Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice

Kaisar Advokat

Tidak semua perkara pidana harus ke pengadilan, Kepolisian dan kejaksaan dapat menyelesaikan perkara pidana tertentu dengan jalan keadilan restoratif

 

Penyelesaian perkara secara keadilan restoratif, ini sudah dikenal dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang dilakukan dengan jalan “diversi” yakni pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kemudian dikeluarkan Surat Telegram Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor: STR/583/VIII/2012 tanggal 08 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice, hingga muncul Surat Edaran SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Materi Surat Edaran Kapolri tersebut telah dituangkan dalam PERKAP No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pengaturan Penyelesaian perkara secara keadilan restoratif di tingkat penuntutan, telah diatur dalam  Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (vide Pasal 1 butir 7 UU.No.11 Tahun 2012, Pasal 1 butir 27 PERKAP NO.6 Tahun 2019, dan Pasal 1 butir 1 Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020).

Proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat materiel dan syarat formil.

Syarat materil meliputi:

  1. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
  2. Tidak berdampak konflik sosial;
  3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
  4. Prinsip pembatas pada pelaku yaitu tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan pelaku bukan residivis; dan Prinsip pembatas pada tindak pidana dalam proses penyelidikan; dan penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;

Sayarat formil, meliputi:

  1. Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
  2. Surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
  3. Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
  4. Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
  5. Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan;  respon dan keharmonisan masyarakat; dan  kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. Subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;
  2. Latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana;
  3. Tingkat ketercelaan;
  4. Kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
  5. Cost and benefit penanganan perkara;
  6. Pemulihan kembali pada keadaan semula; dan
  7. Adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

 

Berikut kutipan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No.15 Tahun 2020.

  1. Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut: (a) Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; (b)Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan (c) Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah)
  2. Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau huruf c.
  3. Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
  4. Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dikecualikan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
  6. Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat: a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:  (1) Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban; (2) Mengganti kerugian Korban; (3) Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau (4) Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; (i) Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan (ii) Masyarakat merespon positif.
  7. Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.
  8. Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara: (a) Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; (b) Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; (c) Tindak pidana narkotika; (d) Tindak pidana lingkungan hidup; dan (e) Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka perkapa pidana tertentu dapat diselesaikan di tingkat penyidikan (Kepolisian) dan di tingkat penuntutan (kejaksaan). Hal ini selain dapat mengurangi bertumpuknya perkara di pengadilan, juga dari segi efisiensi penyelesaian perkara dapat terwujud berdasarkan asas keadilan, asas kepentingan umum, asas proporsionalitas, asas pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

 

You may also like...