Semiotika Pil-pres & Caleg

Salah satu perhelatan kebangsaan dalam makna demokrasi yaitu digelarnya suatu “pesta meriah” yang kemudian dikenal dengan “Pemilihan Umum (pemilu)”. Pemilu menawarkan “berjuta asa” yang diusung oleh berbagai partai politik dan para calon anggota legislatif yang bersamaan dengan tawaran asa yang melimpah ruah tersebut, penggunaan simbol dan atau tanda menjadi sesuatu yang mutlak untuk digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan eksplisit kepada masyarakat selaku audience yang tentunya multi-interpretasi.

Hari ini, dihampir setiap sudut jalan, hadir fenomena yang menakjubkan sekaligus menggelikan. Hal ini dikarenakan banyak sekali “jajanan” yang ditawarkan oleh para calon legislatif (caleg) untuk menarik simpatik warga masyarakat untuk memilihnya pada pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2009. Kemasan jajanan ditawarkan dalam bentuk berbagai rupa dengan ornament berbagai jenis untuk mempermanis dan memperindah jajanan tersebut. Akan tetapi, tidaklah disadari bahwa pada saat yang hampir bersamaan dengan tawaran jajanan tersebut, para caleg sedang “bermain” dengan penggunaan simbol dan kata yang milti-interpretasi. Penggunaan symbol dan atau kata seperti itu biasa dikenal dengan semiotikaa.

Apa itu semiotika?

Mengurai masalah tanda haruslah dimulai dengan mengurai untaian ilmu yang yang menaunginya yang dikenal dengan “semiotika”. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Dalam hal ini, semiotika mempelajari relasi komponen-komponen (tanda) dengan masyarakat penggunanya. (Yasraf Amir Piliang, 2003:47).

Membangun relasi-relasi antara tanda yang akan digunakan dan masyarakat sebagai objek, akan mengantarkan pada sebuah hubungan komunikasi yang harus dapat dimaknai oleh masyarakat sebagai sasaran (pengguna). Ketidakmampuan masyarakat mengurai makna dibalik tanda dan atau simbol yang digunakan, berakibat interpretasi yang salah dari symbol dan tanda tersebut.

Umberto Eco (dalam Yasraf Amir Piliang, 2003:44) mengatakan bahwa pada dasarnya semiotika merupakan disiplin ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (lie). Lebih lanjut Eco mengatakan jika semiotika merupakan teori kebohongan maka pada saaat yang bersamaan pula semiotika menawarkan kebenaran (truth).

Dalam hubungan dengan uraian Eco dan konteks interpretasi yang dimaknai oleh masyarakat, tentunya akan sangat bertaut. Hal ini dikarenakan kegagalan masyarakat mengurai makna-makna eksplisit dari tanda yang digunakan, akan berujung pada pemaknaan yang berkonotasi positif (truth) dan atau negatif (lie).

Semiotika vs Pil Pres & Caleg

Perhelatan Pil– (Pres & Kada) akan selalu menggunakan tanda sebagai media komunikasi yang dipandang paling efektif. Efektifitas pengguanaan tanda akan bermuara pada konstruksi hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda lain. Dengan kata lain, hubungan ini dimaksudkan untuk mengendalikan tuturan dan interpretasi.

Interpretasi yang sering kali tampak atas penggunaan tanda, idealnya haruslah dapat diinterpretasikan dengan baik dan benar. Suatu tanda yang digunakan tidak seharusnya melahirkan multi-interpretasi yang membingungkan masyarakat (awam). Sebagai contoh penggunaan tanda dan atau simbol “peningkatan kualitas pendidikan” yang seringkali menggunakan jargon-jargon “pendidikan gratis”. Gratis dalam pemaknaan masyarakat yaitu “sama dengan nol” atau “free”. Akan tetapi, pemaknaan masyarakat tersebut berbeda dengan realita yang terjadi bahwa “gratis” tidak sama dengan “free”.

Penggunaan simbol dan tanda bagi setiap partai politik dan calon anggota legislative dirasakan sebagai sebuah “keharusan”. Hal ini disebabkan proses sosialisasi diri dan atau lembaga selalu dimulai dengan menggunakan simbol dan tanda yang dianggap sebagai keterwakilan diri dan atau lembaga. Apakah kemudian simbol dan atau tanda yang digunakan akan ditafsirkan secara otomotis oleh masyarakat menjadi persoalan lain. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kecerdasan dan kearifan dalam mengurai symbol dan tanda yang diusung dalam setiap perhelatan Pilpres dan atau Pilkada.

Maskun S.H. L.L.M

Lahir di Abeli (Kendari) pada tanggal 29 Nopember 1976. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum UNHAS tahun 1998, S2 pada university of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia tahun 2004 Selain Mengajar, penulis aktif menulis pada beberapa jurnal ilmiah dan surat kabar lokal serta melakukan penelitian baik itu yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian UNHAS, Badan perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar, maupun yang dibiayai oleh institusi lain seperti Institut Pertanian Bogor (2007) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijkan Jakarta (2009). Penulis juga terlibat aktif mengikuti beberapa seminar, simposium, kursus singkat, dan workshop yang dilaksanakan dalam dan luar negeri seperti kursus singkat di Jepang (2006 dan 2008), APEC Worksop di Jakarta (2009). Hal lain yang dilakukan penulis di sela-sela kegiatan sebagaimana telah disebutkan, penulis aktif menjadi pembicara pada berbagai forum ilmiah termasuk didalamnya ketiga penulis menjadi Pembicara pada seminar Internasional via teleconference yang dilaksanakan oleh Asean law Students Association (ALSA) UNHAS, Chuo University Jepang dan Chulalakorn University Thailand tahun 2009 dan 2010. Beberapa karya ilmiah dalam bentuk Buku/buku ajar/diktat adalah Hukum Internasional (2008), Filsafat Hukum (2009) Filsafat Hukum (dari rekonstruksi sabda manusia dan pengetahuan hingga keadilan dan kebenaran) – (2010), dan Pengatar Cyber Crime (2011). Editor pada Buku Karangan Prof. A.M. Yunus Wahid (2011).

You may also like...