PTUN dan Pil Pahit Calon Kepala Daerah

PENYELENGGARAN Pilkada selalu membawa “hawa panas”. Tak jarang berujung pada kerusuhan yang dilakukan oleh massa. Beberapa waktu lalu “headline” media nasional maupun lokal menyorot kerusuhan Pilkada Jeneponto. Ratusan massa bakal calon bupati/wakil bupati Jeneponto 2013 Baharuddin BJ-Isnaad Ibrahim (Barani-Uranta) langsung melempari gedung KPUD Jeneponto, (17/9/013).  Mereka membawa serta Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan pasangan Barani-Uranta terhadap KPUD Jeneponto dari PTUN Makassar. Meski aparat kepolisian telah berdiri kokoh mengawal, mereka tetap melempar kantor KPUD.

Serupa tapi tak sama, kasus Pilkada Gorontalo yang diikuti oleh “petahana” Adhan Dambea mengalami “Jalan Buntu”. Bagaimana tidak, masyarakat yang sudah bersiap-siap “mencoblos” calon walikota yang ada di kertas suara, tiba-tiba KPUD mengumumkan salah satu calon yang ada di kertas suara yakni “petahana” Adhan Dambea dibatalkan sebagai peserta Pilwalkot Gorontalo karena telah keluar putusan PTUN yang membatalkan pencalonannya. Lebih hebatnya lagi, Adhan Dambea yang telah dibatalkan sebagai Calon /peserta Pilwakot oleh KPUD berdasarkan Putusan PTUN, ternyata setelah penghitungan suara behasil meraih suara terbanyak. Namun KPUD Gorontalo tidak menetapkannya sebagai Calon Walikota pemenang karena telah dibatalkan sebagai Calon Walikota berdasarkan Putusan PTUN Manado.

Sumber:keuangannegara.com

Sumber:keuangannegara.com

Teminologi Calon Kepala Daerah “PTUN” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah para pihak yang mendaftar sebagai calon kepala daerah di KPUD, Namun KPUD tidak meloloskannya menjadi peserta pilkada sebagai calon kepala daerah. Para pihak tersebut digugurkan oleh KPUD, lalu menggugat keputusan KPUD yang tidak meloloskannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN). Putusan PTUN kemudian memenangkan pihak penggugat dan memerintahkan KPUD untuk menetapkan penggugat sebagai calon kepala daerah. Inilah yang disebut sebagai Calon kepala daerah PTUN dalam tulisan ini karena mereka ditetapkan sebagai Calon kepala daerah berdasarkan putusan PTUN.

Kasus Calon Kepala Daerah PTUN sering terjadi dalam proses pilkada di Indonesia bukan hanya konteks lokal Sulawesi. Bahkan Calon inilah yang sering menimbulkan konflik dalam pelaksanaan pilkada. Kita ambil contoh di kabupaten Jeneponto, Pasangan Baharuddin BJ-Isnaad Ibrahim (Barani-Uranta) yang “digugurkan” oleh KPUD sebagai calon bupati dan calon wakil bupati, tetapi berdasarkan putusan PTUN Makassar dinyatakan memenuhi syarat dan memerintahkan KPUD agar pasangan tersebut ditetapkan sebagai Cabup dan Cawabup kabupaten Jeneponto yang berarti mereka berhak mengikuti Pilkada Jeneponto.

Pasangan Barani-Uranta dengan “Surat sakti” Putusan PTUN Makassar meminta kepada KPUD Jeneponto agar diikutkan dalam proses Pilkada Jeneponto. Namun KPUD Jeneponto tidak memenuhi permintaan tersebut karena putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan tahapan pilkada sudah memasuki tahapan Pemungutan suara. kertas suara pun sudah dicetak dan didistrubusikan ke TPS. Perjuangan pasangan Barani-Uranta tidak sampai di situ, mereka menggugat KPUD Jeneponto Ke Mahkamah Konstitusi.

Pil Pahit

Perlindungan terrhadap pihak yang tidak diloloskan oleh KPUD sebenarnya tidak maksimal. Sebab meskipun mereka menggugat keputusan KPUD Ke PTUN, akan tetapi tahapan Pilkada tetap berjalan. Padahal kalau menunggu Putusan PTUN berkekuatan Hukum tetap, akan  waktu yang lama sehingga tahapan pilkada bisa selesai. Jadi meskipun pihak yang menggugat KPUD dimenangkan oleh PTUN tetapi bisa saja Putusan kemenangan tersebut keluar pada saat tahapan pilkada sudah selesai atau hampir selesai sehingga tidak ikut atau tidak dapat diikutkan karena tahapan sudah selesai.

Mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah adalah “pengejewantahan” hak dipilih dan memilih yang dilindungi oleh konstitusi. Hak konstitusional tidak boleh diabaikan KPUD dengan cara melanjutkan tahapan pilkada sebelum ada kepastian hukum. Tindakan KPUD yang menggugurkan seseorang sebagai calon kepala daerah harus terlebih dahulu “diuji” apakah tindakan yang sudah sesuai dengan prosedur atau tindakan yang cacat hukum. Penyelenggara Pemilu seperti KPUD bukanlah “manusia setengah dewa” yang keputusannya selalu benar.

Sementara itu, PTUN menjadi “macan ompong” dan wibawanya menurun jika perintahnya dalam putusan tidak dilaksanakan oleh KPUD hanya karena tahapan sedang berjalan atau tahapan sudah selesai.

Jika demikian maka dimana para kandidat yang digugurkan KPUD mencari keadilan? Dimana mereka berjuang meskipun PTUN memenangkan tetapi KPUD tetap tidak menetapkan sebagai peserta pilkada karena alasan tahapan telah berjalan? Inilah “pil pahit” yang harus ditelan oleh calon kepala daerah, perjuangan mereka atas “kekhilafan” KPUD ternyata berakhir sia-sia. Diantara mereka ada yang berjuang sampai ke Mahkamah Konstitusi, namun (dalam beberapa kasus) mereka tidak dapat diterima karena tidak memiliki “legal standing”. Mahkamah Konstitusi hanya menerima Calon yang telah ditetapkan oleh KPUD sebagai pihak yang dapat berperkara.

Persidangan Cepat

Saat ini, Keputusan KPUD yang tidak meloloskan kandidat tertentu sebagai Calon peserta pilkada dapat digugat di PTUN sesuai dengan SEMA No 7 Tahun 2010. Proses persidangannya pun mengikuti proses persidangan yang lazim digunakan di PTUN sebagaimana yang telah diatur di UU 5 Tahun 1986 jo UU 51 Tahun 2009. Kelemahan sistem ini adalah proses persidangan di PTUN lambat sementara tahapan pilkada berjalan dengan cepat.

Untuk melindungi hak konstitusional Calon Kepala Daerah dan tidak ditundanya tahapan Pilkada oleh KPUD penyelesaian perkara di PTUN harus dilaksanakan dengan persidangan cepat.

Formulasi acaranya harus dilakukan dengan cepat. Daluarsa pendaftaran gugatan harus dibatasi misalnya 2-3 hari setelah keluarnya Putusan KPUD yang tidak meloloskan kandidat tertentu. Kemudian proses persidangan tidak melebihi 14 hari dan hakim PTUN harus mengeluarkan putusan. Sebaiknya proses persidangannya langsung di tangani oleh pengadilan tinggi TUN dan putusan bersifat final and binding. Dengan demikian tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat ditempuh atas putusan Pengadilan Tinggi TUN tersebut. Demi kepastian hukum, KPUD harus menunggu putusan Pengadilan Tinggi tersebut lalu melangkah ke tahap selanjutnya.

Mengabaikan hak calon kepala daerah PTUN berarti kita telah melanggar hak yang dilindungi oleh konstitusi. Penyelesaian sengketa berbagai persoalan yang terjadi di seputar proses pencalonan dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mendapat perhatian khusus dari pembentuk undang-undang. Sistem penyelesaian sengketa melalui PTUN saat ini memberi ruang bagi penyelenggara pemilu untuk berlaku curang yang dapat menyebabkan terlanggarnya hak warga negara menjadi calon.

Revisi UU Pemerintahan daerah yakni UU No. 32 Tahun 2004 yang telah dievisi dengan UU No 12 Tahun 2008 khususnya mengenai penyelesaian sengketa harus segera dilakukan agar tidak ada lagi hak konstitusional warga negara yang diabaikan begitu saja oleh penyelenggara Negara.(*)

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...