Pengakuan Negara Baru (Teori-Teori Pengakuan)

Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat 2 (dua) golongan besar yang mengemukakan pendapat yang berbeda.

Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh negara­-negara lainnya. Jadi secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan sebagai suatu negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat padanya.

Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak­-pihak lain, bahwa suatu negara baru telah mengambil tempat disamping negara-negara yang telah ada. Golongan pertama ini dikatakan menganut teori declaration.

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lainnya, bahwa masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara.

Apabila telah ada pernyataan demikian dari negara­negara lainnya, masyarakat politik tersebut mulai diterima sebagai anggotabaru dengan kedudukannya sebagai sebuah negara, di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai negara baru. Golongan kedua ini dikatakan menganut teori Konstitutif.

Diantara kedua golongan ini terdapat beberapa sarjana yang menganut pendirian jalan tengah, memang selalu terdapat perbedaan dalam praktek negara dalam memberikan pengakuan terhadap negara atau pemerintah baru yang pada hakekatnya dapat dikembalikan pada perbedaan pendapat antara penganut teori deklarator dan teori konstitutif. Penganut teori deklarator antara lain: Brierly, Erich, Fiscker Williams, Francois, Tervboren, Schwezen­berger. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa pendapat Para sarjana tersebut.

Brierly menganggap teori konstitutif sulit dipertahankan secara konsekuen dengan mengemukakan, bahwa kemung­kinan ada suatu negara yang diakui oleh negara A, tetapi tidak diakui oleh negara B, dengan demikian pada saat yang sama negara yang bersangkutan bagi negara. A merupakan pribadi internasional, tetapi tidak untuk negara B.

Demikian Pula kritik terhadap teori konstitutif terletak pada adanya keharusan bagi penganutnya, bahwa suatu negara yang tidak diakui tidak memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional misalnya intervensi pada umumnya dianggap sebagai suatu perbuatan illegal, namun tidak demikian jika dilakukan terhadap negara yang tidak diakui sebaliknya jika negara yang tidak diakui terlibat dalam suatu peperangan, maka negara tersebut tidak berkewajiban menghormati hak-hak negara netral sebagaimana diharuskan oleh hukum internasional.

Erich berpendapat bahwa ia cenderung mengatakan bahwa pengakuan itu sifatnya declaration semata, karena yang diakui adalah negara yang sudah ada. Kalau suatu pemerintah asing mengakui suatu negara baru, maka pemerintah itu menyatakan sikapnya, bahwa ia berhadapan dengan kenyataan yaitu dengan suatu badan tersusun yang tidak dapat dibantah lagi dan diakui karena memang ada dalam kenyataan.

Schwarzenberger condong pada teori deklaration, tetapi tidak dinyatakan secara tegas. la berpendapat bahwa setiap negara bebas untuk memberikan atau menolak memberikan pengakuan. Dengan demikian dapat terjadi suatu negara dalam hubungannya dengan satu atau beberapa subyek Hukum Internasional, tetapi tidak dengan yang lainnya.

Teori Konstitutif

Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa pendapat dari pelopor aliran/teori ini.

Isheaton berpendapat bahwa jika negara baru ingin berhubungan dengan negara-negara lainnya dalam masyarakat internasional yang anggota-anggotanya memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu dan diakui oleh masing-masing, maka negara baru itu terlebih dahulu memerlukan pengakuan dari negara-negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar negara.

Moore berpendapat bahwa meskipun sebuah negara baru memiliki hak-hak dan atribut-atribut kedaulatan, terlepas dari soal pengakuan, tetapi hanya jika negara baru itu diakui barulah mendapat jaminan untuk menggunakan hak-haknya itu.

Lauterpacht berpendapat bahwa suatu negara untuk menjadi pribadi internasional hanya melalui pengakuan saja. Namun walaupun pemberian pengakuan itu sepenuhnya merupakan kebijakan dari negara yang memberikannya, tindakan itu bukanlah suatu tindakan yang semena-mena saja, tetapi pengakuan atau penolakan itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Jadi pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban bagian negara-negara yang telah ada, jika semua syarat kenegaraan pada negara baru itu telah dipenuhi, untuk memberikan pengakuan yang telah menjadi hak negara baru itu.

Teori Jalan Tengah

Kedua teori yang telah dikemukakan tidak sepenuhnya memuaskan, sehingga beberapa sarjana telah merumuskan teori baru yang dinamakan teori jalan tengah atau teori pemisah. Penganut teori ini adalah : Rivier, Cavare, Verdross dan Starke.

Rivier berpendapat bahwa adanya suatu negara yang berdaulat adalah terlepas dari adanya pengakuan negara­-negara lain. pengakuan hanya merupakan pencatatan dari suatu hal yang telah terjadi dan sifatnya hanya persetujuan akan hal tersebut. Dengan demikian pengakuan mengadakan ikatan formal untuk menghormati pribadi baru itu, hak-hak dan atribut kedaulatan di bawah hukum internasional. Hanya sesudah mendapat pengakuan, penggunaan hak-hak tersebut akan terjamin. Hubungan politik yang teratur hanya mungkin terjadi antara negara-negara yang saling mengakui. Starke berpendapat, bahwa kebenaran mungkin berada di tengah-tengah kedua teori itu.

Praktek internasional menunjukkan bahwa baik teori deklarasi maupun konstitutif keduanya dianut. Teori konstitutif digunakan apabila pengakuan itu diberikan karena alasan-alasan politik. Negara-negara biasanya memberikan atau menolak memberikan pengakuan atas dasar prinsip­-prinsip hukum atau berdasarkan preseden. Demikian juga pengakuan ditangguhkan karena alasan politik sampai akhirnya pengakuan diberikan sebagai imbalan atas pemberian keuntungan diplomatik secara materil dari negara atau pemerintah yang meminta pengakuan.

Starke menunjukkan pula, bahwa teori declaration mendapat dukungan dari asas-asas yang berlaku dalam masalah pengakuan, yaitu

  1. Jika timbul persoalan dalam badan pengadilan negara­-negara baru mengenai lahirnya negara itu, tidak penting untuk memperhatikan bilamana mulai berlakunya perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain yang memberikan pengakuan itu jika semua unsur kenegaraan secara nyata telah dipenuhi, maka saat itulah yang menentukan lahirnya negara tersebut.
  2. Pengakuan terhadap, suatu negara mempunyai akibat surat (retroaktif) sampai saat lahirnya negara itu secara nyata sebagai negara merdeka. Asas ini juga berlaku terhadap perkara-perkara di pengadilan yang dimulai sebelum tanggal diberikannya pengakuan itu.

Jika diteliti praktek yang berlaku mengenai persoalan pengakuan ini, terdapat kenyataan bahwa hanya negara-negara yang menentang lahirnya suatu negara yang membuat pernyataan, sedangkan pada umumnya pengakuan yang diberikan pada suatu negara yang baru lahir hanya bersifat implisit, yaitu tampak adanya pengakuan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, kecuali negara yang baru lahir tersebut membuat arti dan hubungan yang khusus dengan negara-negara tertentu. Tidak banyak negara lahir di tahun 60 dan 70-an, terutama negara kecil di kawasan Afrika, Pasifik dan Karibia, tanpa disambut berbagai pernyataan pengakuan tetapi itu bukan berarti bahwa kelahirannya ditolak oleh masyarakat internasional. Tetapi ada beberapa pengecualian dimana kelahiran suatu negara ditentang oleh masyarakat internasional dengan merujuk pada sikap PBB.

Sejarah mencatat ada beberapa negara yang kelahiran­nya ditentang oleh masyarakat internasional, yang pada akhirnya negara baru tersebut akan bidang keberadaannya.

Rhodesia misalnya yang memproklamirkan kemer­dekaannya pada tanggal 11 Nopember 1965 melalui kelompok minoritas kulit putih yang dibawah pimpinan Ian Smith dengan melepaskan diri dari kekuasaan Inggris, mendapat kecaman keras dari PBB yang meminta kepada negara-negara anggota PBB untuk tidak mengakuinya dan tidak mengadakan hubungan diplomatik dan hubungan-­hubungan lainnya dengan kekuasaan yang illegal tersebut.

Rhodesia tidak dapat bertahan lama dan kemudian digantikan oleh Zimbabwe yang lahir pada tahun 1980. Contoh lain yaitu kelahiran negara yang ditentang oleh masyarakat internasional ialah Turkish Republic of Northern Cyprus tanggal 15 November 1983. Dalam waktu tiga hari Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam pendirian negara tersebut yang menyebutnya “Legally Invalid“.

Pakistan adalah satu-satunya negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menentang resolusi tersebut dan sampai sekarang hanya. Turki yang mengakui negara tersebut.

Demikian pula dengan negara Israel yang lahir tanggal 14 Mei 1948, sampai sekarang masih tetap tidak diakui oleh negara­-negara Arab, kecuali negara yang telah membuat perjanjian perdamaian dengan negara tersebut, yaitu : Mesir pada bulan Maret 1979 dan Yordania pada bulan Oktober 1994.

Negara-negara berpenduduk Islam non-Arab lainnya juga tidak mempunyai hubungan dengan Israel. Walaupun Israel telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 11 Mei 1949, namun keanggotaanya sama sekali tidak merubah sikap kelompok negara tersebut, sampai dicapainya penyelesaian secara menyeluruh sengketa Timur Tengah dengan mengakui hak rakyat Palestine untuk mendirikan negaranya sendiri di wilayah Palestine.

Dari contoh yang telah dikemukakan, nyatalah bahwa pengakuan adalah suatu kebijaksanaan politik. Pengakuan negara hanya dilakukan satu kali, perubahan bentuk suatu negara tidak akan merubah statusnya sebagai negara. Sebagai contoh: Perancis sejak tahun 1791 sampai tahun 1875 beberapa kali mengalami perubahan, dari kerajaan, republik, kekaisaran, kembali ke kerajaan dan republik dengan pembentukan Republik III tahun 1875, Republik IV tahun 1941 dan sejak tahun 1958 Republik V tetap merupakan negara Perancis.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...