Perang Bintang “Layar Kaca” Menuju 2014

Etape demokrasi menuju senayan. Tinggal menghitung bulan saja. Kira-kira kurang lebih dua belas bulan. Perhelatan menuju kasta legislatif itu. Kian hari makin dekat aromanya tercium dikalangan 14 jumlah partai politik, yang sudah lolos dari “palu godam” verifikasi KPU kemarin.

Gejala tersebut menunjukan, bukan hanya terjadi pertarungan bintang jenderal dari figur militer. Terutama di pertarungan kursi singgasana Capres-Cawapres di tahun politik ini. Tetapi juga terjadi perang bintang selebriti, yang sering tampil dilayar kaca. Entah sebagai penyanyi kondang, bahkan sebagai aktor layar kaca yang pintar “bersilat lidah” di hadapan pemirsa TV.

Sebagian nama-nama itu, selain dipenuhi wajah-wajah artis yang sudah lama “makan garam” di Senayan. Juga diwarnai dengan muka artis yang baru. Dari wajah-wajah tersebut masih dipenuhi dengan tokoh artis berpengalaman. Diantaranya Tantowi Yahya, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Qomar, maupun Nurul Arifin.

Dari kalangan. figur-figur  baru dikategorikan sebagai figur “hijau”. Bermunculan nama-nama, seperti Anang Hermansyah dan Ayu Azhari (PAN), Mandala Shoji dan Ridho Rhoma (PKB), Angel Lelga (PPP), Irwansyah (Gerindra), dan Krisdayanti (Hanura).

Kira-kira apa alasannya sehingga banyak partai politik berani “meminang” calon legislatif dari kalangan selebriti, bukan direkrut dari kader partai saja yang bukan artis ? Mengapa pula partai politik lebih senang menobatkan caleg artis “kacang goreng”, padahal  tidak punya sumbangsi besar berikut pada partai yang mengusungnya. ?

Sudah jelas, ini semua disebabkan kondisi regulasi partai politik yang liberalistik. Sehingga partai politik lebih ayal “jatuh cinta” pada tingkat popularitas dari pada kapabilitas caleg artis tersebut. Tidak mengherankan jika ada sejumlah pengamat mengusulkan jikalau caleg artis ini mengikuti kursus kilat kepemimpinan. Sebelum bertarung di perhelatan kompetisi politik 2014 nanti.

Permasalahan lain yang menyebabkan sehingga sejumlah partai politik lebih dominan. Merekrut caleg dari kalangan artis. Adalah kondisi sistem partai politik kita yang multipartai dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Akhirnya memaksa semua partai politik mengikuti kurva normal.  Hal ini terang benderang diulas oleh Anthony Downs, dalam karya klasiknya, The Economic Theory of Democracy (1957).

Menurut Downs (dalam Burahnuddin Muhtadi: 2013) sistem multipartai ekstrem yang dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, partai-partai cenderung mengarah ke catch all party, meraup semua segmen pemilih sembari menjauhi pemilih ekstrem yang berjumlah sedikit. Partai dimungkinkan menang justru ketika mereka bermigrasi ke tengah (flight to the center) dan mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah karena dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis tidak terlihat sempurna.

Krisis ideologi terhadap partai politik tersebut. Pada akhirnya partai menjadi “emoh” dan tidak peduli lagi caleg mesti berasal dari kader. Partai politik lebih mengutamakan caleg pemberi insentif suara, dari pada mempertahankan ideologi  mereka. Di posisi inilah artis yang tidak punya garis ideologi, artis melek politik. Mendapat tempat mulia dari partai politik yang sudah amnesia akan garis ideologinya.

Tipologi Caleg Artis

Sah-sah saja jika artis berlomba-lomba masuk di panggung politik. Namun yang perlu menjadi bahan renungan kita bersama. Apakah caleg dari kalangan selebriti itu,  memiliki integritas, kredibilitas, dan akseptabilitas sebagai representasi politik rakyat nantinya ?  Atau dalam bahasa yang sederhana, Apakah kita membutuhkan caleg sebagai calon pejabat publik berkapasitas sebagai wakil rakyat benaran ? Bukan calon wakil rakyat ibarat kita “dipaksa” memilih kucing dalam karung.

Menurut John Street (2012: 347) tipologi caleg artis dalam ilmu politik dapat dipetakan dalam beberapa tipe. Diantaranya selebritas advokat, selebritas aktivis, selebritas politikus, politikus selebritas, dan selebritas endorser.

Baik selebritas advokat maupun selebitas aktivis merupakan caleg artis dambaan. Oleh karena artis yang terjun dalam dunia politik. Ditunjang nilai plus bakat mereka. Untuk melakukan gerakan sosial sekaligus perubahan. Tipologi ini bisa diamati pada kinerja Rieke Diah Pitaloka yang concern terhadap buruh dan kekerasan perempuan. Begitu juga Reni Djayusman yang artis sekaligus aktivis Granat (Gerakan Anti-Narkotika). Termasuk  artis cantik senior, Nurul Arifin yang vokal terhadap masalah otonomi daerah,

Sementara selebritas politikus dimaknai sebagai caleg artis karena ingin mengubah jalan hidupnya. Akhirnya memutar haluan, mencari nakah dari panggung hiburan bergeser ke panggug politik.

Ada juga artis masuk dalam  dunia politik hanya bertujuan mengembalikan ketenarannya. Cuma jalan yang dipilihnya bukan lagi dilayar kaca, tetapi dilayar politik, tipologi ini adalah politik sebritas.

Terakhir, selebritas endorser adalah caleg artis  yang sengaja dimanfaatkan popularitasnya oleh partai politik. Sebagai  vote getter dalam pemilu legislatif. Tidak lain tipologi caleg artis tersebut. Dijadikan penarik simpati publik, guna mendulang  insentif suara pada pemilu mendatang. Dengan harapan dapat menambah jumlah kursi di parlemen.

Sumber: www.waspada.co.id

Sumber: www.waspada.co.id

Perang Popolaritas

Persoalan populer atau tidak bagi caleg artis dipanggung politik. Bukan lagi menjadi lahan perdebatan bagi partai politik pengusung. Tidak dapat dipungkiri, dengan modal popularitas dijagat hiburan, perfilman, hingga panggung bioskop. Merupakan modal awal bagi caleg selebriti untuk menghentak panggung Senayan.

Tapi lagi-lagi, panggung politik bukan ajang jual tampang dan cantik saja, selayaknya di jagat hiburan. Kompetisi di dunia selebriti tidak berbanding lurus dengan kompetisi meraih simpati ceruk pasar pemilih. Boleh saja sang artis pernah dinobatkan sebagai pemenang Amy Ward misalnya. Aktris dan aktor terbaik versi pemirsa. Ataukah terpilih sebagai penyanyi top.

Medan laga politik bukan hanya dengan modal dikenal. Dapat meraih elektabilitas alias tingkat kedipilihan yang tinggi nantinya. Rumusnya adalah 3D: dikenal (popularitas), disuka (likeability), dan dipilih (elektabilitas).

Dari segi popularitas boleh saja merupakan nilai tambah bagi caleg artis. Tapi dari perspektif  tingkat kedikenalan, tidak semua artis dikenal dengan popularitas yang baik. Mestinya, caleg artis juga ditunjang oleh integritas, kapasitas dan kapabilitas. Sebagai calon credible alternative.

Tentunya, artis senior yang banyak makan garam kemarin. Caleg artis hijau alias pemula ini. Dapat belajar pada mereka yang sudah terbukti sebagai selebritas advokat maupun selebritas aktivis.***

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...