Keabsahan Praperadian Budi Gunawan

Episode “dagelan KPK vs Polri” pekan ini memasuki babakan baru bernama Praperadilan. Namun sayang seribu sayang, harapan untuk menanti ending praperadilan berikut yang diajukan oleh kuasa hukum calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sepertinya akan memakan waktu yang lama, akan melencengi “tradisi” the speed trial principle yang dianjurkan untuk pengadilan. Faktor penyebab tertundanya sidang itu, tidak lain karena ada penundaan sidang, untuk melakukan panggilan kedua kalinya kepada KPK, sebab pada sidang pertama senin kemarin, pihak termohon atas nama KPK tak urung datang menghadiri sidang.

Dalam pusaran konflik KPK vs Kapolri yang masih memanas hingga kini, ternyata pengajuan praperadilan calon Kapolri Komjen BG atas penetepannya sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindakan yang tidak sah, menuai banyak silang pendapat oleh berbagai kalangan. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa praperadilan bukan bagian dari forum untuk menguji absah/tidaknya penetapan status tersangka.

Bagaimana sesungguhnya batas-batasan wewenangan praperadilan untuk memeriksa segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum? Jawabannya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) kemudian memberinya pembatasan.

Sumber Gambar: bisnis.com

Sumber Gambar: bisnis.com

Bukti Permulaan

Terhadap penetapan status tersangka BG penting untuk ditegaskan bahwa kerangka acuan bagi KPK untuk menetapkanya dalam status hukum demikian, diikat oleh Pasal 1 butir 14 KUHAP, “tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan “bukti permulaan” patut di duga sebagai pelaku tindak pidana.”

Berdasarkan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP tersebut, maka jauh hari kiranya KPK sebelum menetapkan status hukum BG sebagai tersangka, maka KPK yang karena kewenangannya telah melakukan penyidikan harus memiliki “bukti permulaan” yang patut, lalu BG dapat terduga sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam konteks itu, meskipun kelihatan yang dipermasalahkan oleh BG dan/atau kuasa hukumnya yakni “sah tidaknya penetapan status tersangka”. Tetapi problematika multitafsir hukum, in qasu a quo dapat dikunci dalam kalimat; bahwa sesungguhnya yang dipermasalahkan dalam permohonan praperadilan itu, adalah “bukti permulaan-nya”. Apakah KPK telah memiliki bukti permulaan? Apakah bukti-bukti yang telah diperoleh sudah relevan untuk mengambil kesimpulan patut diduganya BG sebagai pelaku tindak pidana?

Kalau makna tegas yang diharapkan ada penjelasannya dalam KUHP terkait apa yang dimaksud “bukti permulaan” ternyata masih “simpang siur” untuk menjadi pedoman beracara, terutama untuk tindakan penyidikan yang dilakukan oleh KPK.

Dalam Pasal 17 KUHAP memang kembali dituangkan frasa “bukti permulaan cukup”; “perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan cukup.” Tapi sayangnya frasa bukti “permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 lagi-lagi dikembalikan maknanya pada Pasal 1 butir 14 “bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP.”

Ada lagi, penggunaan frasa yang hampir serupa dengan “bukti permulaan” yaitu “bukti cukup”. Tetapi pun kalau hal ini hendak digunakan dalam kasus BG, kurang tepat. Mengapa? Karena ketentuan di dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP hanya diterapkan untuk pantas/tidaknya seorang tersangka ditahan; sementara BG belumlah ditahan oleh KPK.

Paling tidak acuan hukum yang selalu digunakan dalam praktik, bahwa untuk mengukur maksud dari pada “bukti permulaan” terikat dengan prinsipat pembuktian hukum acara pidana yang sudah lama dianut saat ini: “bewijs minimum principle”. Bahwa harus minimal terdapat dua alat bukti untuk memproses seseorang dalam perkara pidana.

Dua alat bukti yang dimaksud dalam “bukti permulaan” Eddy OS Hiariej  (2014) dalam bukunya “Hukum Pembuktian” menguraikannya lebih lanjut, yakni “dua alat bukti selain alat bukti petunjuk dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk bukti petunjuk, Penyidik dan Penuntut Umum tidaklah berwenang menggunakannya, karena alat bukti tersebut merupakan otoritatif yang melekat pada hakim.”

Tidak Absah

Permasalahan kemudian dalam kasus permohonan praperadilan BG, saat memperasalahkan “alat bukti” apa kiranya yang sudah dimiliki KPK sehingga dirinya ditetapkan sebagai tersangka, yang demikian sebetulnya sudah masuk dalam pokok perkara. Lebih cocok hal itu dimuat dalam pledoi BG kelak di Pengadilan. Artinya nanti pada saat BG melakukan pembelaan atas dakwaan Jaksa Penuntut KPK di Pengadilan Tipikor, terhadap cukup tidaknya alat bukti, termasuk pula relevan/tidaknya cara memperoeh alat bukti baru pantas untuk dipermasalahkan.

Sebab sudah jelas, oleh KUHAP secara tegas menyebutkan wewenang praperadilan “terkunci” dalam tiga pasal (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, dan Pasal 82 ayat 1 poin b). Ketiga pasal tersebut hanya merekomendasikan praperadilan dapat diajukan dalam hal: Pertama, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan; Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Ketiga, permintaan ganti kerugian atas rehabilitasi oleh tersangka. Keempat, sah atau tidaknya penyitaan.

Sementara untuk sah tidaknya penetapan tersangka, dalam arti terjadi kesalahan dalam menentukan “bukti permulaan”. Lebih pantas hal tersebut untuk dipermasalahkan dalam pokok perkara nanti. Mempermasalahkan bukti permulaan bukanlah menjadi wewenang praperadilan.

Oleh karena itu terhadap permohonan praperadilan BG yang meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan status hukumnya sebagai tersangka. Pada dasarnya dapat dikatakan sebagai “perlawanan hukum” yang terlalu dini, bahkan “salah alamat.” Uji sahi tidaknya penetapan status tersangka merupakan permohonan praperadilan yang tidak mengandung “keabsahan” hukum.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...