Setelah Pilkada, Lalu Apa?

Wiwin Suwandi: Anggota Badan Pekerja ACC Sulawesi

Wiwin Suwandi: Anggota Badan Pekerja ACC Sulawesi

Pelantikan kepala daerah terpilih pada 17 Februari 2016 lalu dari hasil pilkada 9 Desember 2015, menandai berakhirnya seluruh tahapan pillada, serta dimulainya tanggung jawab kepala daerah terpilih untuk bekerja membangun daerah yang dipimpinnya.

Hal pertama dan utama yang mesti dilaksanakan oleh kepala daerah terpilih adalah melaksanakan janji kampanye sebagai garansi (jaminan) suara yang diberikan rakyat sebagai pemilih. Tidak sulit mewujudkan itu, jika kepala daerah terpilih menempatkan dirinya bukan sebagai “petugas partai”, tapi sebagai “abdi rakyat”.

Kepala daerah terpilih harus memaknai hakikat pilkada langsung. Bahwa jika pilkada hanya dipandang sebagai ajang perebutan kekuasaan antarkandidat dan parpol di belakangnya, maka diskursus demokrasi lokal hanya melibatkan elite dan parpol. Tetapi tidak demikian. Konstruksi Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Wali Kota “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilh secara demokratis” ini tidak bisa
ditafsirkan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perpu No 1 Tahun 2014. Perpu ini dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2015 hingga kemudian berubah menjadi UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara langsung oleh rakyat.

Pesan UU ini jelas, bahwa rakyat ikut terlibat dalam proses politik lokal sekaligus ikut berperan dalam pembangunan. Keterlibatan dalam proses politik ini diwujudkan dalam hak untuk memilih (rights to vote). Hak untuk memilih berdasarkan undang-undang ini memberikan “ikatan konstitusional” yang menjadi “kontrak politik” antara rakyat (people) dengan pemerintah (government), dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah melalui UU Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2014 (UU Pemda). UU Pemda sendiri merupakan manifestasi dari Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).

Prinsip dasar dari demokrasi adalah kekuasaan (kratos) ada ditangan rakyat (demos). Segala tindak-tanduk penyelenggaraan pemerintahan harus menempatkan rakyat sebagai pihak berdaulat yang hak-haknya harus dipenuhi sebagai prinsip pertanggungjawaban negara. Seluruh tatanan hukum, politik, dan ekonomi harus didasarkan pada kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan kelompok atau orang perorang. Kesemuanya bersandar pada tugas negara sebagaimana termuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 “…..memajukan kesejahteraan umum..”

Pemimpin, Bukan Petugas Partai

Pilkada langsung pada 9 Desember lalu merupakan manifestasi demokrasi elektoral untuk mencari seorang pemimpin. Pilkada harus didudukkan dalam konteks mencari seorang pemimpin (leader), bukan sebatas mencari sosok Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang hanya bertindak sebagai manager. Menjadi Gubernur, Bupati atau Wali Kota itu mudah, tapi mencari pemimpin, itu sulit. Kondisi ini terjadi karena kepala daerah merasa jabatan politik yang disandangnya adalah hasil kerja kerasnya, bersama partai dan tim sukses, termasuk pengusaha di dalamnya. Rakyat dipandang sebatas “pemberi suara” yang tangung jawabnya selesai usai keluar dari bilik suara. Oleh karenanya, kue kekuasaan hanya berputar dan terbagi antara mereka para “rulling oligarchy”.

Penempatan jabatan-jabatan pemerintahan lekat dengan nepotisme, tidak bersandar pada aspek kompetensi dan integritas, semata-mata loyalitas, termasuk loyalitas buta. Pengkotak-kotakan kubu selama proses pemilukada membuat masyarakat ikut terpecah. Kondisi demikian berimbas pada pengambilan berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat.

Hal ini menyebabkan suburnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berkaca pada pemilukada sebelumnya, banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena kedudukan hanya dipakai sebagai sarana memperkaya diri dan kelompoknya. Sumber-sumber keuangan dimiliki dan dikelola secara kolutif dan nepotis. Akibatnya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan tidak tercapai. Besarnya kewenangan yang diberikan undang-undang tidak digunakan sebagai sarana melahirkan kebijakan pro rakyat yang berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya tercipta kesenjangan sosial yang berakibat pada munculnya permasalahan sosial.

Faktor kedua yang juga berpengaruh adalah “ikatan politik.” Sebagian besar kepala daerah merasa sebagai “petugas partai”, bukan sebagai seorang pemimpin yang lahir dari proses pemilihan langsung berdasar asas daulat rakyat. Benar bahwa syarat menjadi calon kepala daerah berdasar pada dukungan parpol atau maju sebagai calon independen.

Akan tetapi dukungan parpol tersebut sebatas syarat undang-undang, termasuk merupakan fungsi parpol dalam melakukan pendidikan politik, kaderisasi, dan regenerasi. Itulah mengapa UU No 22 Tahun 2014 ditolak, karena hanya melibatkan parpol (melalui fraksi), tidak melibatkan rakyat secara penuh.

Pemilihan kepala daerah serentak pada Rabu 9 Desember lalu tidak bisa dilihat secara sempit sebatas perwujudkan hak politik rakyat. Akan tetapi harus dipandang sebagai “akta perjanjian” antara rakyat dengan kepala daerah terpilih yang akan bertindak sebagai pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak. Setelah rakyat menunaikan haknya, pemerintah dituntut melaksanakan kewajibannya membuat kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat di daerah itu.

Jika demikian maka pada point ini, kontrak politik antara calon dengan partainya terputus dan berganti menjadi kontrak politik antara rakyat dengan kepala daerah terpilih. Kepala daerah terpilih hanya tunduk pada perintah konstitusi dan kehendak rakyat. Ia akan menjadi abdi rakyat, bukan abdi atau petugas partai. Tugas kepada partai sudah selesai, berganti tugas kepada negara. (*)

Oleh:

Wiwin Suwandi

Anggota Badan Pekerja ACC Sulawesi

Telah Muat, diharian Fajar, 1 Maret 2016

You may also like...