 

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...