Pidana dan Pemidanaan Pilkada

Masa pendaftaran Calon Kepala Daerah baru saja selesai beberapa pekan kemarin. Dan tidak lama lagi akan memasuki tahapan selanjutnya yaitu masa-masa kampanye.

Masa kampanye bagi setiap Pasangan Calon merupakan etape krusial penegakan hukum pidana Pilkada dalam mewujudkan keadilan elektoral pemilih. Pasalnya, ada banyak kecurangan-kecurangan yang potensial terjadi di masa-masa itu, menjadi wajib bagi Bawaslu/Panwaslu untuk menindaklanjutinya. Beberapa bentuk kecurangan tersebut yang telah dikriminalisasi melalui UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, diantaranya: jual beli suara, black campaign, kampanye terselubung, hingga pada pelibatan ASN dalam kegiatan kampanye, etc.

Seperti perbuatan korupsi, berbagai tindak pidana pemilihan pun pada kenyataannya tidak mampu terdeteksi secara langsung siapa korbannya. Namun dengan memperhatikan kembali kepentingan hukum yang hendak dilindunginya, maka setidak-tidaknya esensi dari pada tindak pidana Pilkada, adalah bertujuan untuk melindungi hak-hak dan kewajiban warga negara.

Dalam konteks demikian sudah dapat terlihat bahwa yang menyebabkan perlunya pertanggungjawaban pidana dalam perbuatan-perbuatan tersebut, tidak lain disebabkan oleh sifat melawan hukumnya atas suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian terhadap hak-hak dan kewajiban warga negara.

Sumber Gambar: kpu-kuningankab.go.id

Sistem Pidana

Mengenai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana Pilkada, terdapat satu persoalan mendasar yang perlu dikritisi guna pembangunan hukum Pilkada yang sesuai dengan asas-asas fundamentalnya (Luber dan Jurdil). Adapun masalah hukum yang penulis maksudkan yaitu bentuk pertanggungjawaban pidana perihal tindak pidana Pilkada yang cenderung kabur dan bertentangan dengan prinsip-prinsip pemidanaan.

Jika tindak pidana Pilkada dirangkum secara keseluruhan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 Junto UU Nomor 8 Tahun 2015 Junto UU Nomor 10 Tahun 2016 masing-masing menggunakan salah satu bentuk sistem pemidanaan dan stelsel pemidanaan yang telah lama diakui oleh para ahli hukum pidana.

Terkait sistem pemidanaan, Michael Tonry and Richard S. Frase (2001: 32) membagi tiga bagian: (1) Defenite Sentence yaitu pembentuk UU menentukan ancaman pidana secara pasti. Langsung disebutkan jumlah ancaman pidananya, exempli gratia (eg): diancam pidana penjara selama 15 tahun. Sistem pemidaan ini biasa pula disebut sebagai sistem absolut, karena tidak membuka ruang diskresi bagi hakim; (2) Indefenite Sentence yaitu sistem yang menetapkan ancaman pidana maksimun khusus atau juga ancaman pidana minimum khusus terhadap suatu perbuatan pidana. Model ancaman pidananya biasanya diawali dengan kalimat “paling lama,” eg: diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun; (3) Indeterminate Sentence, yaitu pembentuk UU hanya menentukan alternatif-alternatif dalam batas-batas minimum dan maksimum ancaman pidana. Karakteristik dari bentuk ancaman pidananya adalah diantarai oleh kalimat “paling singkat …dan paling lama …” eg: dipidana dengan pidana penjara “paling singkat  3 (tiga) bulan dan paling lama” 12 (dua belas) bulan.

Rata-rata bentuk pemidanaan yang dianut dalam UU Pemilihan adalah menggunakan model indeterminate Sentence. Bisa dilihat misalnya pada ancaman pidana dari tindak pidana jual beli suara (Vote Buying), Pasal 187 A ayat 1 UU a quo menegaskan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara “paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama” 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda “paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak” Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Stelsel Pidana

Selanjutnya, stelsel pemidanaan dikenal pula tiga pembagiannya sebagaimana dikemukakan oleh Didik E. Purwoleksono (2009): (1) Stelsel Alternatif  yakni norma dalam UU ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU yang berbunyi “… diancam dengan pidana penjara atau pidana denda …”; (2) Stelsel Kumulatif yaitu ditandai dengan ciri khas adanya kata “dan”. Stressing point-nya bahwa dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya, eg: diancam dengan pidana penjara “dan” pidana denda; (3) Stelsel Alternatif Kumulatif, berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Stelsel Alternatif Kumulatif  memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan). Eg: diancam dengan pidana penjara “dan/atau” pidana denda

Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana Pilkada dominan menggunakan stelsel pemidanaan kumulatif. Sebagai salah satu contoh dapat diperhatikan kembali ketentuan tindak pidana jual beli suara sebagaimana yang telah dikutip di atas. Dalam konteks itulah terdapat leemten in rechten yang ditinggalkan oleh pembentuk UU, sebab qonditio sine quanon stelsel pemidanaan yang demikian harus menyediakan satu lagi ketentuan ancaman pidana alternatif.

Tidak semua terpidana mampu membayar jumlah pidana denda yang dijatuhkan kepadanya. Itulah sebabnya dalam KUHPidana dan beberapa tindak pidana khusus lainnya (seperti tindak pidana korupsi) dikenal pidana pengganti (subsidier). Jika terpidana dalam menjalani masa pemidanaan dalam statusnya sebagai narapidana tidak dapat atau tidak mampu membayar jumlah denda yang dijatuhkan bersama dengan pidana penjaranya, maka dapat diganti dengan pidana penjara atau kurungan.

At the last, berapapun tingginya ancaman pidana denda dijatuhkan, apabila terpidana tidak mau membayarnya, hingga saat ini tetap tersaji menu kekosongan hukum dalam legislasi kebijakan hukum pidana Pilkada. Parahnya lagi, kesalahan itu terulang lagi dalam UU Pemilu.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...