Prinsip Kelayakan Ganti Rugi atas Penilaian oleh Tim Penilai Harga Tanah

Pertanyaan yang pertama. Dalam mengukur layak/ tidaknya ganti rugi adalah mengapa “asas kelayakan”, penting menjadi prioritas bagi Pemegang Hak Atas Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Jelas, jawabannya adalah tanah yang dimilki oleh masyarakat bersangkutan merupakan haknya, sebagai warga negara yang tetap perlu mendapat perlindungan dari negara. Bukankah hal itu ditegaskan dalam Pasal 28 H ayat 4 UUD NRI 1945, “bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI 1945 “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban hukum dalam suatu masyarakata tradisional.”

Dengan demikian, keberadaan Tim Penilai Harga Tanah, yang ditegaskan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, sebagai lembaga yang bersifat independen dan professional, tidak lain untuk melindungi Pemegang Hak Atas Tanah, dari kebijakan pemerintah yang sewaktu-waktu akan bertindak sewenang-wenang.

Kalau hanya mengandalkan Tim Panitia Pengadaan Tanah. Maka yang akan terjadi Panitia Pengadaan Tanah, akan mengikuti saja keinginan pribadinya, bahwa jalan musyawarah untuk ganti rugi tersebut cepat selesai. Ada beberapa indikasi yang melemahkan fungsi Tim Penilai Harga Tanah. Diantaranya peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2006. Tugas untuk melakukan jumlah ganti kerugian juga menjadi salah satu tugas Panitia Pengadaan Tanah, sehingga Tim Penilai Harga Tanah, hanya berfungsi sebagai lembaga yang memberi koordinasi saja atau surat penilaiannya hanya menjadi pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah.

Disamping itu, Tim Penilai Haga Tanah. Berat untuk bekerja berdasarkan keahliannya masing-masing. Oleh karena pemerintah setempat, telah menentukan juga standar ganti  kerugian yang akan diterima bagi Pemegang Hak Atas Tanah. Atau dengan kata lain, standar ganti rugi yang akan ditetapkan oleh Tim Penilai Harga Tanah sudah lebih awal ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh Tim Penilai Harga Tanah setelah melakukan survey, ternyata jumlah ganti rugi yang ditentukan dalam menggunakan  standar ganti rugi dengan berpedoman pada metode  penghitungan penilaian ganti  kerugian (seperti metode lokasi dan metode perbandingan). Nyatanya tidak dijadikan sebagai pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah dalam melakukan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan.

Hal tersebut terjadi berdasarkan pengakuan Tim Penilai Harga Tanah, tidak terlalu ambil pusing jika standar atau jumlah ganti rugi ditolak, oleh karena dalam ketentuan-pun, gampang saja jika Pemegang Hak Atas Tanah tidak mau menerima jumlah ganti rugi setelah diadakan musyawarah berkali-kali. Panitia Pengadaan Tanah cukup menitipkan saja jumlah ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, dimana lokasi pengadilan untuk pengadaan tanah tersebut berada.

Kedudukan Tim Penilai Harga Tanah, yang hanya berfungsi sebagai lembaga koordinasi dari Panitia Pengadaan Tanah. Standar ganti kerugian tetap berpatokan pada standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Berarti Tim Penilai Harga Tanah yang diharapkan independen dan bersikap professional mustahil untuk berjalan sebagai salah satu fungsi Tim Penilai Harga Tanah yang akan memberikan standar ganti kerugian yang layak.

Dengan demikian, “asas kelayakan”, jumlah ganti rugi yang melibatkan Tim Penilai Harga Tanah untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum berjalan atau belum sesuai dengan keadilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah.

Diabaikannya sikap professional, Tim Penilai Harga Tanah berarti hak-hak bagi pemegang atas tanah untuk mendapatkan jumlah ganti rugi yang sepadan dengan tanah/ lokasi, dan perumahannya yang akan digunakan untuk pengadaan tanah tidaklah tercapai.

Selain kedudukan Tim Penilai Haga Tanah hanya berfungsi sebagai “stempel” penilai ganti kerugian buat Panitia Pengadaan Tanah. Kendala lain yang menjadi penghambat sehingga jumlah ganti rugi tidak layak bagi pemegang hak atas tanah yakni prinsip yang dipegang oleh pengambil kebijakan selalu mengutamakan prinsip, agar menekan biaya serendah-rendahnya tehadap jumlah ganti kerugian. Prinsip demikian jika berhasil diterapkan dianggap sebagai salah satu kesuksesan bagi Panitia Pengadaan Tanah. Padahal, di sisi lain telah mengabaikan kelayakan atas jumlah ganti kerugian bagi masyarakat sebagai korban kebijakan pengadaan tanah tersebut.

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...