Reformulasi Strategi KPK

Wahju Prijo Djatmiko

Korupsi merupakan kejahatan supermala per se (sangat jahat dan tercela) yang bersifat evolutionary. Saat ini ragam korupsi terus bertambah dan canggih modus operandinya meninggalkan jauh norma positif (ius constitutum) yang memberantasnya. Korupsi terjadi tidak hanya pada tataran aplikasi dari sebuah sistem, tapi juga mulai tahap pembuatan aturan perundang-undangannya (legal and instrumental back up), kejahatan tersebut sudah dilakukan.

Setelah berkiprah selama hampir 16 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah berbuat banyak dalam memberantas korupsi di negeri ini. Namun, kejahatan yang dikutuk masyarakat (people condemnation) ini tak kunjung surut, justru terus berkembang sistemis dan struktural bahkan sudah banalitas. Untuk itulah, guna memaksimalkan segera terwujudnya Indonesia bebas korupsi, KPK perlu mereformulasi strateginya dengan tidak hanya bertumpu pada penggunaan pendekatan represif klasik.

Kebijakan penyertaan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) secara maksimal dan upaya pencegahan, selayaknya diaplikasikan sebagai strategi utama KPK 4 tahun ke depan.

Penyertaan Pasal TPPU

Kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur penting dalam politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, ketidaksamaan penafsiran definisi keuangan negara justru menimbulkan persoalan hukum. Perbedaan penafsiran tersebut diakibatkan adanya disharmonisasi di antara norma-norma positif yang berlaku dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait makna sesungguhnya dari keuangan negara.

Norma-norma tersebut ialah UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TPK, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 atas pengujian Pasal 2 huruf g UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Disertasi, Anwarudin Sulistiyono, FH Unair, 2019)

Dari sisi UU TPPU, tudingan inkonsistensi perumusan pasal menjadi perdebatan serius di kalangan ahli dan praktisi hukum. Pasal-pasal tersebut, di antaranya Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 69, Pasal 77, Pasal 78 dan Pasal 79 ayat (4) undang-undang a quo dinilai berpotensi menimbulkan persoalan yuridis maupun pelanggaran HAM dalam pengetrapannya. Akibatnya, penyertaan pasal TPPU menjadi problem tersendiri bagi penyidik dan jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas profesinya.

Kompleksitas variabel yang digunakan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, dan pembuktian kejahatan TPPU tidak cukup hanya didasarkan pada pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ilmu lain (ekonomi dan telematika) sangat menentukan keberhasilan mekanisme penyelesaian perkaranya. Untuk kepentingan penyertaan pasal TPPU ini, pendayagunaan penyidik-penyidik ekonomi yang mumpuni menjadi kebutuhan yang harus diwujudkan KPK.

Pada kasus TPPU lintas negara (cross-border money laundering), persolannya semakin rumit sehingga penegakan hukum lintas negara sangat diperlukan. Di samping sulitnya menghadirkan saksi, penegakan hukum lintas yuridiksi, baik itu melalui perjanjian ekstradisi maupun mutual legal assistance (MLA) banyak menemui kendala dalam implementasinya.

Di sinilah konsep follow the the money menjadi jurus ompong. Padahal, penjahat TPPU besar memilih jalur pencucian lintas negara sebagai pilihan paling aman. Tentunya persoalan disharmonisasi norma dan inkonsistensi pasal, serta lemahnya kemampuan pengejaran koruptor lintas negara perlu dicarikan jalan keluarnya guna memperlancar kinerja pemberantasan TPK di Indonesia.

Pencegahan Tipikor

Penegakan hukum pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana yang efektif dalam penanggulangan korupsi di Indonesia. Di samping karena kemampuannya cuma sampai pada delik yang bisa dibuktikan, hukum pidana hanya merupakan penanggulangan gejala, dan bukan penyelesaian yang mampu meniadakan akar dari kejahatan itu sendiri.

Kebijakan pencegahan untuk menanggulangi kejahatan menurut Kongres PBB ke-7 pada 1985 di Milan, Italia, mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders dilakukan dengan bertitik tolak pada upaya penghapusan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan, tak terkecuali kejahatan korupsi tentunya.

Salah satu tindakan-tindakan di lapangan ialah kampanye pembaruan moral (moral reform) kepada aparatur negara dan hukum, tetapi juga kepada masyarakat luas. Salah satu pembaruan moral yang seharusnya mendapatkan perhatian ialah moral kejujuran.

Pemberantasan TPK juga akan mendapatkan hambatan ketika rasa malu dan rasa bersalah ini sudah tipis dalam sistem budaya masyarakat. Dengan argumentasi itu, korupsi selayaknya tidak lagi dipahami sebagai suatu gejala hukum, tapi dimengerti dan direspons sebagai gejala sosial-budaya. Di sisi inilah, KPK diharapkan giat dan berkesinambungan melakukan kampanye antikorupsi sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran hukum masyarakat (legal awareness buiding).

Kesadaran hukum aparatur negara sangatlah besar kontribusinya dalam melaporkan perbuatan koruptif dan salah kelola (maladministration) dalam korupsi birokrasi. Setiap elemen dari aparatur negara pada dasarnya bisa berperan serta sebagai whistle blower. Untuk itu, KPK hendaknya menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Upaya Pencegahan

Pencegahan yang efektif akan mampu meminimalisasi dan mengendalikan faktor yang bersifat kriminal. Di samping itu, dengan lebih  komprehensif memahami gejala korupsi yang terjadi, akan mempermudah cara mencegahnya. Pendekatan ini diperlukan guna menyempurnakan strategi non-penal yang selama ini telah dijalankan KPK.

Pertama, redesigning sistem pengawasan pelayanan publik dengan fokus pengawasan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat dan daerah, dengan dukungan electronic based monitoring system yang terpadu. Kedua, menjalin koordinasi dan sinergi dengan inspektorat jendral di kementerian dan sistem pengendalian internal di lembaga negara.

Ketiga, kampanye gerakan masyarakat luas yang secara aktif berfungsi sebagai co-KPK (mitra KPK dalam pengawasan) yang diharapkan membantu mempersempit peluang korupsi dan sekaligus berperan  memerangi TPK itu sendiri. Keempat, mendorong pemerintah dan DPR menerbitkan sarana hukum (legal substance) sebagai pijakan agar seluruh sistem pemerintahan yang kaitannya dengan penyelenggaraan program pelayanan publik, dibuat setransparan mungkin dan informasi mudah diakses. Kelima, giat menggalang kampanye moral reform.

Strategi represif tetap harus digalakkan KPK dengan penyertaan pasal TPPU guna menimbulkan dampak pemiskinan pada pelaku korupsi. Di samping itu, strategi preventif sangat vital dioptimalkan dalam rangka mempercepat terwujudnya Indonesia bebas korupsi.

Oleh:

Wahju Prijo Djatmiko

Praktisi hukum

Doktor Ilmu Hukum Pidana Undip Semarang

Opini Media Indonesia, 13 Jul 2019,

 

You may also like...