Plagiat (Bukan) Delik Aduan

Sulit dipungkiri bahwa kemudahan yang ditawarkan oleh dunia maya melalui pencarian mesin “mba google,” menyebabkan seorang dengan mudahnya berselancar sembari menelusuri informasi yang dibutuhkannya. Hingga kemudahan ini juga berimplikasi pada kebiasaan mengambil tulisan orang lain,  tanpa mencantumkan lagi sumber dan/atau penulis aslinya.

Fenomena plagiat, kini tidak boleh dipandang sebelah mata lagi, selain dapat merusak reputasi si plagiat itu sendiri, besar kemungkinannya akan menghancurkan reputasi institusi yang mempublikasi tulisan hasil plagiat tersebut. Taruhlah misalnya, sebuah harian/pers/media cetak karena ketidaktelitiannya memuat opini dari salah seorang penulis, yang ternyata hasil plagiasi, boleh jadi harian tersebut terstigmatisasi sebagai harian yang “tidak” lagi memberikan informasi benar kepada khalayak.

Berdasarkan terminologi-nya, plagiat berasal dari kata “plagiarus” yang berarti “penculik (kidnapper).” Lebih terang lagi Fokema Andrea dalam Rechtgeleerd Handwoordenboekmendefenisikan sebagai “letterdievery” yang selanjutnya diartikan sebagai pencurian karya tulis dilindungi hukum hak cipta. (Widyo Pramono: 2015)

Sayangnya, Pasal 120 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC) sebagai pedoman memperoses atas dugaan seseorang melakukan plagiasi, hanya dikualifisir sebagai delik aduan. Artinya, kalau si korban atau penulis aslinya tidak merasa keberatan atas karyanya dijiplak oleh orang lain, maka mustahil bagi pelaku diproses secara hukum.

Sumber Gambar: peka.umk.ac.id

Sumber Gambar: peka.umk.ac.id

Delik Umum

Saya sendiri, tidak sepakat dengan ketentuan UUHC yang menggolongkannya sebagai delik aduan, khususnya penjiplakan karya, tulisan, artikel, opini, dan yang sejenis dengan itu. Berikut dasar argumentasinya.

Pertama, perlu diketahui bahwa delik aduan hanyalah pada kejahatan yang ber-gradasi rendah. Hal yang wajar kemudian kalau pencurian dalam keluarga dan delik penghinaan dikualifisir sebagai delik aduan, oleh karena memang implikasinya, tidaklah berdampak meluas. Sedangkan plagiasi, dampaknya justru bisa meluas, sebab ada kemungkinan menurunkan minat dari seorang pencipta (penulis) dalam berkarya, hingga pada akhirnya gagasan untuk sumbangsi negara berdasarkan karyanya, menjadi tertunda sebab dijangkiti ketakutan “toh karyanya tidak dihargai.” Bahkan fenomena plagiasi pada gagasan yang telah dituangkan dalam tulisan, ujuk-ujuknya dapat mencederai orisinalitas ilmu dan pengetahuan atas siapa pemilik sebenarnya dari gagasan tersebut.

Kedua, dasar falsafati dari delik aduan yakni “subyektifitas” si korban. Subyektifitas yang dimaksud di sini, hanya pada korban saja yang merasa rugi kalau karyanya dijiplak oleh orang lain. Akan tetapi ini tidaklah berlaku, untuk penjiplakan atas sebuah karya cipta (tulisan). Ingat! asal-usulnya ilmu dan pengetahuan harus diperoleh dan disampaikan secara benar. Jikalau meng-Copy Paste (Copas) karya orang lain, tidak berdasarkan tata baku pengutipan, maka telah terjadi penyampaian informasi yang bersifat bohong. Kebohongannya, bukan hanya mengena pada orang yang dijiplak tulisannya, namun publik juga terserat dalam arus kebohongan tersebut. Sehingganya, mustahil untuk dikatakan kalau plagiasi itu bersifat “subyektifitas” saja. Dengan implikasinya pada keadaan “banyak khalayak” yang rentan dibohongi, mutatis-mutandis perbuatannya justru bersifat “objektif” yang seharusnya dikualifisir sebagai delik umum.

Ketiga, pun kalau ditelisik lebih jauh fenomena plagiasi tidak ada bedanya dengan delik pencurian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 362 KUHPidana. perbedaannya, hanya pada objek yang dicuri tersebut, oleh karena pada menjiplak tulisan orang lain, objeknya “dapat” merupakan “benda tidak berwujud,” berupa; ide atau gagasan yang selanjutnya diklaim sebagai milik si plagiat.

Metode analogi dengan memperluas makna pencurian dalam Pasal 362 KUHPIdana, setidak-tidaknya harus dimaknai pada unsur “mengambil sesuatu barang” bukan dalam arti “telah berpindah tempat saja” yang menyebabkan “hilangnya” penguasaan barang tersebut dari pemilik aslinya. Namun lebih luwes dalam memaknai unsur tersebut, mengambil tulisan (karya) orang lain akan menyebabkan karya dari si pemilik asli “berkurang nilai ekonominya” sebab memang dalam hak cipta, selain terdapat “hak moral” juga terdapat “hak ekonomi” dari si penciptanya.

Berdasarkan standar baku pengutipan, maka dengan mengikuti standar tersebut, seorang kemudian dapat terhindar dari pencurian atas karya orang lain yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Dengan mengutip tulisan seseorang, lalu mencantumkan penulis dan/atau sumber aslinya, tidaklah menyebabkan si pemilik gagasan asli tersebut menjadi rugi atas hak ekonominya. Sebaliknya, justru akan lebih dikenal karena “sudah ada orang lain” yang berusaha memperkenalkan namanya sebagai orang yang memiliki gagasan baharu nan cemerlang.

Stop Plagiat!

Persoalan lain, bagaimana kalau terdapat pers/media yang sudah terlanjur memberitakan/mempublikasikan sebuah tulisan dari seseorang yang ternyata hasil plagiat? Apakah hal tersebut hanya menjadi tanggung jawab dari pemilik tulisan tersebut? Pers-nya tidak perlu mengklarifikasi karena sedari awal sudah mencantumkan aturan ketat bagi tulisan yang termuat, sebagai tanggung jawab pribadi dari penulisnya saja.

Bagaimanapun! Seharusnya pers bersangkutan mengklarifikasi kepada khalayak, kalau tulisan demikian telah terjadi penjiplakan. Kewajiban pers adalah menyampaikan informasi secara berimbang, benar, dan bertanggung jawab. Sehingganya, kalau dalam ketidaktelitian atau ketidakceramatannya, pers terlanjut memuat artikel hasil jiplakan, kewajiban pers menjadi selesai, setelah mengidentifikasi kembali atas kebenaran informasi perihal penjiplakan itu.

UUHC sebaiknya kembali dihidupkan ketentuannya, kalau pelanggaran atas hak eksklusif bagi pencipta, berupa penjiplakan (plagiat) merupakan delik umum. Suatu tindak perbuatan yang tanpa menunggu keberatan korban (pencipta), maka si plagiator akan diproses secara hukum. Selebihnya, pers harus berada di garda terdepan untuk selalu siap sedia, membunyikan alarm: Stop Plagiat!*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...