Sejarah pemidanaan

Sistem pemidanaan telah ada di dunia sudah cukup lama. Sejarah pemidaanan yang dulu, pernah diterapkan kepada pelaku kejahatan memiliki jenis- jenis sanksi pidana dan tata cara untuk pelaksanaan yang dapat dilihat berdasarlan lintasan history dari abad-ke abad

Pertama, Pidana membuang/ menyingkirkan/ melumpuhkan (Abad ke-19), bentuk pidana menyingkirkan/melumpuhkan dimaksudkan agar penjahat itu tidak lagi mengganggu masyarakat, penyingkiran dilakukan dengan beberapa cara misalnya membuang atau mengirim penjahat itu keseberang lautan. Dalam hal ini juga berlaku dalam adat minangkabau, sanksi pidana ada dalam bentuk menyingkirkan yaitu membuang sepanjang adat. Din Indonesia terutama pada zaman hindia belanda dulu pidana pembuangan ini banyak juga dilakukan terhadap orang – orang politik.

Kedua, Sistem pemidanaan kerja paksa (Abad ke-17), misalnya kerja paksa mendayung sampan, cara-cara kerja paksa itu lama kelamaan menjadi hilang setelah kapal meningggalkan layar. Di Hindia Belanda kerja paksa sebagai bentuk pidana pernah juga dilakukan terutama dalam pembuatan jalan raya dan membuat lubang. Walaupun pidana penjara yang dikenal sejak berabad-abad sebagai “Bui” bagi lawan-lawan politik penguasa namun baru menjadi sesuatu yang bersifat umum sebagai pengganti pidana mati, pembuangan dan pengasingan.

Ketiga, Pidana mati (Abad ke-16), cara-cara pelaksanaan pidana mati pada abad 16. ini adalah dibakar atau dibelah dengan ditarik kereta kearah yang berlawanan, dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak, ditenggelamkan dilaut atau dijantungnya dicopot serta dirajam sampai mati. Lama kelamaan tata cara pemidanaan mati itu dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap perkemanusiaan sehingga akhirnya pemidanaan mati digantikan dengan cara dipancung,, penggantungan ditiang gantungan, dan ditembak mati.

Demikian halnya yang dikemukakan Soesilo, jenis-jenis pemidanaan yang yang diklasifikasi berdasarkan konteks sejara hukum pemidanaan di indonesia antara lain: dibakar hidup terikat pada satu tiang, dimatikan dengan menggunakan suatu keris, dibakar, dipuku, dipukul dengan rante, ditahan dalam penjara, kerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.
Sifat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dewasa ini para perencana mengalami kesulitan untuk merencanakan Suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat nasional karena ada ikut campurnya Belgia yang berkepentingan agar KUHP yang akan diberlakukan di negeri Belanda itu jangan sampai mirip dengan Crimmineel Wetboek yang pernah dimiliki oleh negara Belanda tahun 1809 dan jangan sampai pula mengikuti Code Penal yang pernah berlaku di negeri Belanda oleh pihak Perancis sejak tahun 1811 yaitu sejak kerajaan Holland distukan dengan negara Perancis.

Rencana Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada Tahun 1815 akhirnya tidak berhasil menjadi satu Undang-undang karena adanya keberatan dari pihak Belgia dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Crimineel Wetbboek Voor Het Koninkrijk Holand Tahun 1809.

Kemudian Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada Tahun 1827 kembali telah tidak berhasil menjadi satu Undang-undang karena daya keberatan dari pihak Belgia dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Code Penal Perancis hingga pada akhirnya suatu rencana undang-undang hukum pidana yang baru telah berhasilmejadi suatu undang-undang yang melahirkan KUHP yang dewas ini berlaku di indonesia.

Pada waktu harus memilih jenis-jenis pidana yang dicantumkan di dalam KUHP yang baru, pembentuk KUHP telah melakukanpembatasan-pembatasan sejauh yang ia dapat lakukan dengan memilihsustu susunan pidana yang dianggap sebagai mempunyai sifat yang sederhana hingga mendatangkan beberapa keuntungan.

Mengenai kesederhanaan dasri sebuah pidana-pidana yang telah dipilih oleh pembentuk undang-undang itu. Di dalam memmorie van toelichting, dikemukakan kesederhanaan seperti itu dengan sendirinya membawa keuntungan-keuntungan yang sangat besar. Karena makin sedikit pidana-pidana yang ada akan semakin mudah orang membuat perbandingan mengenai pifana-pidana tersebut. Dan tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu orang tidak akan dapat menjatuhkan pifdana secara tepat sesuai dengan berat ringannya kejahatan.

Demikian halnya van Bammelen mengemukakan kesederhanaan yang menjadi acuan dalam kodifikasi KUHP tersebut, makin sedkiti pidana-pidana yang ada akan makin mudah bagi orang-orang untuk mebuat perbandingan antara pidana-pidana tersebut, dan demikian dikatakan di dalam memmorie van toelichting, tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu, adalah tyidak mungkin bagi orang untuk menjatuhkan pidana secara tepat sesuai dengan berat ringannya kejahatan-kejahatan yang dilakukan, akan tetapi perlu juga diingat bahwa pembentuk undang-undang telah tidak memperhitungkan sama sekali mengenai adanya penyebab-penyebab baik yang terdapat di dalam masyarakat mapupun yang terdapat di dalam diri orangnya itu sendiri yang dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.

Dengan demikian, KUHP yang masih berlaku sekarang ini. Walaupun telah dilakukan rancangan terhadap KUHP nasional itu. Setidaknya dapat diintrodusir beberapa jenis pidana sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 10 KUHP yakni

Pertama, pidana Pokok: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda.

Kedua, Pidana Tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Dari uraian tersebut. Berdasarkan pembagian jenis pemidanaan dalam KUHP, maka dapat dikemukakan beberapa perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Pertama, pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (pidana tambahan ini ditmabhakan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).

Kedua, pidana tmbahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halanya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (bisa dijatuhkan maupun tidak). Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP dimana sifatnya menjadi keharusan.

Ketiga, Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...