Prof. Ramlan Surbakti: “Eksaminasi Putusan Bawaslu dan DKPP Ihwal Pemberhentian Evi Novida”

Prof. Ramlan Surbakti
Sumber Gambar: tempo.co

Tiga pokok pikiran hendak saya sampaikan secara singkat, sedangkan pada bagian akhir saya menyampaikan saran.

PERTAMA, semua penyelenggara Pemilu wajib mendemonstrasikan RESPECT FOR THE LAW Negara Republik Indonesia. Sikap hormat dan kepatuhan pada hukum wajib ditunjukkan dalam bentuk: melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai dengan jurisdiksinya (lingkup tugas dan kewenangannya), dan tidak melaksanakan tugas dan kewenangan yang secara jelas menjadi tugas dan kewenangan institusi lain.

Sistem Penegakan Hukum dan Penyelesaian Perselisihan Pemilu sudah diatur dalam sistem hukum Indonesia. Penegakan Ketentuan Administrasi Pemilu oleh Bawaslu, penegakan Ketentuan Pidana Pemilu diawali Bawaslu tetapi diproses oleh Polri, Kejaksaan dan Pengadilan, penyelesaian sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu dan proses banding untuk sejumlah kasus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.

Kalau penegakan hukum Pemilu dan penyelesaian sengketa proses Pemilu diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sedangkan pengambilan kata putus untuk perselisihan hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) justru diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Jadi sebagai unsur Penyelenggara Pemilu Bawaslu harus mendemonstrasikan sikap RESPECT FOR THE LAW dengan hanya melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, dan tidak mencampuri apa yang menjadi tugas dan kewenangan MK berdasarkan konstitusi.

Prinsip yang sama berlaku pula bagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bertugas “memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota,” (Pasal 155 ayat (2). Penyelesaian atas perselisihan hasil pemilihan umum tidak menjadi lingkup tugas dan kewenangan DKPP. Karena itu sebagai unsur Penyelenggara Pemilu DKPP wajib menunjukkan sikap RESPECT FOR THE LAW, yaitu hanya melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewenangannya menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewenangan Lembaga lain, yaitu Mahkamah Konstitusi. Bila DKPP dan Bawaslu menangani perselisihan hasil pemilihan umum, yang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjadi tugas dan kewenangan MK, maka Penyelenggara Pemilu yang bersangkutan secara telanjang melanggar konstitusi. Sikap dan tindakan seperti itu tidak menunjukkan sikap RESPECT FOR THE LAW.

KEDUA, berdasarkan UU Pemilu tidak ada struktur lain di KPU selain Rapat Pleno Anggota KPU yang dipimpin oleh seorang Ketua dan Sekretariat Jendral KPU yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jendral. Divisi atau bentuk pembagian tugas lain merupakan pembagian kerja internal diantara anggota KPU, bukan struktur resmi. Divisi dibuat agar ada satu atau dua orang anggota KPU yang mengambil prakarsa untuk bidang tertentu untuk disampaikan kepada Rapat Pleno. Divisi (anggota KPU yang diberi tugas divisi tertentu) tidak berhak mengambil alih Keputusan Pleno melainkan hanya mengambil prakarsa (itupun kalau ada prakarsa). Karena itu tidak ada Keputusan Divisi atau Keputusan Koordinator Wilayah. Keputusan tetap pada Rapat Pleno, dan keputusan itu ditanda-tangani oleh Ketua. Karena itu tidak sepantasnya pihak luar, termasuk DKPP sekalipun untuk mencampuri apalagi mengganti pembagian kerja dalam lingkungan internal Rapat Pleno KPU. Bila terdapat penilaian dari luar bahwa kerjasama diantara anggota KPU kurang solid dan kurang kompak, maka penilaian itu harus disampaikan kepada KPU melalui Ketua, bukan orang per orang anggota KPU. Hal ini tidak lain karena kerjasama yang solid merupakan hasil interaksi dari semua anggota dibawah koordinasi Ketua. Pembagian kerja diantara anggota KPU sepenuhnya merupakan urusan internal KPU, yaitu diputuskan oleh kesepakatan antar anggota KPU.

KETIGA, perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPRD Kalimantan Barat sudah diselesaikan dengan Putusan MK. Karena putusan MK bersifat final, maka semua pihak harus menerima dan mematuhi Putusan MK. Karena itu KPU wajib melaksanakan Putusan MK. Keputusan KPU untuk melaksanakan Putusan MK bukan putusan salah seorang anggota KPU melainkan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU. Keputusan untuk melaksanakan putusan MK tidak bisa digugat karena KPU melaksanakan kewajiban konstitusionalnya. Ketika DKPP memproses gugatan yang konon sudah dicabut oleh penggugat, merupakan tindakan yang salah secara hukum karena tiga hal.

(a) karena keputusan KPU yang digugat itu merupakan pelaksanaan kewajiban konstitusional KPU. KPU merupakan pihak yang diperintahkan oleh MK untuk memperbaiki keputusannya tentang Hasil Pemilu;

(b) karena putusan MK bersifat final sehigga semua pihak harus menerimanya. Pemohon (yang mengajukan gugatan kepada MK) juga harus menerima putusan MK. Tindakan Pemohon menggugat keputusan KPU kepada DKPP merupakan tindakan salah alamat; dan

(c) karena menimpakan kesalahan (yang jelas tidak dapat disebut salah) kepada seorang anggota KPU karena keputusan KPU merupakan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU (keputusan semua anggota KPU). Bila DKPP menilai KPU yang salah mengambil keputusan, maka kesalahan itu harus ditimpakan kepada semua anggota KPU karena keputusan KPU diputuskan oleh Rapat Pleno KPU, bukan kepada salah seorang anggota KPU yang kebetulan diberi tugas tertentu oleh Pleno KPU.

Keputusan KPU melaksanakan Putusan MK tidak salah secara hukum, bahkan menjadi kewajiban KPU melaksanakan putusan MK tersebut. Menimpakan kesalahan kepada seorang anggota KPU, karena tidak bisa menimpakan kesalahan kepada KPU sebagai institusi, tidak hanya merupakan tindakan melanggar hukum karena menjatuhkan sanksi bagi yang tidak bersalah tetapi juga mencampuri urusan internal KPU. Tindakan DKPP seperti ini tak ubahnya mencari kambing hitam. INTINYA, DKPP tidak berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum.

Rumitnya sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu di Indonesia, antara lain karena sejumlah institusi mencampuri tugas dan kewenangan institusi lain. Mereka yang tidak puas dengan keputusan suatu lembaga niscaya akan mencari saluran lain untuk menyatakan keberatan. Bila mengajukan keberatan kepada institusi yang memang memiliki tugas dan kewenangan untuk merespon jenis keberatan seperti itu, maka hal ini merupakan tindakan hukum yang tepat alamat. Akan tetapi tindakan mengajukan perselisihan hasil pemilihan umum kepada Bawaslu atau kepada DKPP, merupakan tindakan hukum yang salah alamat. Mereka juga mengetahui Lembaga yang berwenang tetapi mereka berusaha (katanya harus ada usaha) siapa tahu Lembaga itu menanggapi.

Tetapi tindakan yang lebih salah secara hukum adalah ketika Bawaslu atau DKPP menerima pengaduan dan kemudian mengambil kata putus tentang bidang yang bukan merupakan jurisdiksinya. Tindakan kedua institusi ini tidak hanya salah secara hukum tetapi juga turut memperparah kerumitan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu di Indonesia.

Agar sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu lebih sederhana tetapi efektif, seharusnya Bawaslu dan DKPP menerima pengaduan untuk dipertimbangkan dan kemudian mengambil keputusan “tidak berwenang” menangani keberatan tersebut.

Apalagi Bawaslu dan DKPP dapat dipastikan mengetahui perselisihan hasil pemilihan umum tidak hanya menjadi kewenangan MK tetapi juga perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPRD Kalimantan Barat sudah diputuskan oleh MK sehingga tidak ada ruangan lagi untuk membahasnya.

Surabaya 24 Maret 2020

Oleh:

Ramlan Surbakti

You may also like...