Penundaan Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Konstitusional

Sumber image: nasional.sindonews.com

Gagasan menunda Pemilu 2024 kembali mencuat di ruang publik. Kali ini gagasan penundaan pemilu mendatang dilontarkan oleh dua ketua umum partai politik, Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional. Mereka berdalih pemilu diundur agar momentum perbaikan ekonomi akibat pandemi tidak hilang dan mengakibatkan sektor ekonomi mengalami freeze karena terganggu oleh hajatan politik pemilu.

Penetapan Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 sebagaimana dicapai melalui rapat bersama antara Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum beberapa pekan lalu seakan dianggap angin lalu oleh para penyokong gagasan penundaan pemilu 2024.

Sebelum kedua ketua umum partai politik tersebut, gagasan penundan Pemilu 2024 pernah juga dilontarkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Dalih yang digunakan pun serupa, Bahlil mengungkapkan harapan pelaku usaha agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda karena situasi dunia usaha baru mulai bangkit kembali setelah terpuruk akibat pandemi selama dua tahun terakhir. Selain menuai polemik dan kontroversi, perbincangan mengenai penundaan Pemilu 2024 juga berpotensi membuka kembali kotak pandora amandemen konstitusi.

Konstitusi tidak mengenal istilah penundaan pemilu. Alih-alih memperbolehkan penundaan pemilu, konstitusi justru mengamanatkan kepastian pelaksanaan kontestasi lima tahunan tersebut. Ketentuan di konstitusi tersebut berkorelasi dengan semangat pembatasan kekuasaan sebagai salah satu tuntutan utama gerakan reformasi. Tuntutan itu kemudian dikuatkan melalui amendemen pertama konstitusi, pemilu merupakan satu-satunya jalan bagi sirkulasi kekuasaan secara demokratis.

Perbincangan Elite Politik

Dalam beberapa bulan terakhir ini, berbagai perbincangan atau juga gagasan mengenai sejumlah hal mendasar terkait konstitusi memang beredar dan terdengar luas di kalangan elite politik. Dari soal wacana tiga periode jabatan presiden, penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan pokok-pokok haluan negara hingga penundaan Pemilu 2024. Perbincangan atau gagasan apa pun yang beredar di kalangan elite politik, selain harus dicermati tentu juga harus pula ditelaah melalui mekanisme survei opini publik. Karena itulah esensi dari demokrasi: seberapa sesuai antara gagasan para elite politik dan aspirasi publik atau pemilih. Temuan survei Indikator Politik Indonesia selama tiga bulan terakhir menujukkan dukungan publik agar pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan, meski masih dalam kondisi pandemi selalu berada di atas angka 64%

Temuan suvei Indikator Politik Indonesia pada September 2021 menujukkan 64,7% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan, meski masih dalam kondisi pandemi. Adapun 29,9% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden, meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 5,4%. Temuan survei pada November 2021 menujukkan 69,9% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan, meski masih dalam kondisi pandemi. Angka lainnya, 23,8% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 6,3%. Kemudian temuan survei pada Desember 2021 menujukkan 67,2% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan meski masih dalam kondisi pandemi. Sedangkan 24,5% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden, meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 8,3%.

Temuan-temuan survei tersebut menujukkan perbincangan yang terjadi di kalangan elite politik mengenai perlu mempertimbangkan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 karena kondisi pandemi tidak sesuai aspirasi dari sebagian besar publik. Temuan survei itu juga dapat dibaca sebagai bentuk keasadaran publik bahwa konstitusi harus senantiasa dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apa pun kondisi yang tengah dihadapi.

Demokrasi Konstitusional

Apabila Pemilu 2024 tidak digelar, tidak ada dasar hukum kuat mengenai siapa akan berperan dalam mengendalikan pemerintahan atau memegang kekusaan eksekutif karena masa jabatan presiden dan wakil presiden habis pada 20 Oktober 2024.

Pertanggal itu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berstatus demisioner. Di dalam konstitusi tidak disebutkan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Ketiadaan mekanisme perpanjangan jabatan presiden dalam konstitusi karena secara tegas di bagian lain konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22 E ayat 1).

Periodisasi lima tahunan ini didasarkan pada semangat menjamin kepastian sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis. Semangat pembatasan kekuasaan memang menjadi isu utama setelah rezim Orde Baru runtuh. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil meruntuhkan tembok sakralisme di sebagian kelompok elite politik saat itu yang cenderung memperlakukan konstitusi sebagai teks suci. Salah satu fokus utama pada perubahan pertama tersebut terletak pada pembatasan periode masa jabatan presiden agar di masa mendatang tidak ada lagi presiden menjabat berpuluh-puluh tahun seperti di masa lalu.

Karena itu, dilakukan perubahan terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga secara jelas menegaskan seseorang dapat menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan saja. Setelah tembok sakralisme berhasil dirobohkan, amandemen terhadap konstitusi terus berlanjut hingga empat kali. Secara ringkas, terdapat empat substansi perubahan dari empat kali amendemen konstitusi. Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung atau tidak lagi melalui MPR. Kedua, pelembagaan masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan. Ketiga, pengalihan fungsi legislasi dari semula titik berat berada di lembaga eksekutif menjadi di lembaga legislatif, meski tetap harus dibahas dan mendapatkan persetujuan presiden. Keempat, penghapusan kedudukan dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Berbagai perubahan mendasar dihasilkan melalui empat tahap amendemen konstitusi tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Arend Lijphart (1994: 91-105), terdapat tiga elemen pokok sistem presidensial. Kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan bersifat tetap, presiden dipilih secara langsung, dan presiden merupakan kepala eksekutif bersifat tunggal. Konsekuensi masa jabatan bersifat tetap tersebut adalah presiden terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen. Berangkat dari semangat itu, penundaan pemilu atas dalih pemilihan ekonomi akibat pandemi adalah hal kontraproduktif bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia.

Dua prinsip dasar demokrasi konstitusional adalah pembatasan periode masa jabatan presiden/wakil presiden serta sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis. Dua prinsip dasar itu dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari jebakan otoritarianisme. Jangan sampai hanya karena untuk memuasakan syahwat berkuasa, prinsip-prinsip dasar itu dirusak oleh partai-partai politik yang notabene merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Oleh:

BAWONO KUMORO

Peneliti Indikator Politik Indonesia

Sindo, 7 Maret 2022

Sumber:https://nasional.sindonews.com/read/705397/18/penundaan-pemilu-dan-masa-depan-demokrasi-konstitusional-1646636618/20

You may also like...