Rusli Habibie Tidak Melakukan Penghinaan

Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Itulah pepatah yang kini mengena Rusli Habibie (Gubernur Gorontalo) yang sudah menyatakan permintaan maaf secara terbuka di salah satu media. Tetapi nyatanya Budi Waseso yang kini menjabat sebagai Kepala Bareskrim bergeming tak akan mencabut laporannya atas dugaan Rusli Habibie yang dianggap telah melakukan pencemaran nama baik terhadap dirinya, saat masih menjabat sebagai Kapolda Gorontalo.

Kasus ini bisa dikatakan unik kejadiannya. Unik, karena rata-rata yang selalu menjadi ”korban” pelaporan, biasanya berasal dari kaum papa (seperti Prita Mulya Sari, Fadli Rahim) dan pelapornya selalu dari kalangan penguasa (pejabat negara). Khusus untuk kasus Rusli Habibie dengan Budi Waseso adalah dua pejabat negara yang berhadap-hadapan secara diametral dalam dua institusi yang berbeda, antara penegak hukum dan pejabat kepala daerah.

Pada hakikatnya segala ketentuan yang terkait dengan klasifikasi delik penghinaan untuk negara yang menjalankan demokrasi secara penuh, perlahan tapi pasti ketentuan a quo sengaja tak difungsikan lagi dengan totalitas untuk menjerat mereka yang menyampaikan pendapat, menjalin komunikasi, sebagai bagian dari jaminan kebebasan berekspresi. Apalagi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dengan tuntutan good and clean government, segala kritik dan pendapat yang disampaikan terhadap proses bernegara harus dimaknai sebagai upaya penyelenggaraan pemerintahan yang transparan. Inilah yang mengilhami sehingga ketentuan pencemaran nama baik terhadap kepala negara dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, berdasarkan Putusan MK No: 013-022/PUU-IV/2006.

Seharusnya roh dari putusan MK yang telah mencabut ketentuan tentang penghinaan terhadap kepala negara, sudah dijiwai dan diejawantahkan pula dalam institusi kepolisian sebagai penegak hukum yang tidak boleh serta merta menggunakan “kekuasaannya”, dengan gampang “mentersangkakan” seseorang atau pejabat negara lainnya yang menyampaikan kritik atas baik-buruknya kinerjanya. Sebab disamping menjalankan fungsinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, juga harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (vide: Pasal 2 dan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

In concreto Rusli Habibie yang telah melaporkan kinerja Budi Waseso saat masih menjabat sebagai Kapolda Gorontalo ke Mensesneg dan Menkopolhukam pada tahun 2013. Atas pengaduan Budi Waseso, Rusli Habibie kini dijerat dengan perbuatan pidana; penghinaan dalam dua kualifikasi, yaitu fitnah; dan pengaduan dengan fitnah, masing-masing di atur dalam Pasal 311 dan Pasal 317 KUHP.

Sumber Gambar: pojoksatu.id

Sumber Gambar: pojoksatu.id

PASAL 311, PASAL 317 VS PASAL 310 & PASAL 315 KUHP

Agar lebih jelas saya kutip dalil dari ketentuan tersebut. Pasal 311 KUHP menegaskan jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Sedangkan Pasal 317 selanjutnya menegaskan “barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 311 KUHP dan Pasal 317 KUHP merupakan konstruksi ketentuan yang tidak boleh dipisahkan dari beberapa pasal penghinaan lannya, yaitu Pasal 310 ayat 1 (penistaan biasa), Pasal 310 ayat 2 (penistaan berat), dan Pasal 315 (penistaan ringan). Artinya baik Pasal 311 maupun Pasal 317 konten penghinaannya dapat berbentuk penistaan biasa (penistaan lisan dengan menuduh melakukan suatu perbuatan), berbentuk penistaan berat (tertulis dengan menuduh melakukan suatu perbuatan), maupun penistaan ringan (menuduh dengan istilah). Penggolongan penistaan tersebut harus terpenuhi salah satunya, baru dapat dikatakan terpenuhinya penghinaan dalam kualifikasi fitnah dan/atau pengaduan dengan memfitnah.

In qasu delik penghinaan yang diancamkan kepada Rusli Habibie konten penghinaannya berbentuk penistaan berat, yang dituliskan sendiri olehnya sebagai Gubernur dengan melakukan tuduhan berupan perbuatan kepada Budi waseso yang masih menjabat sebagai Kapolda Gorontalo pada waktu itu, bahwa telah berpihak pada salah satu calon kepala daerah di Gorontalo dan tidak pernah pula hadir dalam Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di Gorontalo.

Perbedaan mendasar antara Pasal 311, Pasal 317 dengan Pasal 310 serta Pasal 315 KUHP, bahwa pada Pasal 311 dan Pasal 317 adalah terdapatnya hak kepada si penghina (si penuduh, pihak yang memfitnah) untuk membuktikan tuduhannya, sedangkan Pasal 310 dan 315 KUHP tuduhan tersebut benar adanya, sehingga tidak perlu dibuktikan, tetapi karena terhina merasa nama baik dan kehormatannya tercemar maka dikualifikasi sebagai “penistaan/pencemaran.”.

Demikian halnya dengan Pasal 311 dan Pasal 317 juga masih terdapat perbedaan dari segi bestandeel-nya (unsurnya). Memenuhi Pasal 317 KUHP jika tuduhan yang tidak dapat dibuktikan disampaikan kepada pembesar negeri/penguasa. Berbeda dengan Pasal 311 KUHP, tuduhan yang tidak dapat dibuktikan itu cukup disiarkan ke khalayak publik atau di depan umum saja.

BUKAN DELIK PENGHINAAN

Atas perbuatan yang dilakukan oleh Rusli Habibie pada dasarnya tidak bisa memenuhi kualifikasi Pasal 311 KUHP, hanya dimungkinkan melalui Pasal 317 (mengadu dengan memfitnah). Pun saat ini kalau telah diketahui oleh umum, tuduhan itu tersiar ke khalayak tidak lain karena sorotan media atas pelaporan Budi Waseso dari peristiwa terserangnya; kehormatan dan nama baiknya.

Dalam hemat saya, selama konsentrasi pada literatur delik penghinaan ketika menyoroti kasus yang sedang menimpa Rusli Habibie saat ini, yang mana perkaranya sudah melewati pembacaan dakwaan di persidangan. Saya menganggap perbuatan dari si pembuat dugaan tindak pidana a quo tidaklah memenuhi kualifikasi dalam Pasal 317 maupun Pasal 311 KUHP. Rusli Habibie tidak melakukan delik penghinaan dengan beberapa alasan hukum, diantaranya: Pertama, Rusli Habibie menyampaikan surat ke pembesar negeri (Mensesneg, Menkopolhukam) dalam kapasitasnya sebagai Gubernur (pejabat) sedang menjalankan tugas dinas. Bahwa surat yang dikirim tersebut dibuat secara berjenjang dan secara kolektif. Bukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang menggunakan jabatannya, untuk menyampaikan tuduhan yang menyerang kehormatan dan nama baik Budi Waseso. Ingat! semua ketentuan delik penghinaan selalu menjerat subjek hukum “orang” bukan “pejabat negara”.

Kedua, pengakuan Budi Waseso kalau gara-gara surat tersebut sehingga dirinya “dimutasi” berarti ada indikasi yang seharusnya dibuktikan “memang Budi Waseso telah melakukan perbuatan yang dituduhkan demikian” buktinya, boleh jadi terdapat dalam surat-surat administrasi di internal kepolisian yang menyebabkan dirinya di mutasi. Sederhananya, tidak mungkin dimutasi dari Polda Gorontalo, kalau surat yang disampaikan ke Menkopolhukam oleh Rusli Habibie tidak benar adanya.

Ketiga, kalau maksud surat tersebut meminta agar Kapolda Gorontalo berperan dalam pengamanan Pilkada, berarti unsur tuduhan yang bermuatan fitnah sama sekali tidak terpenuhi. Dan andaikata maksud demikian dapat dibuktikan sebagai kehendak yang dominan, walaupun terdapat tuduhan berupa “pemihakan terhadap salah satu calon kepala daerah” maka tindak pidananya menjadi terhapus. Sebab tindakan mengirim surat ke Menkopolhukam dilakukan semata-mata demi kepentingan umum. Pasal 310 ayat 3 KUHP memberinya pengecualian (alasan penghapus pidana):“tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Keempat, sejalan dengan alasan di atas, andaikata kebijakan yang diambil oleh Rusli Habibie sebagai Gubernur, merupakan kebijakan yang sifatnya “diskresi” sebagai pejabat daerah yang bertanggung jawab atas nama kepentingan umum, terdapat kesalahan (cacat) prosedur dalam tugas eksekutifnya, maka pertanggungjawabannya bukan dengan pertanggungjawaban pidana, tetapi cukup dengan pertanggungjawaban administrasi (seperti mencabut surat yang dikirim ataukah dinyatakan tidak sah tindakannya). Hanyalah perbuatan yang didalamnya terpenuhi niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Oleh karena itu, munculnya dugaan yang disampaikan oleh Budi Waseso ke beberapa media, terkait dengan motif Rusli Habibie mengirim surat ke Menkopolhukam agar Budi Waseso dimutasikan dari jabatan Kapolda Gorontalo, sebab akan memeriksa perkara korupsi yang melibatkan nama Rusli Habibie. Dalam hemat saya, peristiwa a quo tidak ada persesuaian perbuatan atas dugaaan penghinaan tersebut.

Toh dengan jabatan prestisius sekarang yang dimiliki oleh Budi Waseso, kalau mau menegakkan hukum dengan benar, equal justice under law; Kenapa tidak konsentrasi mengusut dugaan kasus korupsi yang terjadi di Gorontalo? Bukankah itu lebih mendapat apresiasi yang baik di mata warga Gorontalo, bahkan seluruh rakyat Indonesia boleh jadi akan mengacungkan jempol terhadap institusi kepolisian kalau Ia berani “membongkar” koruptor kelas kakap di negeri ini.(*)

ARTIKEL INI SUDAH MUAT DI KOLOM PERSEPSI GORONTALO POST, 13 MEY 2015

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...