Pertikaian Para Pengacara dan Organisasi Profesi

Sumber Gambar: alinea.id

Beberapa waktu belakangan, dan bahkan sampai saat ini, masyarakat Indonesia mendapat tontonan “menarik” ketika beberapa ahli hukum senior saling bertengkar secara terbuka soal pelanggaran etik. Selain diangkat media, perdebatan dan saling serang ini semakin hebat karena dilakukan melalui akun media sosial mereka masing-masing. Hal ini membuat keadaan semakin seru bagi beberapa pihak, tapi terasa semakin memalukan bagi saya sebagai sarjana hukum.

Pertikaian ini lebih dipicu oleh urusan pribadi, bukan profesi mereka. Meski mereka pengacara, perkara menari dengan sekian perempuan berbikini dan pamer harta sama sekali tak berhubungan dengan profesi itu.

Sayangnya, bagaikan menepuk air di tempayan, semakin mereka saling serang, semakin mereka memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka telah mengotori wajah mereka sendiri. Begitulah sekalian mereka telah mencoreng profesi pengacara. Bukankah seharusnya pertikaian itu dilakukan secara elegan dalam sebuah proses hukum?

Pertikaian mereka yang didominasi emosi itu menunjukkan betapa lemahnya organisasi profesi pengacara di Indonesia. Sampai sekarang tidak ada organisasi profesi pengacara yang cukup kuat untuk menghindari masalah-masalah yang menyinggung “kesucian” profesi pengacara, yang sering-sering disebut, termasuk oleh para pengacara senior itu, sebagai officium nobile (profesi mulia).

Organisasi pengacara di Indonesia berjalan sesuai dengan kehendak setiap kubu dengan klaim dan tafsir masing-masing atas regulasi pemerintah casu quo Undang-Undang Advokat. Bahkan, standardisasi bagi sarjana hukum yang ingin berkarier sebagai pengacara justru menjadi ajang persaingan setiap organisasi dan bukan betul-betul untuk memastikan mereka dapat menjalankan profesi pengacaranya sebaik mungkin.

Urusan pribadi para pengacara senior yang terus-menerus diungkap ke publik itu telah menantang akal sehat. Seorang pengacara menuduh rekan sejawatnya telah melanggar etik pengacara, tapi caranya sendiri telah melanggar etik dengan menyerang pribadi. Di sisi lain, semakin diingatkan, seorang pengacara malah merasa lebih benar karena merasa tidak ada hubungan antara hiburan untuknya dan profesinya. Sayangnya, ke mana-mana dia mengaku sebagai pengacara puluhan miliar rupiah.

Apa yang salah? Apakah mungkin pengacara senior ini tidak memahami makna dari pengacara sebagai officium nobile? Mungkinkah kondisi berulang ini akibat dari kerusakan pengaturan atas organisasi pengacara? Ataukah mungkin pendidikan hukum kita yang gagal mempersiapkan para lulusan sebagai pengacara yang benar-benar terhormat?

Keributan para pengacara senior belakangan ini memang hanya setitik masalah dari masalah-masalah lainnya di dunia pengacara di Indonesia, apalagi dunia penegakan hukum kita. Namun persoalan ini seharusnya mengajak kita memikirkan beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan untuk pembenahan.

Organisasi pengacara di Indonesia memang sudah saatnya diupayakan mengarah ke single bar (organisasi tunggal). Dengan kata lain, kondisi saat ini yang bersifat multibar (banyak organisasi) harus ditinggalkan. Upaya ini untuk memperbaiki standardisasi para sarjana hukum yang memilih profesi pengacara. Standardisasi ini bukan untuk menyamaratakan kapasitas keilmuan ataupun pengalaman praktik, melainkan bertujuan untuk mengatur mereka dalam satu wadah dan regulasi internal yang sama.

Jika organisasi pengacara Indonesia bersifat tunggal, sebagaimana di Amerika Serikat, misalnya, para pengacara memiliki wadah yang jelas untuk memastikan mereka menjalankan profesi sebagaimana standar yang ditentukan bersama. Hal ini juga termasuk pendidikan profesi pengacara bagi para sarjana hukum baru. Standar ini penting agar kualitas pelayanan hukum bagi masyarakat juga merata dan berkualitas.

Persoalan pelayanan hukum di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak orang masih sulit memperoleh akses terhadap pelayanan hukum terbaik dengan biaya terjangkau untuk persoalan hukum mereka. Di daerah, akses itu bukan hanya sulit karena biaya yang tinggi, tapi juga masih banyak penyelewengan akibat para pengacara berkualitas rendah, baik secara keilmuan maupun kapasitas praktik.

Organisasi pengacara yang tunggal juga dapat memastikan setiap persoalan internal dapat diselesaikan secara efektif. Setiap organ, termasuk misalnya komisi atau komite etik pengacara, dapat tertata dan dengan efektif menyelesaikan kasus-kasus antar-anggota. Ini termasuk dengan lebih dulu menentukan apakah ini persoalan profesi mereka atau hanya persoalan pribadi.

Lebih mendalam lagi, kualitas pendidikan hukum juga perlu dibenahi, terutama tidak menjadikan fakultas hukum sebagai “pabrik manusia” yang hanya berharap menjadi kaya raya sebagai pengacara. Cara pikir salah ini perlu dibenahi agar kekayaan semata-mata tidak menjadi tujuan yang ingin mereka capai setelah mereka menjadi pengacara, melainkan pelayanan hukum terbaik dan berkualitas bagi setiap mereka yang membutuhkan.

Pertikaian kali ini memang remeh, tapi bisa menjadi sarana refleksi pembenahan dunia pelayanan hukum kita agar menjadi lebih baik. Egoisme senioritas dalam tubuh organisasi pengacara yang sampai sekarang masih terpecah-pecah harus segara dihilangkan demi pembenahan dunia pelayanan hukum bagi masyarakat.

 

Oleh:

Petrus Richard Sianturi

Pendiri Legal Talk Society Indonesia dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika*

KORAN TEMPO, 27 Mei 2022

Sumber : https://koran.tempo.co/read/opini/474031/ketika-para-pengacara-senior-bertengkar-soal-pelanggaran-etik-dan-perlunya-organisasi-tunggal?

You may also like...