Percobaan Tindak Pidana Suap

Dalam Pasal 15 UUPTPK ditegaskan: “setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan pasal 14.”

Pada hakikatnya ketentuan di atas telah menempatkan tindak pidana suap kepada penyelenggara negara sama hukumannya dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UUPTPK.

Artinya, sekalipun itu hanya delik percobaan untuk menyuap, tetap disamakan dengan tindak pidana korupsi yang telah selesai. Hal tersebut juga mengkodisikan, sehingga percobaan yang terhenti maupun percobaan yang selesai dalam tindak pidana suap disamakan dengan tindak pidana korupsi lainnya, seperti pejabat negara yang telah merugikan keuangan negara.

Apa konsekuensi hukumnya kemudian, jika percobaan tindak pidana suap diformulasikan  sebagai delik yang selesai? Mari kita perhatikan bunyi dari Pasal 53 ayat 1 KUHP: “mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat itu ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”

Ada satu unsur dalam delik percobaan (Pasal 53 ayat 1 KUHP) yang jika dihubungkan dengan percobaan tindak pidana suap, dengan menghukum pelaku, terdapat suatu keadaan bahwa perbuatan pelaku tersebut tidak seimbang dengan pertanggungjawaban pidananya.

Unsur yang penulis maksudkan, yaitu “bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”  Bahwa salah satu unsur dalam pasal a quo merupakan alasan penghapus pidana; seseorang yang kemudian dengan secara sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana, tidak dapat dipidana kerena mencoba melakukan kejahatan pidana.

Bagaimana dengan percobaan tindak pidana suap? Dengan melihat konstruksi Pasal 15 UUPTPK, alasan penghapus pidana tersebut telah dikesampingkan. Sebagai contoh: A yang hendak menyuap B, A sudah mengantar uang ke rumah B, tetapi karena di tengah jalan tiba-tiba A sadar diri bahwa perbuatannya adalah dosa, maka ia tidak jadi datang ke rumah B. A tidak jadi menyuap B. kendatipun dalam contoh tersebut A dengan secara sukarela mengurungkan niatnya menyuap B. A dan B tetap dapat dipidana sebagai tindak pidana suap yang sudah selesai.

Itu belum kita berbicara misalnya, bagaimana kalau A hendak menyuap B, tanpa sepengatahuan B. hal mana B belum tentu mau menerima uang suap tersebut. Tidak adil menghukum seseorang yang mau di suap padahal belum tentu mau menerimanya.

Oleh karena itu, dalam hemat penulis, tidak adil atau tidak seimbang, kalau menghukum pelaku tindak pidana suap lalu belum ada kesepakatan antara pemberi suap dan penerima suap. Jadi untuk terpenuhinya tindak pidana suap harus ada unsur kesepakatan terlebih dahulu antara pemberi dan penerima suap. Itu, kalau kita menghendaki tindak pidana suap dirumuskan sebagai delik yang selesai, bukan dalam bentuk delik percobaan.

Hal demikian setidak-tidaknya dapat menjerat pula pelaku tindak pidana suap yang objek suapnya adalah dalam bentuk janji. Apa yang dijanjikan itu tidak perlu ditunaikan oleh pemberi suap, cukup sudah ada kesepakatan di awal.

 Delik Formil

Ada yang mengatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara formil, yaitu tindak pidana yang menitikberatkan pada tindakan, bukan pada akibatnya, sehingga wajar adanya percobaan tindak pidana suap dikualifikasi sebagai delik yang selesai.

Ada pula yang mengatakan bahwa tindak pidana korupsi dikulaifikasi sebagai kejahatan ekstra ordinary. Perbuatan korupsi, termasuk suap merupakan tindak pidana yang tergolong berat.

Apa yang menjadi “akibat” dari rumusan tindak pidana suap? Yaitu pejabat yang disuap tergerak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 a UUPTPK). Unsur tersebut tidak perlu dibuktikan; apakah pejabt bersangkutan akan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, cukup saja ia telah menerima suap.

Dalam konteks demikian, sebenarnya seseorang yang belum menerima suap, sebab unsur yang dimaksudkan sebagai “tindakan” dalam ketentuan tindak pidana suap berkualifikasi formil (yaitu menerima suap). Kemudian, dihubungkan dengan percobaan yang terhenti, karena penarikan secara sukarela dari salah satu pihak (calon pemberi suap atau calon penerima suap), tidak rasional untuk menganggapnya sebagai delik korupsi yang selesai dan kedua pelaku sudah dapat dikenakan ancaman pidana.

Ini yang harus diperhatikan oleh KPK dalam melakukan tindakan OTT, janganlah menangkap pelaku calon pemberi dan calon penerima suap sebelum uang sampai di tangan penerima suap, karena jangan sampai ada penarikan secara sukarela dari salah satu pihak dalam percobaan tindak pidana suap itu.

Bagaimana kalau objek suapnya berupa janji, bukan uang, bukan barang berwujud (bukan barang tidak berwujud)? Apakah harus menunggu dahulu janji tersebut ditunaikan oleh si calon pemberi suap? Saya kira cukup dengan adanya kesepakatan saja dari kedua pihak, bahwa akan ditunaikan janji itu pada waktu yang disepakati oleh mereka. Sebab dalam masa tenggang waktu sebelum janji itu ditunaikan, pejabat negara sebagai calon penerima suap sudah memungkinkan untuk bertindak di luar dari kewajiban atau kewenangannya.

Kejahatan Berat

Benarkah tindak pidana suap dapat pula dikualifikasi kejahatan berat? Perlu ditelaah implikasi dari tindak pidana tersebut. Atas dasar apa sehingga dikatakan sebagai kejahatan berat?

Jika dibandingkan dengan tindak pidana makar sebagai kejahatan berat, salah satu alasannya yaitu karena bertalian dengan kemanan negara yang menyangkut keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, rongrongan terhadap pemerintahan yang sah dan kedaulatan negara.

Perlu diingat pula bahwa makar tidaklah dirumuskan sebagai delik percobaan selesai, hanya dikualifikasi sebagai delik yang tergolong berat (felonia implicatur in quolibet proditione), sehingga dalam pemufakatan jahat, baru dipermulaan pelaksanaan, sudah dapat dikenakan pidana.

Benar adanya, suap pun potensil untuk dikatakan sebagai kejahatan berat. Alasannya, yaitu: tidak hanya akan menimbulkan kerusakan birokrasi pemerintahan, tetapi akibat dari penyalahgunaan kewenangan dari seorang pejabat yang telah menerima suap, tindakannya jelas dapat mengganggu perekonomian dan kerugian Negara. Jika suap tersebut dilakukan terhadap penegak hukum, bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum, sehingga secara keseluruhan tatanan hukum akan menjadi rusak.

Kendatipun demikian dalam hal menjerat pelaku pemberi dan penerima suap. Tetaplah dibutuhkan adanya unsur kesepakatan antara si calon pemberi dan si calon penerima suap. Sebab jangan sampai seorang pejabat negara yang sama sekali tidak pernah menginginkan dirinya di suap, lalu datang calon pemberi suap ke padanya, suap belum diberikan, belum ada kesepakatan, pejabat tersebut ditangkap padahal dirinya tidak pernah berniat untuk melakukan kejahatan.

Unsur kesepakatan dalam hal suap menyuap perlu dibuktikan, sebab siapa yang bisa menghindar dari adanya orang yang misalnya langsung mentransfer sejumlah uang kepada rekening seorang pejabat. Jika hanya dengan membuktikan suap sudah diterima, permulaan pelaksanaan hanya terjadi pada salah satu pihak (yaitu si calon pemberi suap), terlalu gampang menggiring seorang pejabat dalam tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang sama sekali tidak dikehendakinya.*

 

You may also like...