Prabowo Presiden RI 2024

Ferry Daud Liando
Alumni Department of political science university of Massachusetts USA

Kemarin sore (30/6) KPU RI akhirnya menetapkan Pasangan Joko Widodo dan KH Maaruf Amin sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Gugatan Sengketa Hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan kuasa hukum Prabowo-Sandi ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian Joko Widodo mempertahankan kekuasaannya hingga tahun 2024 nanti.

Pertanyaan kini adalah figur-figur yang nantinya akan berkompetisi pada Pilpres 5 tahun mendatang. Dari sekian nama-nama yang muncul sepertinya masih akan berubah jika akhirnya Prabowo Subianto akan bertarung lagi. Pada pemilu 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 44,50 persen total suara sah nasional, atau 68.650.239 suara, sebuah pencapaian yang sangat bagus. Jika mengacu hasil perolehan suara ataupun kursi partai politik (parpol), tidak ada satu parpolpun yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan Presiden. Parpol yang mendekati atau bisa mencapai hanyalah PDIP.

Kemungkinan yang bisa terjadi adalah munculnya calon lebih dari dua pasang pada Pilpres 2024. Dengan demikian jika calon lebih dari dua pasang, UUD 1945 Pasal 6A ayat (3) menyebutkan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Mencari tambahan 7 persen suara agar bisa mencapai diatas 50 persen mungkin tidak akan terlalu sulit bagi Prabowo.

Kemudian pada tahun 2024, selain akan digelar Pilpres, di waktu yang sama akan juga digelar Pilkada serentak untuk memilih 34 gubernur dan 504 bupati/wali kota. Parpol-parpol yang mendukung Joko Widodo pada Pilpres tahun ini kemungkinan besar tidak lagi akan bertahan. Sebab kompetisi Pilkada akan mengakibatkan parpol-parpol ini saling berhadap-hadapan. Jika saja Gerindra mampu mempertahankan partai sekutunya PKS maka kedua parpol itu memiliki total kursi hasil pemilu 2019 sebanyak 128, angka itu artinya kedua parpol ini memenuhi syarat ambang batas untuk mencalonkan Presiden dan wakil Presiden di tahun 2024 (jika UU pemilu tentang ambang batas tidak di revisi).

Satu-satunya yang bisa menghambat Prabowo pada kompetisi Pilpres 2024 adalah soal usia. Saat itu Prabowo sudah memasuki usia 72 tahun, tentu bukan muda lagi. Namun di sejumlah negara, menjadi pemimipin negara, usia tidak menjadi hambatan. Di negeri tetangga Malaysia, Mahathir Muhamad terpilih sebagai perdana menteri lewat pemilu pada usia 92 tahun. Pemilu 2020 di Amerika Serikat, Donald Trump sepertinya akan berhadapan dengan lawan berat. Trump akan ditantang Joe Biden, mantan Wapresnya Barack Obama. Jika terpilih Joe akan berusia 77 tahun.

Selain itu ada juga Robert Gabriel Mugabe Presiden Zimbabwe yang berusia 94 tahun. Dari uraian ini tentu memberikan peluang bagi Prabowo apalagi saat itu lawan bebuyutannya Joko Widodo tidak lagi akan berkompetisi. Jika akhirnya Prabowo akan tampil pada 2024 maka ada beberapa hal yang harus diperbaiki karena selama ini dianggap melemahkan posisinya. Pertama, Prabowo harus mengevaluasi tim yang ada di sekitarnya.

Kemungkinan kelakuan mereka selama ini tak sempat terjangkau oleh Prabowo. Andaikan permainan sepak bola, bukan hanya strateginya yang di perbaiki namun para pemainnya harus diganti total.

Permainan dengan model menyerang membabi-buta, kerap tidak hanya mendapat kartu merah wasit tapi sering mendapat hujatan dari penonton. Sebagian ada yang mencabut dukungan dan pulang sebelum pertandingan itu usai. Ada yang berusaha menyebar kebencian, dan berita bohong.

Kata-kata idiot dan dungu yang kerap dilontarkan untuk menyerang pihak lawan tentu tidak bijak jika terjadi negara yang masih menghormati dan menjunjung tinggi moral dan adat istiadat seperti Indonesia. Menggelorakan polarisasi dengan politik identitas tidak selamanya akan beruntung. Walaupun salah satu alasan Joko Widodo menggandeng KH Maaruf Amin Ketua, Majelis Ulama Indonesia merupakan bagian dari cara mencounter polarisasi itu.

Dalam banyak hal Maaruf Amin memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki tokoh lain, akan tetapi dalam hal urusan Pemerintahan sepetinya lebih tepat jika yang dipasangkan adalah Prof Mahfud MD atau Sri Mulyani. Namun Joko Widodo saat tak punya pilihan lain. Tapi pilihan itu ternyata tepat dan berhasil memenangi kompetisi. Dalam hal ini Prabowo terhunus pedang sendiri. Jika saja politik identitas tidak dikumandangkan, bisa jadi Joko Widodo tidak akan menggandeng Maaruf Amin, tokoh sentral yang berpengaruh atas kemenangan Anis Bawesdan di Pilkada Jakarta.

Kompetisi kali ini Prabowo kayaknya harus mengevaluasi banyak hal. Banyak kekuatan lain tanpa disadari menjadi penumpang gelap. Mulai dari mantan pejabat-pejabat yang dendam akibat dipecat dari jabatan, serta para tokoh-tokoh nasional yang frustrasi karena tidak kebagian jabatan kekuasaan. Mereka inilah yang menghasut massa dengan tema gerakan people power. Meski gagal namun pristiwa kerusuhan pada 21-22 Mei di depan kantor Bawaslu merupakan buah dari hasutan itu. Karena Prabowo berkompetisi di arena pemilu, harusnya para juru bicara, para pendukung atau ahli-ahli hukum harusnya direkrut dari tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan luas soal pemilu.

Dalam menuntut keadilan pemilu (electoral justice), yang diperjuangkan bukanlah kebenaran, tetapi kebenaran menurut undang-undang pemilu. Jika yang diperjuangkan menurut kebenaran tim sukses maka yang diperjuangkan itu adalah kebenaran menurut kepentingan kelompok. Jika demikian kompetisi pemilu menjadi liar. Perdebatan yang dipertotonkan di televisi sepertinya belum banyak juru bicara yang cakap mendalami UU kepemiluan. Kedepan sepertinya Prabowo menggandeng aktivis-aktivis yang selama ini aktif mendalami kepemiluan seperti mantan-mantan penyelenggara atau LSM. Strategi ini sempat dilakukan Joko Widodo. Dalil-dalil yang diajukan kuasa hukum pada sidang sengketa perselisihan hasil pemilu di MK sepertinya terdapat narasi yang tidak mengikuti alur sebagiamana UU pemilu. Saya menulis tiga topik terkait dalil-dalil itu. Sebagian materinya terungkap dalam materi persidangan baik oleh hakim MK ataupun ahli yang dihadirkan.

Masalah DPT harusnya tidak terungkap lagi, karena pembahasan, perbaikan dan penetapan akhir telah disepakati bersama baik oleh KPU, Bawaslu, Pemerintah termasuk oleh BPN sendiri. Sejumlah pelanggaran di TPS telah direkomendasikan oleh Bawalsu untuk pemungutan atau penghitungan suara ulang (PSU). Jika PSU sudah dilksanakan, maka segala bentuk pelanggaran dianggap selesai. Sehingga tidak perlu dibahas dalam permohonan. Dalam hal kewenangan, UU pemilu menugasakan Bawaslu untuk menangani pelanggaran pemilu yang sifatnya terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Sehingga dalil TSM tidak perlu diajukan ke MK. Kurangnya pemahaman hukum pemilu yang dimiliki para tim disekitar Prabowo berpuncak ketika Prbaowo menyampaikan Sambutan sebagai respon putusan MK yang menolak permohonan tim hukum Prabowo.

Saat itu ia mengatakan akan mengumpulkan kembali tim hukumnya dengan maksud untuk mencari upaya hukum lainnya. Sepertinya Prabowo tidak diingatkan timnya bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat artinya putusan Itu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh dan putusan berlaku bagi para pihak termasuk calon Presiden dan Wakil Presiden serta bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jika perbaikan ini tidak dilakukan maka saya menyarankan untuk tidak mencalonkan diri lagi.

Oleh: Ferry Daud Liando

Dosen Ilmu Politik Unsrat

You may also like...