Perkawinan Beda Agama

Secara umum hukum perkawinan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 , bagi yang beragama Muslim juga lebih rinci dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. KUH Perdata masih menganut konsepsi hukum Barat sehingga lebih disempurnakan dalam dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. UU Perkawinan berlaku bagi agama apapun yang ada di Indonesia. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam berlaku bagi ummat Muslim tentunya.

Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ditegaskan bahwa :Perkawinan adalah Sah apabila dilakukan menurut hukum Agama masing-masing dan kepercayaannya itu.

Penjelasan UU Perkawinan mengenai Pasal tersebut adalah: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 tersebut, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,

Menyimak ketentuan di atas beserta penjelasannya maka sahnya pernikahan apabila dilakukan menurut agama masing-masing. Pernikahan yang syarat-syarat dan ketentuannya dibolehkan oleh agamanya maka pernikahannya pun sah menurut hukum.

Bagaimana dengan perkawinan beda agama? Misalnya antara Muslim dengan Kristen ? Mengacu pada Pasal di atas , maka harus terlebih dahulu diketahui apakah ketentuan agama Islam membolehkan perkawinan beda agama? Begitu pun sebaliknya apakah agama Kristen membolehkan perkawinan beda agama? Setelah terjawab pertanyaan tersebut maka terjawab pula status hukum perkawinan beda agama.

Bagi seorang Muslim berlaku hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, tetapi secara positif masalah perkawinan, seorang Muslim terikat kepada Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1 Tahun 1991). Bila kita membuka ketentuan tersebut maka Pasal 40 menegaskan “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu ( salah satunya)  adalah seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pada pokoknya ketentuan tersebut melarang orang Islam untuk menikah dengan wanita yang bukan orang Islam. Apalagi menurut Majelis Ulama Indonesia Hal tersebut adalah haram. Fatwa haramnya menikah beda agama ini dikeluarkan berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Sehingga otomatis menurut hukum nasional maka perkawinan beda agama antara orang Muslim dengan yang bukan orang Muslim tidak sah.

Namun banyak pula yang berpendapat/ menafsirkan bahwa ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 maksudnya adalah perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan ketentuan agama dan kepercayaan hanya Tuhan Maha Kuasa yang mengetahui dan absolute penafsirannya, sehingga tiap individu bisa menafsirkan sesuai dengan keyakinannya dan tidak ada lembaga atau institusi manapun yang absolute penafsirannya.

Contoh kasus, perkawinan pesulap Dedy Curbozer (Kristen) dan istrinya Calina (Islam). Dedy meminta penjelasan kepada Universitas Paramadina tentang hukum pernikahan beda agama dalam agama Islam. Universitas Paramadina memberikan penjelasan bahwa menurut hukum Islam perkawinan beda agama boleh untuk dilakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka keduanya melangsungkan perkawinan dan menganggap perkawinannya sah karena telah dilakukan menurut ketentuan masing-masing agamannya.

Saat ini banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk melakukan perkawinan beda agama terutama di kalangan selebritis Indonesia misalnya

  1. Dilakukan di luar negeri yang hukumnya membolehkan perkwaninan agama sehingga hukum perkawinannya tunduk pada hukum asing bukan hukum Indonesia.
  2. Meminta penetapan kepada pengadilan untuk diizinkan melangsungkan perkawinan.

Bagaimana perkawinan beda agama ditinjau dari Hak Asasi Manusia ? Dalam Konstitusi Negara kita disinggung masalah perkawinan dalam Pasal 28 B yang menegaskan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Ketentuan ini juga dapat ditemukan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 10,  “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Yang paling penting inti dari konstitusi dan undang-undang diatas adalah bahwa perkawinan merupakan hak asasi manusia yang diakui dan harus dihormati oleh Negara Indonesia juga telah meratifikasi ICCPR ( Kovenan Hak Sipil dan Politik ) Melalui UU No 12 Tahun 2005. Sehingga ketentuan tersebut juga menjadi sumber hukum di Indonesia. Masalah perkawinan juga diatur dalam Kovenan tersebut diantara Pasalnya (Pasal 23) mengenai perkawinan adalah :

  1. Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara.
  2. Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.
  3. Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah

Sebelumnya perlu diketahui jenis hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-yang telah meratifikasi ICCPR ini (termasuk Indonesia). Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Maka 2 hak yang bersifat nonderogable memeluk agama kepercayaan sesuai dengan keinginannya. Dalam hak ini Negara tidak boleh ikut campur membuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan agama seseorang termasuk melarang seseorang beragama tertentu, mengatur masalah-masalah teknis keagamaan termasuk tidak boleh terlalu ikut campu dalam mengatur pelarangan perkawinan beda agama. Sekali lagi hak ini sifanya nonderogable yang pemenuhannya oleh Negara tidak boleh ditunda-tunda.

Hak yang kedua adalah untuk membentuk keluarga atau melakukan perkawinan . Hak ini juga merupakan hak asasi manusia yang bersifat nonderogable yaitu pemenuhannya harus dilakukan oleh Negara tidak boleh menunda-nunda Dalam ketentuan ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan berlaku sebagai sumber hukum di Indonesia, masalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus diakui tanpa persyaratan yang rumit, ketentuan perkawinan hanya dititik beratkan pada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah.

Berdasarkan hal di atas Kovenan HAM ICCPR yang telah berlaku di Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 meminta untuk mengakui perkawinan antara lelaki dan perempuan yang telah ada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak.

Atas nama Hak Asasi Manusia Pemerintah harus melakukan upaya regulasi yang mengakomodasi hak-hak dasar termasuk hak untuk menikah karena hak tersebut termasuk dalam kategori Non Derogable Right yang pemenuhannya tidak boleh ditunda-tunda. Atau masyarakat bisa melakukan judicial riview ke Mahkamah Kontitusi terhadap undang-undang yang menghambat hak-hak masyarakat tersebut. 

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...