Polisi Buah Simalakama

Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.

Lagi-lagi institusi kepolisian mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Berawal dari tersebarnya video penembakan seorang pemuda asal Mangkutana oleh salah satu anggota koramil dan anggota Polsek di daerah itu. Buruk citra kembali lagi menghujaninya.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi kita semua kalau polisi selalu ditimpa nasib simalakama. Dengan melakukan tindakan hukum kepada pelaku secara dini dituding salah. Dan andaikata tidak datang tepat waktu di Tempat Kejadian Perkara (TKP) pasti salah juga. Polisi datang terlambat, banyak orang kemudian pasti melempar kritik: kemana polisi saat terjadi penyerangan itu? Mengapa pak polisi baru datang disaat sudah berjatuhan korban? Ah.. jadi polisi itu berat, biar aku saja…!!!

Biar tidak berat, mari kita semua menelisik kasus penembakan pemuda Mangkutana itu dalam perspektif hukum pidana. Dan kalau dikaji dalam hukum pidana, setidak-tidaknya peristiwa tersebut bersangkut-paut dengan tema sentral apa yang disebut pembelaan terpaksa.

Pembelaan Terpaksa

Berdasarkan pengakuan dari keluarga pelaku, yaitu kakak (Alimuddin) yang memandikan jenazahnya. Di bagian kaki pelaku, katanya sama sekali tidak terdapat bekas luka tembakan. Bekas tembakan hanya terdapat di bagian dada dan perut pelaku. Itu artinya, anggota kepolisian yang telah melakukan penembakan telah menyalahi SOP penangkapan. Tidak ada tembakan awal, yang tujuannya bersifat melumpuhkan saja dahulu.

Betulkah dalam peristiwa itu polisi telah menyalahi prosedur? Betulkan polisi dalam peristiwa itu sebagai pelaku tindak pidana? Apakah perbuatan anggota kepolisian dapat dikualifisir sebagai tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, Pasal 351 ayat 3 KUHP; kekerasan secara bersama-sama, Pasal 170 KUHP, atau pembunuhan, Pasal 338 KUHP?

Tidak segampang itu penalaran hukum bekerja, hingga dapat melahirkan kesimpulan memenuhi syarat yuridik-logis. Suatu serangan atau ancaman serangan seketika baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Hukum pidana memberikan imunitas kepada si calon korban untuk melakukan pembelaan terpaksa.

Postulat hukum yang menguntit imunitas tersebut, yaitu: necessitas excusat aut extence deictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata. Asas ini pada hakikatnya lahir dari tujuan awalnya untuk menegakkan ketertiban, sehingga adagium yang dahulunya dipuja-puja di zaman kuno vim vi repellere licet, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan, ditinggalkan oleh para ahli hukum pidana modern.

Dalam konteks penembakan terhadap pemuda mangkutana itu. Pertama-tama yang harus diketahui bahwa esensi dari pembelasan terpaksa (noodweer) ialah pelaku (Polisi) melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam. Andaikata polisi tidak cepat gegas menembak pelaku, bukankah akan terjadi kejahatan yang lebih besar lagi. Siapa yang mau bertanggung jawab kalau bukan kepolisian yang sudah ada di TKP dalam hal mencegah berlanjutnya kejahatan pelaku.

Jikalau kemudian polisi tersebut dikatakan tidak memberikan tembakan untuk melumpuhkan dahulu. Tindakan semacam itu pada dasarnya tidak menjadi “perlu” dibebankan kepada seorang polisi, jika polisinya sudah berada dalam keadaan harus cepat membela diri.

Salah seorang anggota polisi dikejar pelaku yang sedang membawa parang, kemudian polisi terjatuh. Tidak bisa dibebankan kepada polisi agar tembak dulu kakinya. Sebab yang demikian sudah berhubungan dengan tindakan bagi polisi untuk melindungi jiwanya. Saat mana polisi sudah melihat pelaku akan menebas seorang warga, apakah polisi harus menembak kakinya dahulu. Saya kira tidak demikian, sebab yang diutamakan adalah selamatkan atau “bela orang lain” yang sedang terancam jiwanya.

Syarat Pembelaan

Berdasarkan Pasal 49 ayat 1 KUHP, setidak-tidaknya syarat pembelaan terpaksa dikualifikasi dalam empat item. Ada serangan seketika; serangan tersebut bersifat melawan hukum; pembelaan merupakan keharusan; dan cara pembelaan adalah patut.

Polisi dikejar, kemudian tiba-tiba terjatuh, ia hendak ditebas perang. Itu namanya serangan seketika. Antara saat  melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan tidak ada selang waktu yang lama. Itu juga terjadi pada kronologis kejadian yang berbicara, ada seorang warga yang sudah mau ditebas parang, maka polisi yang melihat kejadian itu langsung menembak pelaku demi melindungi orang lain tersebut (warga).

Pemuda tertembak bernama Amri itu juga sedari awal sudah melakukan perusakan sepeda motor warga dan polisi. Dan dengan serangkaian tindakannya “amuk” membawa parang, serangan membabi buta. Sudah terpenuhi sebagai perbuatan melawan hukum. Ada sifat kesalahannya. Bahkan menurut H.B. Vos, untuk mengukur sifat melawan hukumnya, tidak terbatas pada selesainya tindak pidana.

Menembak pelaku adalah keharusan. Sebab kalau tidak dilakukannya pasti akan berakibat pada keselamatan jiwa polisi dan warga. Tidak harus menembak pada bagian kaki, tetapi keharusannya adalah menghentikan perbuatan pelaku yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan diri sendiri atau orang lain.

Personil Polres Luwu Timur dan Polsek Mangkutana atas nama institusi tribrata, harus segera kita akhiri semua menudingnya telah melanggar HAM atau telah melakukan tindak pidana. Mereka sudah pada bekerja sesuai dengan code of conduct, boleh menggunakan kekerasan untuk mencegah berlarut-larutnya kejahatan. Upaya penangkapan terhadap pelaku telah sesuai dengan koridor keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan bobot ancaman yang terjadi.

Menjalankan Tupoksi polisi itu memang berat. Tetapi polisi tidak pernah meminta kalian menjadi “tameng” dari pelaku kejahatan. Dialah sendiri tamengnya. Kadung dirinya tak dijemput maut. Tanpa rasa bersalah kita selalu berkata semua karena salah polisi. Polisi buah simalakama. Kasian.

 

Oleh: Amir Ilyas

Dosen Hukum Pidana Unhas

 

You may also like...