Politik Uang di Pemungutan Suara

Damang Averroes Al-Khawarizmi
(http://makassar.tribunnews.com)

KLIMAKS pemenuhan hajat daulat rakyat dengan instrumen pemilihan umum serentak; Presiden, Wakil Presiden, dan Anggota legislatif (DPR RI, DPD, dan DPRD), momentumnya jatuh esok hari, 17 April 2019. Dan setelah pertapaan tiga hari masa tenang itu, ramailah rakyat berdatangan, mereka berduyun-duyun menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam menorehkan garis nasibnya, lima tahun berjalan kedepan.

Pemilu serentak 2019 datang dengan perkawanan manja serta cita-cita mulia mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Dibangunlah etika politik pemilihan, demi asas kebebasan sehingga haram hukumnya memperjualbelikan suara. Dengan melanggengkan politik uang sama saja mengantarkan calon pejabat publik keperbuatan rasyuah. Sekejap dan seketika, pembiayaan kesejahteraan rakyat potensial menguap, karena ditadah oleh pejabat politik yang bermaksud mengembalikan pundi-pundi kekayaannya dari kursi yang telah dibayar mahal kepada pemilih.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hadir kemudian dengan senjata pamungkasnya, kriminalisasi bagi pelaku politik uang di hari dan saat pemungutan suara. Perlahan lebih progresif menangkal politik uang dibandingkan dengan tempus kejadiannya di masa tenang. Dengan melalui undang-undang ini, Bawaslu beserta jajarannya bisa berkreasi dan menganeksasi perkara politik uang, baik dalam bentuk temuan maupun laporan.

Saat Pemungutan

Jerat hukum dengan stelsel kumulatif ancaman pidana penjara dan denda tentang politik uang di waktu pemungutan suara kepada pemilih terkonstruksi dalam dua kluster, yaitu pada “saat” pemungutan suara dan pada “hari” pemungutan suara.

Untuk perbuatan jual beli suara yang dilakukan pada saat pemungutan suara ternyatakan dalam Pasal 515 UU Pemilu: “setiap orang yang dengan sengaja “PADA SAAT” pemungutan suara menjanjikan “DAN ATAU” memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih SUPAYA TIDAK menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu “ATAU MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA DENGAN CARA TERTENTU SEHINGGA SURAT SUARANYA TIDAK SAH,” dipidana dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36 juta.”

Apa yang dimaksud “pada saat” dalam pasal tersebut? Ini penting untuk diketahui sifat pembedanya, sehubungan dengan adanya pasal serupa yang terdifrensiasi melalui satu keadaan waktu dalam satu frasa saja. Hal yang dilarang berdasarkan ketentuan itu, adalah politik uang yang dilakukan pada saat dimulainya waktu bagi setiap pemilih bisa masuk TPS menyalurkan hak pilihnya, sampai dengan ditutupnya waktu pemungutan suara oleh penyelenggara KPPS setempat. Adapun secara restriktif penentuan “saat” pemungutan suara diatur lebih lanjut dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara yaitu “mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat.”

Jadi pada 17 April besok kalau ada kejadian misalnya, siapa saja yang melakukan bagi-bagi uang atau materi yang bernilai lainnya kepada pemilih pada pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 setempat. Bawaslu bersama dengan Polisi, JPU, di bawah penyidikan Sentra Gakumdu lebih tepat menggunakan Pasal 515 UU Pemilu, bukan Pasal 523 ayat 3 UU Pemilu. Singkatnya, Pasal 515 mencocoki politik uang sebagaimana yang kita kenal saat ini dengan apa yang disebut “serangan Dhuha.”

Hanya satu yang menjadi kendala untuk pembuktian politik uang, dan itu sudah menjadi tradisi menahun, Bawaslu selalu mengelak dari ketidakmampuannya menyatakan pihak yang terperiksa dapat  terpenuhi sebagai pelaku tindak pidana pemilu. Yaitu, sulitnya mendapatkan kuantitas dan kualitas keterangan saksi yang dapat menerangkan fakta, perbuatan, dan peristiwa hukumnya saling bersesuaian dengan barang bukti atau meteri yang dijadikan objek pemberian kepada pemilih.

Hari Pemungutan

Selanjutnya, kluster kedua tentang politik uang di waktu pemungutan suara yaitu pada “hari” pemungutan suara sebagaimana tertuang dalam Pasal 523 ayat 3 UU Pemilu. Sekali lagi, bahwa pasal ini serupa dengan Pasal 515 UU Pemilu namun tidak sama dalam hal waktu atau kejadiannya. Ternyatakan dengan jelas bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja pada “HARI” pemungutan suara menjanjikan “ATAU” memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih “UNTUK TIDAK” menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu ———————————————————————- dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Tak ada penjelasan lebih lanjut terkait pasal tersebut, apa yang dimaksud  pada “hari” pemungutan suara. Namun pendefensian bahwa hari adalah hari kalender sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 54 PKPU Nomor 3 Tahun 2019, maka setidak-tidaknya berlaku 1 kali 24 jam. Yaitu dimulai dari Pukul 00.00 sampai pukul 24.00 di tanggal 17 April 2019 berdasarkan waktu setempat.

Fenomena politik uang dengan bahasa konyol “serangan fajar,” pada konteks itulah memenuhi Pasal 523 ayat 3 UU Pemilu. Termasuk politik uang pasca bayar yang biasanya menanti kepastian suara yang telah ditaksasi sebagai perikatan bersyarat  bayar tangguh, yaitu setelah Pukul 13.00 waktu setempat (13.00 lewat satu detik dst) juga termasuk politik uang di hari pemungutan suara.

Di atas segalanya regulasi pidana pemilu terkait dengan politik uang di masa pemungutan suara jauh lebih terkesan mubasir daripada tujuan utamanya untuk melindungi hak dan kewajiban kenegaraan. Tidak tersusun sebagai undang-undang yang mudah dituruti dan ditaati (leges breves sunto ut facilius teneantur), bukan karena tak bersanksi, tetapi karena kultur hukum kita memang telah terkanalisasi dalam  kredo, “bukan pemilu kalau tak ada pesta politik uang.”

Selamat memilih, Selamat berpemilu…!

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...