Rakyat Menggugat (Ketua) DPR

“All power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut/mutlak akan korupsi secara absolut/mutlak pula).

(Lord Emerich Edward Dalberg Acton(1834-1902)

Sekali lagi, dictum Lord Acton membuktikan jika kekuasaan itu lekat dengan korupsi. Apalagi jika kuasa itu melekat sebagai Pimpinan/Ketua sebuah lembaga negara terhormat sekelas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagaimana diberitakan, jika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto terkait lobi saham di PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.

Etika tata negara tentu tidak membenarkan tindakan itu. Siapapun tahu, jika DPR hanya memiliki 3 (tiga) fungsi; legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi terkait DPR sebagai pembentuk undang-undang, fungsi anggaran terkait kewenangan DPR dalam membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, dan fungsi pengawasan terkait kewenangan DPR sebagai pengawas jalannya pelaksanaan undang-undang dan APBN. Tidak ada dalam UUD 1945 dan UU MD3 yang memberikan kewenangan kepada anggota DPR sebagai calo dan makelar.

Lantas jika ada oknum anggota DPR yang sekaligus menjabat sebagai Pimpinan/Ketua DPR, dengan pengaruh jabatan yang melekat padanya, melakukan tindakan yang melenceng dari fungsinya, apakah bisa dipandang melanggar kode etik DPR? Jawaban dari pertanyaan ini yang ditunggu rakyat Indonesia saat ini. Akankah MKD bisa tegas berdiri diatas kepentingan bangsa dan negara, sebagai badan penjaga marwah dan kehormatan DPR, atau hanya menjadi badan pelindung kepentingan pimpinan DPR seperti dalam skandal “Trumptgate” beberapa waktu lalu?

Sumber Gambar: inilah.com

Ujian MKD

Jika proses di MKD didudukkan dalam konteks menjaga marwah dan kehormatan DPR, ini saat yang tepat untuk memulainya. MKD mesti mendudukkan persoalan ini secara serius, tidak bisa main-main seperti dalam pengusutan kasus Trumptgate lalu. Mata rakyat Indonesia saat ini tertuju pada MKD. Mengusut dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR SN adalah ujian terberat MKD saat ini. Ada 3 (tiga) catatan yang mesti dipegang oleh MKD.

Pertama, objektif. MKD harus mendudukkan persoalan secara objektif dan sesuai peraturan yang berlaku. Pasal 6, ayat 4 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 berbunyi, “anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, dan golongan.” Pasal tersebut berdiri diatas semangat Pasal 292 yang mengatur bahwa “setiap anggota dalam menjalankan tugasnya harus menjaga martabat, kehormatan, citra serta kredibilitas DPR.” Pertanyaan kuncinya adalah, apakah tindakan melobi saham dengan mencatut nama Presiden dan Wapres sejalan atau justeru bertentangan dengan kode etik DPR?

Kedua, transparan. MKD mesti belajar dari kasus Trumptgate beberapa waktu lalu. Pemeriksaan yang tidak transparan serta sarat dengan intervensi politis menyebabkan legitimasi hasil pemeriksaan MKD cacat formil dan materil, sehingga diragukan objektifitasnya. Dalam kasus ini, MKD harus membuka persidangan secara terbuka/transparan. Persoalan ini mesti didudukan dalam konteks keterbukaan informasi. Karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara, secara khusus menyangkut kehormatan DPR secara institusi, sehingga ada hak publik untuk tahu (rights to know). Oleh karenanya mesti dlakukan secara terbuka. Tidak usah ditutupi seperti dalam kasus Trumpgate beberapa waktu lalu. Menutupi persoalan ini hanya akan menambah kemarahan publiK, memperburuk citra DPR, terkhusus citra MKD.

Ketiga berani menjatuhkan sanksi tegas. Jika point 1 dan 2 terbukti, MKD jangan ragu menjatuhkan sanksi yang tegas. Persoalannya bukan pada personil MKD yang berasal dari parpol sehingga publik meragukan kualitasnya, tapi sejauhmana anggota majelis MKD bisa tahan dari intervensi dan tekanan itu. MKD harus melihat lebih dalam hati nurani publik yang terluka akibat tindakan tercela itu. Jika terbukti, MKD harus berani memberikan sanksi tegas terhadap SN karena melanggar kode etik DPR. Ketegasan MKD penting sebagai pembelajaran dikemudian hari. Putusan pelanggaran ringan dengan sanksi teguran seperti dalam kasus Trumptgate lalu hanya akan kembali melukai hati rakyat Indonesia.

Penegakan Hukum

Dari sudut manapun, kasus ini melanggar moral, etika, dan hukum positif yang dianut. Bahkan wajib diteruskan ke penegak hukum untuk diproses dengan UU Tipikor, terkait memperdagangkan pengaruh (trading influence). Konteks memperdagangkan pengaruh ini telah mendapat legisitimasi hukum dalam Pasal 18 UNCAC yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Pasal 18 UNCAC tentang Memperdagangkan Pengaruh dipandang sebagai kejahatan yang bisa dipidana.

Tindakan ini juga melanggar UU Administrasi Pemerintahan No 30 Tahun 2014, terkait konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tertera dalam UU ini adalah “kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.”

Tindakan SN tersebut telah memenuhi unsur “memperdagangkan pengaruh, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, serta memiliki konflik kepentingan” sebagaimana tertera dalam Pasal 18 UNCAC dalam UU No 30/2014 sehingga bisa dibawah ke ranah hukum. Sekaligus mendorong pengusutan terhadap kasus lain yang melibatkannya, seperti dalam kasus surat ke Pertamina.

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...