Pergerakan Mahasiswa dan Pemerintahan ala Orde Baru

Aksi demonstrasi manifestasi kontrol sosial (social control) dari Mahasiswa. Kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Aksi demonstrasi bukan hal yang baru di Indonesia. Setiap perubahan besar yang terjadi di negeri ini selalu melibatkan kaum-kaum terpelajar (baca: Mahasiswa). Pergerakan Mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional.

Awal pergerakan Mahasiswa dengan dibentuknya Boedi Oetomo tahun 1908. Kehadiran organisasi Boedi Oetomo menandai munculnya sebuah angkatan pembaharuan dari pelajar dan Mahasiswa. Mereka menjadi aktor utama yang menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan rakyat Indonesia. Pencerahan yang bermuara kepada perjuangan membebaskan diri dari penindasan kolonial. Selain Boedi Oetomo, muncul lagi organisasi Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia.

Masih hangat diingatan kita. Seluruh rakyat Indonesia. Gerakan Mahasiswa tahun 1998 dengan agenda reformasi. Mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia tumpah-ruah ke jalan. Akibat dari gelombang aksi unjuk rasa. Pemimpin Orde Baru bertangan besi lengser dari kursi jabatannya.

Redam Demonstrasim dengan Gerakkan Militer

Rencana penaikan harga BBM per 1 April mendatang, mengundang tanda tanya. Banyak kalangan yang menganggap kenaikan BBM hanya upaya mengalihkan isu. Wacana kader korupsi telah berdampak kepada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan SBY-Boediono dan partai Demokrat. Pernyataan tersebut langsung ditepis. Pemerintah atas dukungan Partai Demokrat menjelaskan 5 alasan kenaikan BBM. Pertama, keberpihakan kepada rakyat kecil. Kedua, kenaikan harga BBM juga dipandang sejalan dengan upaya penghematan dan penciptaan energi terbarukan. Ketiga, dana yang sebelumnya digunakan untuk subsidi BBM dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur. Keempat, pengurangan subsidi turut menekan kasus penyulundupan BBM ke negeri tetangga. Kelima, pengurangan subsidi juga membantu pemerintah 2014.

Tentunya alasan pemerintah yang disokong partai koalisi (baca: Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PKS, PAN dan PKB) sulit terbendung. Para anggota DPR di senayan telah dikuasai anggota partai koalisi. Anggota DPR telah mencederai kepercayaan rakyat Indonesia. Mahasiswa kemudian mengambil sikap, menggelar parlemen jalanan.

Gelombang demonstrasi bergulir begitu kencang. Isu kenaikan BBM telah menyulut api kemarahan rakyat Indonesia. Kenaikan BBM yang tinggal menghitung hari, bagaikan bom waktu. Akibat dari ledakannya (baca: kenaikan BBM) telah lebih dulu menyengsarakan rakyat. Sopir angkot dan kaum buruh tercekik. Harga sembako di pasaran langsung membumbung tinggi.

Sang demonstran menyemut di jalan-jalan. Aksi unjuk rasa mengatasnamakan kepentingan rakyat tak urung putus disuarakan Mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah menghentikan rencana kenaikan BBM. Harga BBM yang naik bagi mereka (baca: Mahasiswa) justru semakin menyengsarakan rakyat miskin.

Unjuk rasa Mahasiswa semakin membesar di tanah air. Disambut dukungan besar dari rakyat. Pemerintah yang takut akan gelombang aksi besar-besaran langsung ambil jurus. Presiden SBY tiba-tiba mengajak Mahasiswa keluar negeri. Sebanyak 87 orang Mahasiswa dan anggota organisasi kepemudaan ikut dalam kunjungan kenegaraan tersebut. Aksi unjuk rasa para Demonstran di Makassar yang berujung anarkis, digembor-gemborkan.

Anarkisme Demonstran di Makassar digiring menjadi isu sentral. Oknum Mahasiswa perusuh diarahkan kepenggeneralisasian pergerakan Mahasiswa. Aksi Demonstrasi yang menjamur ke seluruh daerah, dianggap mereka (baca: Pemerintah) mengarah ke penggulingan kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung pemerintah langsung menerjunkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) meredam unjuk rasa.

Pelibatan TNI dalam pengamanan unjuk rasa menjelang kenaikan BBM perintah langsung Presiden SBY. Beredarnya isu penolakan kenaikan BBM yang akan tumpah kejalan mulai tanggal 27 Maret sampai April 2012 ditakutkan Pemerintah. Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, TNI hanya dikerahkan jika unjuk rasa berlangsung anarkis, rusuh, merusak dan mengganggu kepentingan masyarakat. TNI yang disiagakan di depan Istana Negara dan titik-titik yang dianggap rawan tidaklah menyalahi aturan.

Penurunan TNI meredam aksi unjuk rasa guna mem- back up Kepolisian di lapangan. Satuan TNI dan Polri all out melakukan pengamanan di objek vital. Pihak kepolisian tidak tanggung-tanggung menurunkan 14. 000 personil ditambah ribuan TNI di Jakarta. Sedangkan Di Makassar, Kodam VII Wirabuana menyiapkan sedikitnya delapan Batalyon untuk mendukung pengamanan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Satuan TNI juga diturunkan di Medan dan daerah-daerah seluruh Indonesia.

Aksi demonstran berhadap-hadapan dengan TNI, bukanlah hal baru. Persenggamaan kekuatan militer dan penguasa sering dipertontonkan pada masa orde baru. Pergerakan Mahasiswa tahun 1974 harus dikonfrontasi dengan kekuatan militer. Pihak yang tidak pro kebijakan pemerintah dianggap pembangkang. Penculikan aktivis terjadi dimana-dimana.

Pembungkaman Mahasiswa tahun 1977 dan 1978 kembali terjadi. Gerakan Mahasiswa meluar secara nasional di kampus-kampus. Mahasiswa berikrar “Turunkan Soeharto”. Keesokan harinya mereka (baca: Mahasiswa) raib ditelan terali besi. Pendekatan militeris terakhir digunakan pada tahun 1998 dalam meredam aksi unjuk rasa. Berujung meninggalnya aktivis Mahasiswa (baca: Tragedi Semanggi dan Trisaksi).

Pemerintahan SBY-Boediono harus belajar dari sejarah. Pendekatan Militer dalam meredam aksi Demonstran bukan jalan yang tepat. Karena pergerakan Mahasiswa hingga tumbang orde baru ke era reformasi, ternoda dengan pendekatan militer hingga banyak korban dari kalangan Mahasiswa. Dan mau tak mau Presiden Soeharo dizaman itu terpaksa mengundurkan diri. Pemerintahan SBY tentunya tidak mau diturunkan, hanya karena aksi Demonstran menyulut dimana-mana, sebagai aksi penolakan kenaikan BBM. Publik dan seluruh rakyat Indonesia tetap konsisten bahwa pemberhentian kepala negara haruslah konstitusional. Oleh karena itu untuk para Demonstran harus tetap tunduk pada etika unjuk rasa, beserta aparat diharapkan jangan melakukan tindakan anarki kepada Demonstran. Kita tidak mau lagi terulang dengan tagedi 1998, gara-gara Demonsttan yang terbunuh. Akhirnya menyayat luka bangsa dan menibulkan kepedihan yang tak pernah berkesudahan.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...