Ramai-ramai Menghakimi Rusia

Hamid Awaluddin
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Konflik Rusia versus Ukraina kini memasuki babak baru lagi. Melalui Resolusi Majelis Umum PBB pada 8 April 2022, keanggotaan Rusia pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB ditangguhkan dengan komposisi suara voting: 93 negara menyetujui, 24 menentang, dan 54 abstain. Jumlah negara anggota PBB sebanyak 193.

Dengan komposisi negara yang menentang, antara lain Rusia, China, Iran, Kuba, Korea Utara, Suriah, dan Vietnam, jelas bahwa penolakan mereka sungguh-sungguh dengan alasan politik belaka karena negara-negara tersebut dari awal memang selalu berseberangan dengan Amerika Serikat.

Dasar pemberian sanksi tersebut adalah dugaan tindakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Rusia di Kota Bucha, pinggiran ibu kota Kiev, di mana ditemukan mayat-mayat penduduk sipil bergelimpangan dan kuburan massal. Ini akibat serbuan bersenjata Rusia yang membabi buta (indiscriminate).

Selain mayat yang berserakan tersebut, pasukan Rusia juga dituding menyiksa, memerkosa, menculik, dan merampok penduduk sipil. Malah, ditengarai bahwa Rusia melantakkan 16 fasilitas kesehatan.

Penangguhan keanggotaan di Dewan HAM tersebut pernah juga dilakukan terhadap Libya pada tahun 2011 ketika negeri tersebut dipimpin Moammar Khadafy yang menindas dan mempreteli HAM rakyat Libya. Rusia baru masuk sebagai anggota Dewan HAM pada Januari 2021.
Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB Michelle Bachelot menyebut tindakan Rusia tersebut sebagai ”A massive impact on the human rights of millions of people across Ukraine.”

Dasar hukum PBB

Hukuman Majelis Umum PBB terhadap Rusia tersebut memang memiliki dasar hukum yang kuat, yakni Resolusi Majelis Umum PBB 60/251, 3 April 2006. Dalam Pasal 8 Resousi PBB tersebut dikatakan bahwa anggota Dewan HAM PBB haruslah yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan promosi dan perlindungan HAM. Apabila negara anggota Dewan HAM PBB melanggar HAM berat yang sistematik, keanggotaannya bisa ditangguhkan.

Inilah yang terjadi dengan Rusia. Setidaknya, sangkaan yang diarahkan ke Rusia bisa menyatukan persepsi negara-negara anggota PBB yang menyetujui pemberian sanksi tersebut.

Rezim pengaturan

Terlepas dari agenda pelanggaran HAM berat tersebut, rezim pengaturan tentang konflik bersenjata secara internasional adalah hukum humaniter. Dogma klasik yang dipakai adalah jus in bello (tata cara dalam pertempuran bersenjata). Dalam konteks ini, instrumen hukum yang mengatur tentang jus in bello adalah Konvensi Geneva IV Tahun 1949 (perlindungan penduduk sipil) dan Protokol Tambahan I-1977 (perlindungan korban perang internasional).

Dalam konflik bersenjata berlaku prinsip utama, serangan harus proporsional antara keperluan militer (military necessity) dan cara melakukan serangan. Karena itu, serangan tidak boleh membabi buta (indiscriminate). Dalam melakukan serangan, harus ada perhitungan yang akurat agar serangan tersebut hanya mengena target-target militer, termasuk tentara musuh. Tidak boleh serampangan.

Arena konflik bersenjata, sedahsyat apa pun intensitas perang tersebut, penduduk sipil adalah entitas yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh pihak-pihak yang bertikai.

Begitu juga dengan fasilitas publik. Konvensi Geneva mensyaratkan pihak-pihak yang bersengketa agar memperhatikan lokasi penduduk sipil dan obyek-obyek nonmiliter, dan jenis senjata yang dipakai haruslah proporsional dengan target-target militer sehingga tidak menimbulkan ekses ke penduduk sipil.

Siapa itu penduduk sipil? Konvensi Geneva IV Tahun 1949 memberi definisi bahwa setiap orang atau kelompok yang tidak menjadi bagian dari konflik bersenjata adalah penduduk sipil. Karena mereka bukan bagian yang terlibat pertikaian senjata, mereka harus dilindungi dengan berbagai kekebalan.

Selain rezim hukum humaniter tersebut, Rusia di kelak kemudian hari, setelah perang usai, akan ditunggu dengan rezim Statuta Roma Tahun 1998 yang memiliki yurisdiksi mengadili siapa pun yang terlibat dengan perbuatan genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Dalam perang Rusia dan Ukraina sekarang ini, Rusia bisa diancam dengan perbuatan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.

Pasal 7 Statuta Roma jelas mengatakan, kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan.
Untuk tuduhan kejahatan perang, Pasal 8 Statuta Roma 1998 sudah menggariskan dengan jelas bahwa setiap perbuatan yang secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau setiap orang sipil yang tidak ikut secara langsung dalam pertikaian bersenjata.

Lebih jauh dikatakan, perbuatan berupa serangan yang secara sengaja dilakukan terhadap obyek-obyek sipil yang bukan merupakan sasaran militer adalah kejahatan perang. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud itu dilakukan selama berlangsungnya perang.

Apabila perang usai kelak dan Statuta Roma 1998 diterapkan ke Rusia, inilah yang disebut jus post bellum (penegakan hukum seusai perang). Tujuan utamanya adalah memberikan keadilan bagi siapa saja yang melanggar aturan main dalam perang, jus in bello.

Kasus yang sangat terkenal dalam tahap jus post bellum ini ialah pengadilan atas penjahat Perang Dunia II, yakni Jenderal Yamashita. Ia dijatuhi hukuman mati setelah pengadilan ad hoc perang memutuskan bahwa ia bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukannya.

Akankah Rusia mengalami itu kelak? Kita tunggu drama berikutnya.

Oleh:

Hamid Awaludin

Duta Besar RI untuk Federasi Rusia, 2008-2011

KOMPAS, 14 April 2022

Sumber

https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/12/ramai-ramai-menghakimi-rusia

You may also like...