Sengketa Internasional di Kawasan Perairan Laut Cina

ABSTRACT

The South China Sea has some of the world’s busiest shipping lanes and is believed to hold huge oil and gas reserves. China claims all of it, while several Southeast Asian nations claim parts.

In the South China Sea, China says the area has “always” been part of China because they had a name for it. And they have produced sup­posedly ancient maps that they con­strue as being maps of China.

The East China Sea is bounded on the east by Kyushu and the Nansei Islands of Japan, on the south by the island of Taiwan, and on the west by mainland China and the Asian continent. It is connected with the South China Sea by the Taiwan Strait and with the Sea of Japan by the Korea Strait; it opens in the north to the Yellow Sea.

There are disputes between the People’s Republic of China (PRC), Japan, and South Korea over the extent of their respective exclusive economic zones.

The dispute between the PRC and Japan concerns the different application of UNCLOS II and UNCLOSE III. China proposed the application of UNCLOS III, considering the natural prolongation of its continental shelf (advocating the possibility of extending it as far as the Okinawa Trough). Japan, based on UNCLOS II, proposed the Median line division of EEZ, which has international legal precedents including the case concerning the Malta-Libyan dispute in 1980.

About 40,000 square kilometers of EEZ are in dispute. China and Japan both claim 200 nautical miles EEZ rights, but the East China Sea width is only 360 nautical miles. China claims an EEZ extending to the eastern end of the Chinese continental shelf (based on UNCLOS III) which goes deep into the Japanese’s claimed EEZ.

 Latar Belakang

Akhir-akhir ini Laut Cina Selatan kembali menjadi wilayah yang memiliki potensi konflik yang cukup besar. Potensi konflik mana tidak saja mempengaruhi stabilitas dan keamanan regional negara-negara yang berada disekitarnya, khususnya Asia Tenggara, tetapi dampaknya cukup luas bagi stabilitas dan keamanan regional kawasan Asia Pasifik. Semua negara yang berada dipinggiran Pasifik Barat baik negara­-negara kecil yang sedang berkembang maupun negara-negara yang sudah maju tetap mempunyai kepentingan yang cukup besar bagi stabilitas dan keamanan regional di Laut Cina Selatan. Karena betapapun juga Laut Cina Selatan, adalah merupakan wilayah jalur laut (sea lane) bagi navigasi internasional dan merupakan wilayah pelintasan (cross Dassage) yang paling ramai. Jalur laut bagi navigasi internasional serta sebagai wilayah pelintasan yang paling ramai di Pasifik ditambah dengan bobot konflik sengketa teritorial yang sarat telah menciptakan kawasan Laut Cina Selatan, merupakan kawasan yang rawan dipandang dari sudut stabilitas dan keamanan regional, baik Asia Tenggara maupun Asia Pasifik.

Empat negara besar yang berada di Pasifik; Amerika Serikat, Uni Soviet, Jepang dan RRC merupakan negara-negara yang mempunyai kepentingan besar di kawasan perairan, Laut Cina Selatan. Amerika Serikat bagaimanapun juga tetap menganggap Laut Cina Selatan sebagai jalur laut penting bagi keamanan kapal-kapal komersialnya maupun kapal-kapal militernya menuju ke Samudera India. Mungkin saja bagi kapal tanker Amerika Serikat yang mengangkut minyak dari Teluk Persia mengambil rute pelintasan lewat Terusan Zues masuk ke Laut Mediteranian terus ke Atlantik selanjutnya menuju pantai­-pantai Barat Amerika Serikat, namun operasi-operasi armada mereka lebih banyak di Pasifik dan Samudera India. Dua basis angkatan lautnya yang terkenal yaitu Guam di Samudera Pasifik dan Diego Garcia di Samudera India merupakan dua pangkalan yang selalu meminta perhubungan yang ketat dalam rangka mengontrol kedua samudera yang sangat strategic itu. Armada-armada yang berbobot mati dibawah 300.000 DWT tetap memandalkan perairan Laut Cina Selatan sebagai jalur pelintasan militer (sealane of the militery passage)  yang terdekat. Sementara itu bagi Uni Soviet pusat pangkalan armada Timurnya yang berada di Vladivostok hampir setiap, minggu mereka melintasi kawasan Laut Cina Selatan menuju Samudera India dalam rangka perimbangan kekuatan militer lautan di kedua samudera tersebut. Jepang merupakan negara yang paling banyak menggunakan Laut Cina Selatan sebagai navigasi kapal-kapal tankernya yang berlayar dari Teluk Persia menuju ke pelabuhan-pelabuhan pangkalan minyak di Jepang. Jepang memang tetap menggantungkan nafas industri manufakturnya dari suplai minyak Timur Tengah. Akan halnya dengan RRC yang memang telah mengklaim bahwa Laut Cina Selatan itu adalah wilayah teritorialnya dengan berdasar pada klaim se arah.

Selain munculnya berbagai kepentingan, di kawasan perairan Laut Cina Selatan juga yang paling riskan adalah munculnya sengketa perairan teritorial oleh terjadinya tumpang tindih (overlapping area) di kawasan tersebtut. Akibatnya menimbulkan sengketa teritorial. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa teritorial Laut Cina Selatan hampir seluruh negara yang berada di sekitar kawasan tersebut. Yaitu; Vietnam, RRC, Pilipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Bagi Indonesia sengketa Laut Cina Selatan tentu saja sangat berpengaruh bagi posisi strategik ketahanan nasionalnya serta penegakan. Prinsip-prinsip Wawasan Nusantara. Sebab bagaimanapun juga dan berdasar pada pertimbangan-pertimbangan di atas Indonesia tetap mempunyai kepentingan di kawasan perairan yang sangat strategik itu.

Laut Cina Selatan dianggap perairan yang tidak pernah sepi dari sengketa sekalipun negara-negara yang berada disekitar perairan tersebut menilai obsesinya sebagai wilayah bebas, damai dan netral. Wilayah perairan ini dianggap jaga sebagai perairan tak bertuan karena banyaknya klaim tumpang-tindih di atas pulau-pulau kecil, karang dan atol yang bertebaran di perairan ini.

Sesungguhnya di Laut Cina. Selatan terdapat empat gugus kepulauan yang menjadi sengketa yaitu; Kepulauan Macclesfield, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Namun yang paling vokal sekarang dan menjadi masalah internasional hanya dua yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Negara­-negara yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan adalah RRC, Cina Taiwan, Vietnam, Pilipina, Malaysia dan Indonesia. Dalam sengketa Kepulauan Spratly telah melibatkan negara-neggara Pillpina, Vietnam, Cina dan Malaysia. Sedangkan Kepulauan Paracel, telah melibatkan Cina dan Vietnam dalam sengketa.

Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, menjadi titik perhatian internasional karena memang letak kedua kepulauan itu sangat strategis. Keduanya berada pada titik tengah jalur navigasi internasional di Laut Cina Selatan sehingga siapa yang menguasai kedua gugus kepulauan ini berarti akan mengontrol jalur navigasi internasional di Laut Cina Selatan. Tentu saja selain potensil. sebagai jalur laut internasional adalah potensi sumberdaya alamnya yang cukup tinggi seperti minyak dan potensi perikanan.

Gugus Kepulauan Spratly yang oleh Cina disebut sebagai Nansha Chuntao, Vietnam sebagai Truong Sa. Pada akhir tahun 1974 delapan pulau dari kepulauan ini pada bagian Selatan berada dibawah kontrol Vietnam, tiga atau empat dibawah Pilipina. Sedangkan Pulau itu Ada telah menjadi pangkalan Cina. Pada bulan Mei 1975 tentara komunis Vietnam merebut lagi beberapa pulau di Spratly ini. Kepulauan ini terletak kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Laut Kalimantan Utara dan Pulau Palawan Pilipina, dan kira-kira 500 kilometer dari pantai Vietnam bagian Selatan. Jarak antara Spratly dan Paracel kira­kira 700 kilometer, sedangkan jarak Spratly dan Pulau Hainan 1000 kilometer. Kepulauan Spratly ini mempunyai kurang lebih 100 buah pulau, bervariasi, dikuasai Vietnam Cina dan Pilipina Berta Malaysia. Vietnam dan Cina yang paling banyak menghasilkan sengketa di kepulauan ini.

Gagus Kepulauan Paracel, oleh Cina disebut Hsi­sha Chuntao sedangkan oleh Vietnam, disebutnya Hoang Sa. Gugus kepulauan ini berada dibawah kontrol Cina setelah serangannya pada 19 dan 20 Januari 1974 yang mendepak Vietnam keluar dari kepulauan ini. Kepulauan ini terletak antara Pulau Hainan di Teluk Tonkin kira-klra 350 kilometer sebelah tenggara dari pelabuban Yulinkang dari pantai Vietnam Tengah kira-kita 400 kilometer sebelah Timur Da Nang. Luas wilayah kepulauan ini kira-kira 3 kilometer persegi. Dari sudut strategis kepulauan ini panting untuk mengontrol jalur pelayaran utama di Laut Cina Selatan yang merupakan jalur suplai energi dunia dari Samudera India ke Samudera Pasifik. Rute kapal-kapal yang berlayar dari Hongkong ke Singapura melewati antara Kepulauan Paracel dan Kepulauan Macclesfield. Bukan saja dari Hongkong tetapi kapal-kapal lain lewat disini datang dari Vladivostok, Pusan, Yokohama, Shimosheki, Tsingtoo terns ke Singapura selanjutnya ke Selat Malaka dan memasuki Samudera India. Bagi Cina kepulauan ini panting untuk keamanan nasionalnya.

Sementara itu, selain mengangkat permasalahan atas sengketa hukum di perairan teritorial Kawasan Laut Cina maka tentunya menjadi obyek utama pula dalam tulisan ini masalah penerapan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Prinsip-prinsip hukum lain, khususnya Konvensi Jenewa 1958 menjadi bahan perbanding dalam studi ini. Dalam mengkaji sengketa Laut Cina nantinya akan dicoba dianalisa berbagai kasus pulau, kepulauan, laut, selat-selat, teluk dan landas kontinen yang tumpang­tindih di kawasan (overlapping area) . Untuk memudahkan pengkajian dalam studi ini maka kawasan-kawasan yang bersengketa ditelusuri secara khusus. Hal ini dilakukan mengingat begitu luasnya wilayah yang akan dikaji disamping kompleksnya permasalahan. Dalam pengkajian analisa-analisa hukum (laut) internasional memang menduduki porsi yang dominan diberbagai segi, namun tidak berarti persentuhan dengan analisa politik tidak ada. Kasus di Laut Cina memang berbeda dengan kawasan lain, sebab di Laut Cina terdapat kombinasi menarik antara studi sengketa hukum internasional dan politik. Rumitnya penyelesalan sengketa di, Laut Cina karena bukan saja pertentangan wilayah yang saling tumpang-tindih dari dasar tuntutan negara-negara tetapi lebih jauh dari itu pertentangan ideologi yang tajam. Kontroversi perbedaan ideologi dalam sengketa Laut Cina memaksa semua ahli hukum yang melakukan studi atas kawasan itu sukar melepaskan analisa-analisa politik. Sekalipun demikian karena karya ini adalah analisa dalam studi hukum (laut) internasional maka analisa politik sedapat mungkin dikurangi.

SeIain itu dalam obyek penulisan karya ini bertumpu pokok pada dasar-dasar tuntutan wilayah apabila sudah dilakukan pemilahan untuk dikaji. Dasar-dasar tuntutan dapat dilihat pada gambaran berikut; antara Jepang dan Uni Soviet pada Kepulauan Kuril (gugus pulau‑puIau wilayah Utara Jepang), penetapan batas wilayah-tumpang-tindih antara Jepang dan Uni Soviet serta Jepang dan Korea Selatan di Laut Jepang Sementara itu di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi hampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke Kalimantan, mencakup Teluk Tonkin Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Cina (RRC) yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk dalam tuntatan wilayah Cina diatas. Begitupula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Di Laut Cina Timur, tuntutan Cina terhadap Landas kontinen di wilayah ini, menciptakan beberapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas kontinen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Timur pantai Cina wan meluas sampai ke Palung Okinawa (Okinawa Trough), termasuk bagian Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ke tiga negara tersebut. Dalam wilayah ini 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Sengaku yang di persengsetakan oleh Taiwan Jepang dan Cina.

Alinea diatas merupakan landasan utama sebagai obyek studi dalam karya ini. Tentunya masih beberapa lagi yang belum dipaparkan dalam pendahuluan yang sempit ini antaranya masalah timpang-tindih di Laut Kuning (Yellow  yea) yang melibatkan Korea Selatan (Republik of Korea –  RCK) dan, RRC, demikian pula masalah status, wilayah yang unik di Teluk Pohai di bagian Barat. Laut dari Laut Kuning yang melibatkan Korea Utara (Republic Democratic  Korea) dengart RRC.

Metode Pendekatan Dalam Menganalisa Sengketa Laut Cina

Sengketa Laut Cina adalah merupakan sengketa in­ternasional yang didominasi oleh sengketa hukum (legal dispute). Faktor dominan yang mempengaruhi sengketa internasinal di Kawasan Laut Cina adalah sengke­ta hukum laut internasional. Oleh karenanya prinsip-prinsip yang dipergunakan atau yang dijadikan sebagai standar untuk menganalisa sengketa di Laut Cina ada­lah prinsip-prinsip hukum laut internasional ditambah dengan doktrin-doktrin yang sehubungan dengan prinsip itu. Dalam hubungan ini dicoba dikaji materi-materi persengketaan yang dominan banyak mempengaruhi sengketa Laut Cina.

Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya persengketaan antara negara-negara tidak saja dipengaruhi oleh issu persilangan kedaulatan antara negara-negara tetapi issu yang paling dominan adalah issu ekonomi. Issu ini terutama sekali paling banyak melatari sengketa antara negara-negara di lautan. Adalah muskil seka­Ii melakukan penganalisaan atas sengketa hukum laut internasional dengan mengabaikan issu dominan yang berpengaruh di dalamnya yaitu issu ekonomi.

Dalam skala perkembangan hukum laut internasional beberapa kepentingan yang melatarbelakangi timbulmya, persengketaan. Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dikonkulasikan dalam tiga faktor utama yaitu;

Faktor utama dalam bidang ekonomi,

Faktor utama dalam bidang kedaulatan,

Faktor utama dalan bidang sekuriti (ideolo­gi dan politik).

Faktor utama dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari perkembangan tata-aturan dalam hukum laut dengan pengaturan dari rezin ke rezim. Sejarah telah menunjukkan terjadinya kasus yang terkenal da­lam literatur hukum laut inetrnasional yang disebut “Anglo-Norwegian Fisheries Case,” (berdasarkan Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951). Kasus wilayah penangkapan ikan di Laut Utara ini telah menimbulkan aspirasi baru dalam perkembangan hukum laut internasional di kemudian hari. Dari kasus inilah dimulai babab baru dalam penetapan penarikan            batas wilayah laut dengan garis pangkal lurus. Tidak diungkap lebih jauh Kasus Anglo-Norwegian ini disini daripada sekedar mengemukakan bahwa pertimbangan utama dari tuntut-menuntut antara Inggris dengan Norwegia dalam kasus ini adalah pertimbangan ekonomi (sumberdaya perikanan). Demikian pula halnya terhadap penetap­an rezim landas kontinen (continental shelf) yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman dalam tahun 1945 mengenal sumberdaya ekonomi di da­sar laut, dan tanah di bawahnya. Yang paling mengesan­kan dalam perkembangan hukum laut dari segi kepentingan ekonomi ialah apa yang ditetapkan oleh Chili, Ecu­ador dan Peru tahun 1947 mengenal klaim 200 mil, laut yang dikemudian hari menimbulkan inspirasi lahirnya satu rezim hukum yang terbaru dalam sejarah hukum laut yaitu zona ekonomi eksklusif (exclussive economic zone).

Dalam bidang kedaulatan sebetulnya berhubungan langsung dengan perluasan wilayah negara. Dalam seja­rah hukum laut internasional berturut-turut telah terjadi tiga kali perubahan pengaturan dalam penetapan batas-betas kedaulatan laut wilayah. Yang pertana penetapan batas laut wilayah sejauh tembakan merian (canon shot rule)kemudian penetapan batas laut wila­yah sejauh 3 mil laut, (three nautical miles) dengan melingkupi masing-masing daratan pulau atau kepulauan. Teori kedaulatan tiga mil laut ini relatif berta­han cukup lama. Lalu yang terakhir penetapan prinsip kedaulatan negara di wilayah laut dengan 12 mil (twelve nautical miles) dengan prinsip garis pangkal lurus (archipeIacic principle Into the outermost Paint to point).

Sedangkan faktor utama dalam bidang sekuriti (ideologi dan politik) merupakan ciri khusus beberapa kawasan negara-negara yang terlibat dalam sengketa Iaut (caracter of the marine dispute).L Pengaruh ini sebetulnya adalah pengaruh psikologi politik dalam sengketa internasIonal yang banyak sekali mempengaruhi prinsip-prinsip dalam sengketa hukum. Di beberapa sengketa kawasan perairan ciri kekhususan dalam fak­tor sekuriti ini kadang-kadang kurang dominan kalau tidak dapat dikatakan tidak ada. Tetapi hampir semua sarjana yang melakukan studi dalam sengketa Laut Cina cukup mempengaruhi analisa mereka dalam ciri ke­khususan ini (adanya penetapan “Militery Zone” Korea Utara di Laut Jepang dan Cina di Laut Kuning).

Oleh Mochtar Kusumaatmadja ketiga faktor di atas sebetulnya merupakan tindakan atau aksi dalam hukum internasionaI untuk melindungi kepentingan negara-ne­gara di abad pertengahan secara sepihak. Mochtar menuliskan bahwa apabila kita analisa tindakan-tindakan sepihak negara-negara diabad pertengahan maka tindak­an-tindakan yang bertalian dengan laut yang dilakukan itu dapat dapat dikembalikan atau digolongkan dalam tindakan-tindakan penggunaan laut sebagai berikut: 1) Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai ­sumber kekayaan terutana perikanan; 2) tindakan yang menganggap Iaut sebagai jalur proteksi baik ia bertujuan melindungi kepentingan keamanan dan pertahanan, bea eukai, kesehatan dan lain-lain; 3) tindakan yang bertujuan melindungi Iaut sebagai sarana komunikasi .

Ketiga faktor yang pertama itu berbeda dengan ke­tiga faktor yang terakhir sebab selain perbedaan mo­mentum karena ukuran yang dilakukan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah ukuran abad pertengahan yang relatif persoalan hukum laut belum kompleks maka hal lain tuntutan perkembangan dalam ilmu dan teknologi kelautan yang demikian pesat. Ukuran ketiga faktor yang perta­ma adalah ukuran modern di penghunjung abad ke-20. Tuntutan yang paling utama dalam sengketa itu adalah masalah wilayah-wilayah konsesi minyak. Urgensi utama faktor ekonomi yang menyoroti sengketa wilayah Laut Cina adalah tumpang-tindih wilayah-wilayah konsesi minyak. Hampir semua analisa sarjana dalam kasus sengketa Laut Cina tidak bisa mengindahkan masalah sengketa wilayah konsesi minyak ini. Laut Cina dalam dimensi perekonomian memang termasuk wilayah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia. Pertumbuhan itu paling banyak dalam pacuan perkembangan industri manufaktur daripada industri jasa dan ri­ngan (home industry) Dengan demikian memerlukan bahan bakar minyak untuk kebutuhan pabrik-pabrik industrinya yang setiap tahun bertambah. Terutama untuk kebutuhan pabrik-pabrik di negara-negara Soviet-Asia, Jepang, RRC, Korea dan Vietnam. Akibatnya negara-negara ini berlomba mencari ladang minyak dilepas pantai sepanjang kawasan perairan Laut Cina mulai laut Je­pang, Laut Kuning, Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan.

Dari apa yang telah dituliskan di atas pendekatan-pendekatan yang sangat menentukan pada semua analisa adalah doktrin para sarjana. Sebagai salah satu sumbur hukum dalam hukum internasional maka doktrin para sarjana relatif baik untuk dijadikan titik pang­kal penganalisaan lebih lanjut apalagi dalam sengke­ta Laut Cina status wilayah atas beberapa pulau, la­ut dan teluk masih terkatung-katung. Pemilikan atas pulau-pulau masih belum jelas, sehingga argumentasi para ahli dari masing-massing negara yang mengajukaim klaim atas pulau-pulau itu menarik diamati. Demikian pula pernyataan (statement) para pemimpin negara-negara yang bersangkutan. Pandangan ahli terutama sekali cukup menarik pada persepsi mereka terhadap dokumen-dokumen hukum yang telah lahir melandasi status wilayah di Laut Cina itu. Demikian pula mengenai hasil-hasil rumusan Konvensi Hukum Laut Internasional di Jene­wa tahun 1958 dan Konvensi Hukum Laut Internasional di Montigo Bay Jamaica, tahun 1982. Khususnya menarik partisipasi sebagian peserta pada perumusan hasil-hasil konperensi hukum laut pada kedua konvensi tersebut. Terutama di Laut Cina pada Konvensi Hukum. Laut di Jenewa tahun 1958 beberapa negara tidak ikut menan­datanganinya sehingga mempengaruhi klaim atas tuntutan hukum, di perairan kawasan itu. Dua negara yang melaku­kan klaim terbesar di sepanjang wilayah perairan Laut Cina yaitu RRC dan Jepang tidak ikut. dalam konperensi Hukum Laut Internasional 1958 di Jenewa. Khususnya Cina dan ikut menandatangani Konvensi Hukum Laut Inter­nasional 1982 di Montigo Bay, Jamaica, tetapi beberapa sidang konperensi hukum laut ketiga (UNCLOS III) tidak dihadirinya.

Hal-hal inilah sebagai metode utama yang menarik untuk kita paparkan dalam menganalisa sengketa Laut Cina

Pengertian Sengketa, Internasional Dalam Kasus Laut Cina

Sengeta Hukun Internasional.

Sengketa perairan teritorial di kawasan Laut Cina adalah sengketa internasional (international dispute). Oleh karena itu sebelum tiba pada analisa yang lebih jauh mengenai sengketa pera­iran teritorial Laut Cina terlebih dahulu di­ungkap serba sedikit tentang sengketa internasional (International dispute) sebagai pengantar memasuki sengketa perairan-teritorial Laut Cina. Setalah memaparkan secara umum, gambaran sengketa-internasional, kemudian dianalisa, serara khusus model-model sengketa Laut Cina seba­gai obyek pembahasan pokok dalam tulisan ini. Apalagi dalam penyelesaian sengketa internasional Laut Cina mempunyai ciri kekhususan berdasarkan pengamatan para akhli hukum internasional karena merupakan kombinasi penyelesaian sengketa hukum dan politik (to combined both settle­ment disputes Judicial and politic ).

Kesimpulan sementara dari rumusan para akhli mengemukakan bahwa sengketa internasional a­dalah sengketa yang melibatkan antara dua nega­ra atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek yang dipersengketakan pada umumnya dapat berupa masalah kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi dan persaingan dalam bidang ekonomi. Tanpa mengindahkan obyek sengketa internasional maka berdasarkan rumusan yang sempit ini, subyek sengketa internasional adalah negara. Negaralah yang dapat dikategorikan sebagai subyek dalam sengketa internasional. Sekalipun demikian beberapa ahli tetap melibatkan individu atau badan-badan hukum lain sebagai subyek dalam sengketa internasional. Starkemisalnya menuliskan bahwa timbulnya sengketa negara-negara pada umumnya dengan tim­bulnya sengketa antara individu-individu, kecuali akibatnya sengketa pertama dapat lebih ber­bahaya.

Sengketa internasional secara umum terbagi dalam dua jenis yaitu; sengketa dalam hukum in­ternasional (legal dispute) dan sengketa poli­tik (political dispute). Pembagian umum sengke­ta internasional ini sebenarnya merupakan pembagian yang cukup klasik, tetapi bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini Oppenheims-Lauterpach mengemukakan bahwa:

“International differences can arise from a va­riety of grounds. They are generally divided in to legal and political. Legal differences are those in which the parties of the dispute base, their respective claims and contentions on gro­und recognised by International Law. All other controversies are usually referred to as political or as conflicts of interest.”

Lebih jauh dikemukakan:

“Political and legal differences can be settled either by amicable or by compulsive meansMost State have now undertaken wide obligations in sphere of compulsory Judicial settlement.. The majority of then are bound by the obligations of the so-called optional clause of the Statu­te of the International Court of Justice and even more comprehensive commitments. But this instrument do not substantially affect the rule expressly affirmed by the court that no universal international legal duty as yet exist far state or settle their differences through arbitration or judicial process.”

Sebetulnya pandangan Oppenheims Lauterpacht di atas tidak memberi kejelasan yang tepat dimana letak perbedaan antara kedua sengketa hukum dan politik dalam skala internasIonal. Kekaburan yang lama juga dilakukan oleh sarjana-sarjana lain. Dalam praktekpun tergambar secara terang-benderang tentang bagaimana sesungguhnya penyelesaian sengeta menurut hukum (judicial settlement) dan penyelesaian sengketa secara politik. (Political settlement). Jika berpatokan dari cara penye­lesaian untuk mengukur jenis sengketa maka kesu­litan penting dari keduanya karena cara-cara pe­nyelesaian sering terjerumus pada tumpang-tindih keduanya. Apalagi kadang-kadang penawaran penyeIesaian hukum tidak disepakati secara bersama.

Keputusan Mahkamah Internasionalpun sering ti­dak diindahkan oleh salah satu pibak. Sedangkan tindakan kekerasan hanya bisa dilakukan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan menurut penelitian Dewan Keamanan PBB pasal 34:

The Security Counsil may investigate any dispute, or any situation which might lead to inter­national friction or give rise to a dispute, in the order to determine whether the continuance of the dispute or situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security”

Yaitu yang memang benar-benar membahayakan keamanan dan terciptanya perdamaian internasional.

Sekalipun timbul kekaburan dalam menganalisa secara parsial kedua jenis sengketa ini tetap beberapa sarjana mencoba memberinya perbedaan terutama patokan mereka pada tafsiran Piagam PB­B. Sebagaimana dituliskan oleh Starke25 peratur­an-peraturan dan prosedur yang telah diterima oleh hukum internasional berkenan dengan pertika­ian itu sebagian berupa kebiasaan atau praktek dan sebagian merupakan konsepsi-konsepsi yang membentuk hukum seperti Konpensi Den Haag 1899 serta 1907, guna penyelesaian secara damai dari pertikaian-pertikaian internasional (Pacific Settlements of International Disputes) serta Piagam PBB yang dibuat di San Francisco 1945. Pandangan Starke ini kurang lebih banyak dijadikan patokan para ahli berikutnya sebagai sandaran un­tuk menganalisa sengketa hukum internasional u­tamanya kebiasaan-kebiasaan dalan praktek dan konsepsi hukum tentang sengketa internasio­nal.

Apabila diambil pedoman pandangan di atas maka terutana dalan praktek dan konsepsi hukum landasan pokok yang pada umumnya dijadikan patokan para ahli untuk menganalisa sengketa hukum internasional adalah pasal.33. Bab VI Piagam PBB :

The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution- by, negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice,” (ayat 1).

Patokan pasal 33 ayat 1 ini merupakan landasan secara umum dari keseluruhan Bab VI Piagam PBB yang disebutnya Penyelesaian Sengketa Secara Da­mai (Pacific Settlement of Dispute), dan menjadi analisa panjang para ahli.

Yang cukup mengesankan dari analisa-analisa para ahli hukum internasional adalah ditariknya semua konsepsi pasal 33 ini sebagian cara penyelesaian menurut hukum, tanpa mengindahkan bahwa terdapat anak kalimat dalam pasal ini mengenai penyelesaian secara hukum (judicial settlement). Dalam praktekpun seringkali beberapa unsur dalam pasal 33 diwarnai dengan “Solusi politik”. Terutama sekali dalam hal “seek a solution by negotiation and mediation”‘ kadang-kadang negara-negara yang menjadi penengah sering “berpihak,”. Contoh, kedudukan Amerika Serikat dalam menyelesaikan Perang Arab-Israel. Pandangan ini sesungguhnya cukup kontroversial karena dominasi penyelesaian, sengketa secara damai dianggap pula sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.

Jika semua unsur yang terdapat dalam pasal 33 Piagan ini diterima sebagai patokan penyelesaian merurut hukum (judicial settlement) yang berarti timbulnya sengketa internasional yang berpatokan pada pasal ini, lalu sengketa politik itu bagaimana ?

 Sengketa Politik Internasional

Tentang sengketa politik ini menarik dikemu­kakan catatan kaki; (footnotes) dari’ Oppenheims Lauterpacht bahwa sengketa politik apabila dipe­ngaruhi oleh tiga kategori persengketaan yaitu:

1)    It may be based on the view that some dispu­tes or political or, non-justiciable because owing to the defective development of Inter­national

Law they can not be decided by existing rules of law;

2)    It may be grounded in the opinion that certa in disputes are “political”  inasmuch as they affect so vitally the independence and sove­reignity of States as to render unsuitable a decision based exclusively on legal conside­rations,

3)    It may have reference to the attitude of the partly putting forward a claim or a defence

Dengan demikian kiranya semua unsur yang tidak termasuk dalam kategori penyelesaian hukum di­anggap sebagai sengketa politik. Dalam sengketa mengenai status kedaulatan negara kadang-kadang secara “politis” negara-negara yang bersengketa menempuh penyelesaian sendiri secara sepihak sebagai alasan untuk keutuhan wilayah dan kemanan nasionalnya. Oleh patokan Oppenheims-Lauterpacht inilah yang dijadikan acuan sarjana-sarjana berikutnya yang pada umumnya menganggap bah­wa sengketa dengan jalan kekerasan adalah seng­keta politik. Kekerasan tentunya dilakukan secara sepihak atau bersama-sama negara seide tanpa melibatkan negara lain sebagai lawan sengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara militer sepihak dianggap jalan “politik” bukan hukum. Yang menarik lainnya dalam analisa Oppenheims Lauterpacht adalah apa yang ditulisnya tentang “a claim for a change in the law are disputes as to ‘conflicts of interest, and as such political and non-justiable.” Dengan demikian sua­tu tuntutan yang tadinya dalam kategori sengketa hukum dapat berubah menjadi ‘konflik berdasarkan keinginan sendiri’ dan dengan demikian terjerumus menjadi sengketa politik. Sebagai contoh kasus Teluk Sidra di Laut Tengah (Mediteranean) yang sebetulnya merupakan kasus hukum tetapi berubah menjadi sengketa politik (conflict of in terest) karena masing-masing pihak, baik Lybia maupun Amerika Serikat ingin menyelesaikan de­ngan caranya sendiri-sendiri. Kadang-kadang suatu konsepsi hukum hanya dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik apabila masing-masing negara teIah terjerumus ke dalam suatu konflik. Amerika Serikat misalnya hanya menjadikan pasal 10 ayat 4 dan 5 Konvensi Hukum Laut seba­gai dalih untuk menyerang Lybia dalam kasus Te­luk Sidra. Dengan demikian perubahan solusi da­ri hukum ke politik  sangat berpengaruh dalam suatu. sengketa.

Di Laut Cina pengaruh perubahan solusi se­macam itu sangat potensial. Pengamatan-pengamat­an para ahli memperhadapkan kita pada pengana­lisaan yang sama membingungkannya. Konteks penyelesaian hukum dalam praktek lebih nihil dibanding penyelesaian politik. Realitas politik, dalam penyelesaian sengketa di kawasan tampak lebih dominan. Seperti telah dikemu­kakan dalam bab pendahuIuan bahwa di Laut Cina selain masalah sengketa yurisdiksi negara-nega­ra telah diperparah juga dengan perbedaan Ideo­logi politik dari negara yang saling bersenge­ta. Persengetaan dengan dasar ideologi mempengaruhi seputar kawasan yang membentang dari Selat Proliv-Semenanjung Kamchatca di Utara Timur Laut sampai ke kizaran Kepulauan Spratly di La­ut Cina Selatan. Seperti telah diketahui bahwa ideologi yang saling berhadap-hadapan di sepan­jang kawasan Laut Cina adalah dasar ideology sosialis-komunisme dan kapitalis-liberalisme. Persilangan dasar ideologi ini banyak berpenga­ruh terhadap keseluruhan implikasi perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik.

Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah terdapatnya persi­langan sengketa dasar ideologi politik ini pada sepanjang garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F. Kennan mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut “Rimland Theory” (teori daerah pinggiran). Teo­ri ini mengemukakan bahwa pengaruh-pengaruh po­litik dasar pantai di Laut Cina (coastline political influences) sangat bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position approach) dimana akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi daratan ini terda­pat negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan Laut Kuning; Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina Timur sampai di Laut Cina Sela­tan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialis-komunisme. Se­dangkan sisi yang satunya lagi yaitu pendekatan dalam posisi kepulauan (archipelago position ap­proack) dimana akar kapitalis-liberalisme bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat negara­-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Je­pang dan Laut Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur; Negara Kepulau­an Hongkong dan Macao di Laut Cina Timur. Kepula­uan Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan i­ni menganut paham non-komunis.

Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa pemerintahan Presiden Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang terkenal dengan sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha membendung pe­ngaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah kepulauan di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut Jepang membentang sam­pai di Laut Cina Selatan. Akibat adanya pagar pembendungan politik ini tidak ayal lagi menim­bulkan banyaknya insiden politik dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara spora­dis dan terus-menerus dari satuan-satuan angka­tan laut dan udara Uni Soviet memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Je­pang. Klaim Uni Soviet atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau Hokaido dan Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara Pulau Honsu dan Pulau Hokaido) dan Selat Tsushima (yang menghubungkan an­tara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan Pulau Shikoku) yang menganggap ketiga selat itu adalah selat internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik karena hanya pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa Iewat memasuki Samudra Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini adalah meletusnya Perang Vietnam ta­hun 1967 sampai dengan kekalahan Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai insiden politik dan militer yang paling berdarah dan paling bersejarah di Asia Pasifik dan Timur Jauh.

Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah Perang Vietnam. Terjadi konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubah­an alur ini membuat Amerika Serikat mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari strategi Amerika Serikat di Asia Tengga­ra. Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hu­bungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-Communique (Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:

  1. Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional;
  2. Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni semacam itu;
  3. Tidak satupun diantara mereka bersedia berun­ding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau ma­suk kedalam persetujuan-persetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujuk­an kepada negara lain;
  4. Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina;
  5. Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hu­bungan Cina-Amerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia.

Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komu­nike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Sta­tus Taiwan yaitu:

  1. There is but one China, and Taiwan is part of China;
  2. The Chinese on both sides of the Taiwan Stra­it should resolve their dispute peacefully;
  3. U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purpo­ses only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.

Melihat kedua komunike di atas maka terdapat gan­jalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-menerus menuntut agar Tai­wan diserahkan pada Cina.

Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan antara ke­dua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melan­carkan penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Ton­kin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan anta­ra Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.

Berdasarkan beberapa pemikiran di atas meru­pakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang sering­kali status hukumnya tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penye­lesaian sengketa di Laut Cina.

Gambaran Umum Sengketa Perairan Teritorial Laut Cina

Keadaan Wilayah

Sebelum meninjau sebegitu jauh tentang kea­daan wilayah di Laut Cina maka menarik untuk digambarkan secara sepintas tentang pengertian Laut Cina dari sudut pandangan pergolakan politik (sengketa politik) dan Laut Cina dari su­dut pandangan sengketa hukum laut.

Laut Cina dari sudut pandang politik ada­lah merupakan bagian dari keseluruhan studi A­sia dalam pergolakan politik. Pembagian Asia, berdasarkan pendekatan-pendekatan politik (Asia Studies) sama halnya dengan pendekatan-pendekatan budaya sudut studi ketimuran (Oriental Studies). Kalau dalam studi ketimuran terbagi dalam Timur Dekat (Near-East). Timur Tengah (middle-East) dan Timur Jauh (Far-East) maka dalam Skala Asia terbagi dalam Asia Barat (West Asia), Asia Selatan (South Asia). Asia Tenggara (South­east Asia) dan Laut Cina (East Asia). Asia Barat (West Asia), yang dipengaruhi oleh latarbela­kang kebudayaan Sungai Tigris dan Eufrates terdapat gugus negara-aegara Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, Jordania, Turki. Israel. Qatar, Yaman (Uta­ra-Selatan), Iran dan Irak. Asia Selatan (South Asia) yang dipengaruhi oleh latarbelakang kebu­dayaan Sungai Hindi terdapat gugus negara-nega­ra India, Caylon, Nepal, Pakistan, Banglades dan Afghanistan. Asia Tenggara (Southeast Asia) yang dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan Sungai Mekong dan Melayu-Malanesia terdapat gugus negara-negara Indonesia, Pilipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos dan Kamboja. Dan yang terakki-r Laut Cina (East Asia) yang di pengaruhi oleh latar belakang kebudayaan Sungai Kuning terdapat gugus negara-negara Cina (RRC) Jepang, Korea (Utara-Selatan), Taiwan, Hongkong dan Macao.

Dengan demikian ukuran-ukuran wilayah Laut Cina dalam pengertian politik hanya nencakup tiga wilayah peraira. yaitu Laut Kuning. (Yellow sea). Laut Cina Timur (East China Sea), dan Laut Jepang (Sea of Japan), dengan mengindahkan ­Laut Cina Selatan (South China Sea). Padahal da­lam studi sengketa hukum laut internasional me­nyangkut wilayah Laut Cina mencakup sepanjang wilayah Timur Uni Soviet sampai dengan Semenanjung Vietnam dan Kepulauan Pilipina di Asia Tenggara (dalam ukuran politis). Karena tulisan ini adalah sengketa dalam hukum laut maka tentunya pengertian Laut Cina yang dianut dalam tulisan ini adalah pengertian Laut Cina menurut ukuran dalam studi sengketa hukum laut.

Luas wilayah sengketa di Laut Cina mencakup 5.400.000 kilometer persegi. Wilayah itu men­bentang dari ujung Selatan Semenanjung Sakhalin dan Kamchatea di Utara Timur Laut sampai dengan gugus Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Perincian wilayah sengketa tersebut sebagai berikut; Laut Jepang dengan wilayah sengketa seluas 900.000 kilometer persegi yang membentang dari Semenanjung Kamchatca di Utara sampai ke pintu Laut Jepang di Selatan yaitu Selat Tsushima. Laut Kuning dengan luas wilayah sengketa 400.000 kilometer persegi yang membentang dari sepanjang sisi Selatan Tenggara Semenanjung Liao-Tung dan Delta Sungai Yalu di Teluk Po Rai sampai ke gugus Kepulauan. Sohuk­san (Sohuksan-Do,) yang terletak antara Semenanjung Kiang-su di daratan Cina dan Palau Cheju (Cheju Do) di Korea Selatan. Laut Cina Tiamur de­ngan luas wilayah 700.000 kilometer persegi-menmbentang dari Selat Tsushima-Pulau Cheju-Kepulau­an Sohuksan sampai ke Teluk Bashi. (Bashi Channel) sebelah Tenggara Pulau Formosa. Sedangkan Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah perairan yang terluas di Laut Cina luas wilayahnya 3.400.000 kilometer persegi yang membentang dari gugus Kepulauan Pratas. (Pratas Islands-Tsungsha Chuntao) di Utara membujur sampai ke gugus Kepulauan Spratly di Selatan.

Dari keempat laut yang luasnya 5,4 juta kilo­meter tersebut bertebaran kurang lebih 124.000 pulau-pulau, kepulauan karang dan gugusan-gugusan yang tidak berpenghuni kurang lebih 200 teluk dan 100 buah selat.

Letak keempat laut di wilayah Laut Cina itu pun mempunyai ciri dan karakter tersendiri-sendi­ri. Laut Jepang mempunyai kedalaman rata-rata 100 sampai 200 meter merupakan laut yang mempunyai kedalaman yang tertinggi diantara keempatnya. Karena kedalaman yang demikian dan wilayah pesisirnya ba­nyak karang dan atol maka wilayah Laut Jepang sangat potensil dengan sumber daya perikanan teruta­ma di wilayah perairan Laut Jepang bagian Utara. Selain bagi potensi militer (terutana untuk Uni Soviet) maka Laut Jepang sangat memungkinkan diseli­weri oleh papal-kapal selam (sea laumched). Laut Kuning berbeda dengan Laut Jepang karena laut hanya mempunyai kedalaman rata-rata antara 50-100 meter dan mempunyai landas kontinen yang Iuas se­hingga pertikaian tumpang tindih wilayah (overlap­ping area) sangat banyak di laut ini. Apalagi Laut Kuning potensil dengan hasil-hasil dari pertambangan minyak. Hampir sebujur Laut Kuning ini terdapat wilayah-wilayah konsesi minyak. Laut Cina Timur  ke dalamannya sangat bervariasi rata-rata antara 50-100 meter dan 100-150 meter dan juga mempunyai co­rak alamiah menyerupai Laut Kuning dengan landas­ kontinennya serta mempunyai hasil minyak yang ba­nyak serta ditambah sumber daya perikanan. Laut Cina Selatan karena mempunyai wilayah yang demikian luas maka corak alamiahnya berbeda-beda. Pada bagian Utara terdapat kedalaman rata-rata di atas 150 meter sedangkan bagian selatan rata-rata antara 50 sampai dengan 100 weter. Selain potensi minyak dan kekayaan perikanan maka wilayah ini menjadi re­butan karena sebagai wilayah rute suplai energi minyak dari ladang-ladang minyak di Timur Tengah ke negara-negara industri di Kawasan. Laut Cina.

Di wilayah perairan Laut Cina terdapat empat gugus kepulauan besar yang mempunyai potensi persengketaan terbesar. Gugus-gagus kepulau­an itu adalah gugus Kepulauan Kuril (Kurile Is­lands) di wilayah perairan Laut Jepang, gugus Kepulauan Ryukyu (Ryukyu Islands) di perairan. Laut Cina Timur gugus Kepulauan Paracel (Para­cel Islands) di Laut Cina Selatan dan gugus Ke­pulauan Spratly (Spratly Islands) juga diperai­ran Laut Cina Selatan.

Gugus Kepulauan Kuril, (Kurile Islands) oleh Uni Soviet diberi nama Kurilskiye Ostrova se­dangkan oleh Jepang diberi nama Chishima-Retto. Gugus Kepulauan Kuril mempunyai kurang lebih 56 pulau-pulau dan beberapa pulau-pulau kecil, ka­rang dan atol. Bagi Uni Soviet kepulauan ini masuk dalam Sakhalin Oblast (wilayah administrasi Sakhalin), sebelah Timur Jauh Republik Soviet Sosialis Rusia. Kepulauan ini membentang sepanjang 750 mil atau 1200 kilometer dari ujung bagian Selatan dari Semenanjung Kamchatka ke sebe­lah Utara Timur Laut dari pulau Hokaido dan memisahkan antara Laut Okhotsk (Sea of Okhotsk) dan Samudra Pasifik. Luas wilayah Kepulauan Kuril ini 6000 mil) persegi atau 15.000 kilometer perse­gi. Pulau-pulau besar dan terpenting yang membentang dari Utara ke Selatan yaitu : Shumushu, Paramushiro, Onnekotan, Shasukotan, Shimushiru, Matua, Ketoi, Uruppu, Etorofu, Shikotan dan Kunashi­ri. Keunikan dari kepulauan ini ialah karena wlilayah ini merupakan rantai bagian daerah siklus yang tidak stabil secara geologis di Pasifik. Kepulauan Kuril mempunyai banyak gunung api yang masih aktif. Ada kurang lebih 100 gunung api dan 38 buah diantaranya yang paling aktif. Kuril mem­punyai banyak puncak gunung yang tingginya rata-rata diatas 3000 kaki. Yang tertinggi diantaranya ialah Gunung Chachanobori di Pulau Kunashiri tingginya 7382 kaki. Dengan potensi gunung api maka kepulauan ini banyak mengandung sulphur sumber-sumber air panas dan dari retakan-retakan gunung api menghasilkan pancaran uap air panas dan asap. Hutan bambu dan pohon kani koniferus merupakan hasil pepohonan di kepulauan itu, sedangkan jenis-jenis binatang yang banyak mendiami kepulauan itu adalah beruang, musang dan rubah. Perikanan merupakan sumber yang subur untuk suplai minyak ikan, ikan kering serta banyak an­jing laut. Ikan paus, ikan, kayu, pertambangan sulfur adalah merupakan hasil pokok di Kepulauan Kuril. Gelombang musim panas, gempa bumi dan a­rus gelombang pasang merupakan kejadian sehari-hari di sepanjang kepulauan itu. Sepanjang kepa­lauan merupakan mata rantai paralel dari landasan Pasifik yang disebut Palung Kuril. Kanchatca de­ngan kedalaman kurang lebih 34.586 kaki atau 10.542 meter, adalah merupakan palung yang terdalam di dasar Pasifik. Iklim rata-rata sepanjang tahun adalah dingin, dingin dengan hujan salju musim basah dan musim panas yang berkabut. Sayur-mayur dan padang rumput terbanyak di kepulauan bagian Utara sedangkan bagian Selatan adalah hu­tan-hutan. Jenis-jenis ikan yang terbanyak pulau adalah kepiting dan udang laut. Kota terbesar di Kepulauan Kuril adalah kota Kurilsk di Pulau Etorofu, yang merupakan pulau terbesar dan kota lainnya adalah Severo-Kurilsk di Pulau Paramushiro. Suhu di kepulauan itu rata-rata 160C. Pada bulan Agustus 70C. pada bulan Februari hujan salju turun paling banyak yang mana berlangsung setiap bulan dari akhir September sampai dengan permulaan bulan Juni salju bisa mencapai 6,15 kaki kedalamannya. Angin bertiup sangat kencang dan mencapai hampir 46 km perjam. Menurut beberapa ca­tatan Kepulauan Kuril banyak terdapat burung-bu­rung banyak diantaranya sering pula berpindah-pindah. Rata-rata pulau-pulau dipisahkan oleh selat-selat yang dalam yang terdalam diantaranya yaitu Selat Bussol kurang lebih 6.600 kaki dan, Selat Kruzen Shterua kira-kira 5.940 kaki. Per­lu dicatat bahwa empat gunung api tertinggi yaitu Gunung Api Alaid di Pulau Atlasova tingginya 7674 kaki yang sering meletus sejak tahun 1778, Gunung Tyatya di Pulau Kunashiri tingginya 5978 kaki, Gunung Fuss di Pulau Paramushiro tingginya 5814 kaki dan Gunung Sorycheva di Pulau Matua tingginya 4908 kaki yang telah meletus tahun 1946. Gempa bumi umumnya terjadi disertai gelombang pasang. Gelombang pasang rekord terjadi tahun 1737 mencapai ketinggian 210 kaki. Walaupun banyak juga musim panas di kepulauan itu tetapi beberapa pulau sama sekali tidak dihinggapi musim panas.

Gugus Kepulauan Ryukyu, oleh Jepang disebut­nya sebagai Pyukyu-Retto atau Nansei-Shoto, oleh Cina disebutnya sebagai Kepulauan Liu-chiu. Kepulauan Ryukyu ini membentang sepanjang 6,50 mil atau 1050 kilometer antara Pulau Kyushu bagian paling Selatan dari keempat pulau Jepang sampai ke Pulau Formosa (Cina-Taiwan). Kepulauan Ryukyu memisahkan antara Laut Cina Timur dari Samudra Pasifik. Luas kepulauan ini adalah 1338 mil atau 3465, kilometer persegi. Kepulauan Ryukyu terbagi dalam tiga gugus kepulauan (yang dalam bahasa Jepangnya gunto), dengan jumlah total penduduk (menurut sensus tahun 1965) adalah 1720.369 orang. Ketiga gugus kepula­uan itu ialah gugus kepulauan bagian Utara yaitu Kepulauan Amami dengan jumlah penduduk 186.193 termasuk pulau-pulau Tokara. Gugus kepulauan bagian tengah ialah Kepulauan Okinawa dengan jumlah penduduk 812-339 termasuk pulau Okinawa, Iheya, Pulau Kerama, Pulau Ie dan Pulau Kume. Gugus ke­pulauan bagian Selatan ialah Kepulauan Sakishima dengan jumlah penduduk 121.837 terdapat grup pulau-pulau dan Miyako dan tersebar beberapa grup pulau-pulau kecil, satu kelompok diantaranya ialah Kepulauan Senkaku (Tiaoyutai) yang juga di­klaim oleh Cina. Okinawa merupakan pulau terbesar dan mempunyai penduduk yang terbanyak di Kepulauan Ryukyu. Naha yang terletak di Pulau Okinawa itu merupakan kota terbesar di Ryukyu dan menpunyai pelabuban serta pangkalan angkatan laut Amerika Serikat. Iklim di Ryukyu adalah iklim subtropik. Temperatur suhu sepanjang tahun rata-rata 210C dan hujan turun sepanjang tahun rata-rata 84 in­ci atau 2100 millimeter. Pada musim panas angin Topan yang merusak sering datang melanda kepulauan ini. Harimau, ular berbisa, babi hutan dan kelinci hitam merupakan margasatwa yang hidup di sepanjang kepulauan ini. Pertanian adalah merupakan pencaharian pokok penduduk terutama hasil-hasilnya seperti padi, pisang, bit gula, kecap dan kentang. Perikanan sudah merupakan industri uta­ma. Pabrik di kepulauan ini telah berdiri terutama untuk industri makanan, pakaian, keramik dan hasil-hasil tembakau. Dengan basis militer Amerika Serikat mempercepat pertumbuhan ekonomi di Okinawa. Penduduk Kepulauan Ryukyu menyerupai ciri-ciri pisik orang Jepang lainnya. Tetapi baha­sa orang-orang Ryukyu banyak berbeda dengan orang-orang Jepang. Sistem pendidikan mengikuti pola pendidikan Jepang. Universitas Ryukyu di Okinawa merupakan universitas yang telah berdiri se­jak tahun 1950 atas bantuan Amerika Serikat. Okinawa menjadi basis penting militer Amerika Seri­kat dalam perang dunia II. Selama perang dunia II lebih dari 100.000 prajurit Jepang dan 12.000 tentara Amerika gugur di pulau ini. Sesudah perang dunia II Ryukyu berada dibawah administrasi Amerika Serikat dan Okinawa dibangun menjadi pusat strategi pangkalan angkatan udara. Okinawa kembali menjadi pusat pangkalan angkatan laut dan uda­ra pada operasi perang Vietnam pertengahan tahun 1960-an. Sebetulnya militer Amerika telah memberi kemajuan berarti bagi kepulauan ini namun pihak oposisi di Ryukyu dan Jepang, menentang kehadiran militer Amerika itu. Pada 15 Mei 1972 Okinawa dan pulau-pulau-Ryukyu lainnya yang masih dibawah administrasi Amerika Serikat telah djkembalikan se­penuhnya dibawah pengawasan Jepang. Amerika Seri­kat hanya melanjutkan kontroI basis dan fasilitas, militernya berdasarkan perjanjian keamanan Jepang Amerika Serikat, kebutuhan itu dilakukan Amerika Serikat untuk membantu serta melatih prajurit-prajurit Jepang. Dengan demikian suatu saat Jepang bisa mempunyai daya tangkal menangkis serangan dari luar dan Jepang bisa mandiri di bidang pertahanan.

Tentang gugus Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly berbeda dengan kedua kepulauan yang kita sebutkan diatas, Kepulauan Kuril dan Kepulauan Ryukyu. Kedua kepulauan ini berada di Laut Cina Selatan dan keduanya mempunyai corak dan keada­an wilayah yang sama karena keduanya berada pa­da iklim tropik. Temperatur rata-rata sepanjang tahun di wilayah ini adalah bervariasi antara 15 dan 280C. Hujan turun rata-rata 2500 millimeter. Tumbuhan utama di kepulauan ini adalah kelapa, pohon minyak kayu putih, jenis buah-buahan seperti apel dan pisang. Kepulauan ini mempunyai ha­sil ekonomi yang penting dibidang perikanan, selain guano (sejenis pupuk dari kotoran burung). Sedangkan hasil perikanan terpenting pada kedua gugus kepulauan di Laut Cina Selatan ini ialah daging ikan (yang mempunyai nilai gizi yang tinggi), sotong, teripang, kerang-kerangan, penyu, dan tiram. Pada kepulauan ini para nelayan sering pula menjaring burung yang dagingnya merupakan makanan kesukaan bagi rata-rata penduduk di Laut Cina. Hal yang paling utama dari kedua pulau ini karena landas kontinennya mengandung sumber-sumber minyak yang sangat kaya dan merupakan sumber ekonomi penting. Dari sudut strategis maka kedua kepulauan ini penting untuk mengontrol jalur pelayaran utama yang merupakan ja­lur suplai energi dunia dari Samudra India ke Samudra Pasifik. Terutama, Kepulauan Paracel sebab kapal-kapal yang berlayar dari Hongkong ke Singapura melewati antara Kepulauan Paracel dan Kepulauan Maclesfield. Bukan saja dari Hongkong tetapi kapal-kapal lain lewat disini datang dari Vladivistok, Pusan, Yokohama, Shimonosheki, Tsingtao terus ke Singapura selanjutnya ke Selat Malaka dan memasaki Samudra India. Bagi Cina ke­pulauan ini penting bagi keamanan nasionalnya.

Gugus Kepulauan Paracel, oleh Cina disebutnya Hsi-sha Chuntao, oleh Vietnam disebutnya Hoang Sa. Gugus kepulauan ini berada di-bawah kontrol Cina ­setelah serangannya pada 19 dan 20 Januari 1974 yang mendepak Vietnam keluar dari kepulauan ini. Kepulauan ini terletak antara Pantai Pulau Hainan di Teluk Tonkin kira-kira 350 kilometer sebelah Tenggara dari pelabuhan Yulinkang dan pantai Vietnam Tengah kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Da Nang. Luas wilayah kepulauan ini kira-ki­ra 3 kilometer persegi. Kepulauan Paracel ini terbagi dalam dua gugus kepulauan yaitu gugus Kepulauan Amphitrite yang terletak pada bagian Timur Laut mempunyai 7 buah pulau, Gugus Kepulauan Spratly, oleh Cina disebutnya sebagai Nansha Chuntao, Vietnam sebagai Truong Sa. Pada akhir tahun 1974 delapan pulau dari kepulauan ini pada bagian Selatan berada dibawah kontrol Vietnam, tiga atau empat dibawah Pilipina. Sedangkan Pulau itu. Aba telah menjadi pangkalan Cina-Taiwan. Pada bulan Mei 1975 tentara komunis Vietnam merebut lagi beberapa pulau di Spratly ini. Kepulauan ini terletak kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Laut Kalimantan Utara dan Pulau Palawan Pilipina dan ki­ra-kira 500 kilometer dari pantai Vietnam bagian Selatan. Jarak antara Spratly dan Paracel kira-kira 700 kilometer, sedangkan jarak antara Spratly dan Pulau Hainan-Cina 1000 kilometer. Kupulauan Spratly ini mempunyai kurang lebih 100 buah pulau-pulau bervariasi dikuasai oleh Vietnam, Cina (Taiwan) dan Pilipina. Pulau-pulau penting diantaranya North-East Gaya (Pei-tzu-tao), kira-kira panjang 1 kilometer dan lebar 400 meter merupakan pulau berpadang rumput dan basah dengan pepohonan setinggi antara 6 sampai 9 meter. Thitu Island pandang 1,5 kilometer, lebar 1 kilometer merupa­kan pulau padang rumput, dan semak belukar serta pohon kelapa dan pulau ini bagian wilayah Pilipi­na. Sandy Gay nerupakan pulau kecil yang tidak a­da tumbuh-tumbuhan. Loai Ta Island ditumbuhi hu­tan mangrove, kelapa dan tumbuhan basah lainnya. Pulau itu Aba pandang dan kira-kira 1 kilometer dan lebar 400 meter, ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan­ yang pendek dan subur, sampai akhir perang Viet­nam pulau ini dikuasai oleh Republik Vietnam. Amboyna Gay terdiri dari pantai berpasir putih dan batu-batu diliputi oleh guano.

Hanoi menguasai gugus Kepulauan Spratly de­ngan suatu penyerbuan besar-besaran segera sete­saigon jatuh pada tahun 1975. Vietnam menguasai Palau Spratly sendiri yang kemudian memberinya nama Vietnam Dao Truong Sa dan gugus pulau Gay Baratdaya yang diberinya nama Vietnam sebagai Tu Tay atau Pugad. Tadinya kedua pulau ini Pulau Spratly, dan Pulau Gay Baratdaya (Southwest Cay) dikuasai oleh Cina. Pada bulan Juni 1975 Vietnam melakukan operasi besar-besaran dengan nama san­di “Operasi Pembebasan Pulau Kita” dengan menge­rahkan lebih 10.000 pasukan terdiri dari angkat­an laut, darat dan udara dan menjarah serta mengusir pasukan-pasukan Cina dari sana. Setelah itu kembali membebaskan Pulau Sandy Gay yang berada di sebelah Selatan itu Aba, kemudian membebaskan pulau-pulau Sin Cowe dan Nam Yit.

Setiap tahun sekolah staf komando militer Vietnam selalu mendapat pendidikan khusus untuk indoktrinasi peta militer Spratly. Dalam peta militer Vietnam menunjukkan kontrol atas pulau­-pulau dan karang di wilayah ini yang mana Viet­nam memasukkan juga gugus Kepulauan Kalayan (Spratly Barat) yang diklaim oleh Pilipina seba­gai kedaulatan Vietnam. Selain itu, dalam gambar peta militernya Vietnam mengklaim juga gugus ke­pulauan yang dikuasai Pilipina yaitu Kepulauan Ladd Reef dan Owen Shoal dan semua pulau karang yang jauh dari Pulau Spratly.

Menurut laporan intelijen Barat, empat pulau yang dikuasai oleh. Vietnam yaitu Pulau Spratly, Southwest Cay, Nam Yit dan Sin Cowe telah diba­ngun instalasi-intalasi militer dan radar pengintai pesawat yang lewat di Laut Cina Selatan, juga membangun basis senapan mesin otomatis serta pos­-pos observasi minter. Di Pulau Spratly sendiri telah dibangun pangkalan udara lengkap dengan peralatan instalasi dan pengintaian moderen, pusat-pusat pengembangan militer Laut Cina Selatan dan menara komunikasi pengintai dalam radius sepanjang jalur Laut Cina Selatan. Pasilitas pembangunan pangkalan militer ini dilengkapi dengan akomodasi untuk teke off dan landing untuk berbagai jenis ­pesawat tempur yang dimiliki Vietnam. Peta mili­ter Vietnam menunjukkan berbagai kegiatan pemba­ngunan instalasi di seluruh pulau seperti lokasi penempatan senjata penembak moderen yang bisa menghancurkan kapal selam, juga penembak penang­kis udara. Pangkalan-pangkalan kecil lainnya di­bangun di 55 pulau dan karang, sangat penting sebagai basis angkatan laut. Pulau Spratly memang sedang dipersiapkan sebagai pangkalan militer besar seperti. Da Nang dan Teluk Cam Ranj. Tentunya pembangunan ini mendapat dukungan Uni Soviet karena pangkalan Spratly in nantinya bisa menjadi basis kapal induk Uni Soviet. Para ahli strategi Barat menjuluki. Kepulauan Sprtaly ini sebagai the Dangerous archipel and grounded. (tanah dan kepulauan yang berbahaya). Beberapa ahli menilai bahwa apa­bila pangkalan Spratly ini sudah menijadi basis militer Vietnam dan Uni Soviet dikhawatirkan sepa­ratisme komunis ke Asia Tenggara dan Pasifik Sela­tan dan Pasifik Barat Daya akan diekspor dari gugus kepulauan ini. Pada gilirannya nanti Kepulau­an Spralty merupakan wilayah yang banyak mempengaruhi pola perimbangan kekuatan militer di Asia Tenggara dan Pasifik.

Selain keempat kepulauan sengketa di atas (Ku­ril, Ryukyu, Paracel dan Spratly) masih ada beberapa kepulauan panting lainnya yang menjadi sengketa antaranya Kepulauan Danjo, Kepulauan Senkaku di Laut Cina Timur dan Kepulauan Pratas, Maclesfield Bank di Laut Cina Selatan (lihat gambar 1) .

d.2. Dasar Sengketa Wilayah

Seperti telah diketahui, Konperensi Hukum Laut 1958 telah menghasilkan landas kontinen yang memberikan hak sepenuhnya kepada negara pantai untuk mengadakan eksploitasi dan eksplorasi sumber-sumber kekayaan alamnya. Sejak konvensi ini dihasilkan sampai tahun 1960 tidak ada suatu negarapun yang mengadakan tuntutan terhadap landas kontinen wilayah-wilayah di Laut Cina. Tetapi setelah dikeluarkannya laporan dari ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far Fast) yang menyatakan bahwa landas kontinen antara Taiwan dan Jepang merupa­kan salah satu sumber minyak yang paling kaya di dunia timbullah tuntutan-tuntutan terhadap lan­das kontinen di Kawasan Laut Cina. Negara-negara Cina (IRRC), Taiwan dan Jepang merupakan salah sa­tu sumber minyak yang paling kaya. Demikian pula Korea Selatan, Korea Utara, Vietnam telah menyatakan tuntutannya terhadap dasar laut di Laut cina Selatan dan Laut Cina Timur. Akibatnya terjadi wilayah tumpang-indih yang merupakan sumber per­sengketaan diantara negara-negara di kawasan ini.

Di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi hampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke pantai Kalimantan, mencakup Teluk Ton­kin, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Gina yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef, di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk ke dalam tuntutan wilayah Cina di atas. Begitu pula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Secara keseluruhan tuntutan wilayah dasar laut Cina ini berbentuk lidah. (lihat gambar 2).

Di Laut Cina Timur, tuntutan Cina terhadap landas kontinen di wilayah ini, menciptakan be­berapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas kontinen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Timur pantai Cina dan meluas sampai ke Okinawa Trough (Palung Okinawa), ter­masuk bagian Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ketiga negara tersebut. Dalam wilayah ini, 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Sengkaku yang dipersensetakan oleh Taiwan, Jepang dan Cina. (Lihat gambar 3).

Cina mulai mengajukan tuntutannya terhadap landas kontinen dalam suatu kertas kerja mengenai yurisdiksi nasional atas wilayah laut dalam tahun 1973. Dalam kertas kerja ini di­kemukakan bahwa landas kontinen Cina adalah “The Natural Prolongation of the Continental Te­rritory.” Dengan demikian Cina tidak mengikuti kriteria kedalanan 200 meter atau eksploitasi. Disamping itu Cina menghubungkan kedaulatan laut dan rancangan batas lautnya dengan tuatutan pulau. Hal ini yang menyebabkan tuntutan Cina demikian luas, mencakup pulau-pulau di tengah samudra (mid-ocean islands,) yang menimbulkan reaksi dari negara-negara lainnya. Masing-masing negara merasa berhak atas pulau-pulau tersebut dengan meng­ajukan dasar tuntutannya. Selain masalah tumpang tindih yang akan teriadi akibat tuntutan landas kontinen RFC di wilayah ini masalah tuntutannya terhadap Kepulauan Senkaku akan menimbulkan pertentangan dengan Jepang dan Taiwan yang juga menuntut kepulauan tersebut.

Di Laut Jepang, usaha pengembalian hubungan akrab antara Jepang dan RRC mempunyai latarbelakang pertentangan dengan Uni Soviet sangat mempengaruhi sikap-sikap Jepang dan Uni Soviet dalam persengketaan mereka atas Kepulauan Kuril. Kepulauan Kuril ditemukan oleh seorang pelaut Belanda Martin de Vries tahun 1634. Kemudian Uni Soviet menduduki bagian Utara dan Jepang menduduki bagian Selatan. Tahun 1875 Uni Soviet setuju memba­talkan tuntutannya sebagai ganti penarikan mundur pasukan Jepang dari Sakhalin. Tahun 1945 Uni So­viet menduduki Kuril sesuai dengan keputusan Kon­perensi Yalta 1945 sebagai imbalan peranannya mengalahkan Jepang. Tahun 1947 Kuril menjadi bagian Sakhalin Oblast, wilayah Uni Soviet. Dalam Perjanjian Perdamaian Amerika serikat-Jepang ta­hun 1951, Jepang melepaskan seluruh tuntutannya terhadap Kepulauan Kuril, tetapi tidak dinyatakan di serahkan secara khusus ke Uni Soviet. Pada ta­hun 1956, dalam perundingan normalisasi hubungan kedua negara, Uni Soviet memberikan jaminan akan mengembalikan Habomai dan Shikotan setelah persetujuan perdamaian tercapai. Tetapi Jepang mengi­nginkan pengembalian keempat pulau Kuril Selatan sebagai prasyarat untuk mencapai suatu persetujuan perdamaian tersebut. Dalam Sidang Umum PBB 21 Oktober 1970, Jepang mengajukan tuntutannya kembali, tetapi Uni Soviet menolak karena negara ini menganggap keempat pulau tersebut nerupakan bagian dari gugusan Kepulauan Kuril yang menjadi wilayahnya.

Semertara itu pada pertengahan April 1978, hubungan RRC dan Jepang menjadi tegang karena terjadinya insiden dimana kapal ikan RRC (sebagian daripadanya bersenjata) memasuki wilayah Senka­ku. Dua bulan setengah kemudian (Juli), setelah insiden reda, perundingan-perundingan kedua negara dimulai lagi dan tanggal 12 Agustus 1978 perjanjian perdamaian dan persahabatan RRC Jepang di tandatangani di Beijing.

Sebetulnya timbulnya insiden Senkaku dan ter­capainya perjanjian tersebut sangat erat kaitannya dengan motivasi-motivasi kedua negara.

Di dalam negeri Jepang, PM Fukuda mendapat desakan dari oposisi dan golongan penting dalam Partai Demokrasi Liberal (LDP) serta masyarakat bisnis Jepang untuk menandatangani perjanjian tersebut. Begitu Pula Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk menandatanganinya. Sementara selama 1978, Jepang menghadapi tekanan RRC yang menginginkan perjanjian pihak Uni Soviet tidak ragu­-ragu menentangnya. Tetapi sehubungan dengan si­kap ini, Jepang percaya bahwa Uni Soviet tidak akan memperburuk hubungannya dengan Jepang, kare­na masih membutuhkan Jepang dalam eksplorasi dan pembangunan sumber-sumber mineral di Siberia, Soviet Timur Jauh. Uni Soviet akan mendapat beban berat jika melepaskan Jepang, karena sulit untuk­ menemukan penggantinya. Lagi Pula selama masalah teritorial ada diantara mereka, pihak Soviet je­las lebih lemah. Keinginan Jepang untuk membicarakan tuntutannya terhadap keempat pulau di sebelah Utara Hokaido, diremehkan. Hal ini menjauhkan Uni Soviet dari Jepang. Kepentingan Uni Soviet a­kan lebih diperhatikan jika negara ini dapat menerima tuntutannya terhadap kepulauan tersebut tetapi negara tersebut tidak memperdulikan hal i­ni, sementara RRC mendukung tuntutannya.

Bagi RRC suatu perjanjian perdamaian adalah penting untuk mengimbangi strategi “pincer” (sepitan) Vietnam-Uni Soviet. Perjanjian ini tidak saja perlu untuk menggambarkan kekuatirannya terhadap Uni Soviet kepada negara-negara Asia lainnya, tetapi juga diam-diam dia ingin memperoleh dukungan Jepang bagi posisinya. Selain itu perjanjian ini menggambarkan pula kepentingan politik dan teritorial yang lebih tegas di Laut Cina Laut. Terhadap masalah-masalah teritorial yang di tuntut RRC, Jepang dan Korea, negara ini ingin menegakkan pengaruhnya dan mengemukakan, bahwa masalah teritorial akan dikonsultasikan mengenai setiap permasalahan. Oleh karena itu RRC merasa terganggu dengan keseganan Jepang terhadap penan­datanganan perjanjian sehubungan dengan adanya galongan yang menginginkan penyelesaian masalah Senkaku dibicarakan terlebih dahulu, karena pemecahan masalah ini akan dibicarakan di masa yang akan datang. Faktor inilah yang sebenarnya menjadi latarbelakang insiden tersebut. Pengiriman kapal-kapal ikan yang berserjata ke wilayah Senkaku meru­pakan taktiknya untuk mengajak Jepang ke meja perundingan. Demikianlah perundingan perjanjian per­damaian, dan persahabatan kedua negara dimulai tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah Senkaku.

Setelah RRC dan Jepang menandatangani perjan­jian mereka dan dinormalisasinya hubungan RRC-Amerika Serikat Uni Soviet menunjukkan rasa tidak­senangnya dengan meningkatkan perlengkapan latihan militernya di Shikotan. Negara ini telah menempatkan 2000 pasukannya di wilayah menurut informasi ‘Japan Defence Agency’ (JDA), secara ke seluruhan. terdapat 10.000 – 2.2.000 pasukan di ketiga pulau Etorofu, kunashiri dan Shikotan. Dengan tindakannya Uni Soviet berusaha memperingatkan dan menakut-nakuti Jepang bahwa dia bermaksud untuk mempertahankan wilayahnya di- Asia dan agar pihak lain yang menuntut wilayah tersebut mundur teratur. Jepang akan menghadapi tanggung-jawab yang serius jika  negara itu melibatkan diri dengan suatu aliansi militer. Tetapi pada saat yang sama, adalah cukup jelas bahwa Uni Soviet menginginkan peningkatan hubungan bilateral de­ngan Jepang berupa bantuan ekonomi dalam rencana pembangunan Siberia.

Bagi Uni Soviet, Kepulauan Kuril mempunyai ar­ti strategis yang penting. Dengan menguasai wila­yah ini, maka praktis Laut Okhotsk yang terletak ­antara jazirah Kamchatca dan Kepulauan Kuril akan diawasi secara keseluruhan olehnya. Laut Okhotsk akan menjadi Laut dalam dia, sehingga dengan de­mikian armada lautnya tidak dapat diawasi oleh Jepang dan Amerika Serikat jika mereka akan keluar dari Vladivostok ke Sdamudra Pasifik, kecuali-le­wat Selat Tsushima.

Jepang menginginnkan kembali Kepulauan Kuril sebagai suatu kesatuan (integritas) wilayah yang juga menyangkut kepentingan keamanannya. Pembangunan perlengkapan militernya di wilayah itu merupakan ancaman dari utama apabila terbang permanen yang diperlengkapi dengan radar.

Sementara itu pula persepsi itu terhadap meningkatnya peranan laut bagi pembangunan ekonomi cenderung mendorong sengketa-sengketa ini mening­kat menjadi suatu sumber konflik yang lebih be­sar. Hal ini disebabkan makin majunya kemampuan tekonologi mengeksploitasi sumber-sumber daya laut baik hayati maupun non-hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya serta air diatasnya. Diakuinya hak-hak yurisdiksi negara-negara pantai terhadap landas kontinen serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil untuk mengeksploitasi dan mengeksploitasi sumber-sumberr daya laut tersebut makin memperkuat persepsi tersebut.

Seorang ahli geologi dan Kelompok Peneliti Universitas Tokai meramalkan bahwa potensi mi­nyak di landas kontinen Laut Cina merupakan sa­lah satu dari lima wilayah penghasil minyak ter­besar di dunia, Baik Taiwan, Jepang dan Korea Selatan sejak tahun 1970 telah mengadakan konsesi­ minyak di landas kontinen laut Laut Cina.

Pada awal Agustus 1979 Cina mengadakan persetujuan dengan perusahaan-perusahaan asing untuk mengadakan seismic, yaitu Exxon, Philips, Union, Amoco, Atlantic Richfield. Begitu pula dengan Jepang diadakan suatu konsesi besar, yaitu setelah ditandatanganinya perjanjian, perdamaian dan per­sahabatan kedua negara 1978. Bagi Cina, minyak­ dan gas yang tersedia merupakan kepentingan eko­nomi dan strategis yang khusus terhadap Jepang yang berusaha mengurangi ketergantungan minyaknya dari Timur Tengah. Jepang merupakan pasar yang sudah tersedia bagi minyak dan gas Cina. Dewan Nasional perdagangan Cina-Amerika Serikat, mimperkirakan produksi minyak RRC kira-kira 102 juta ton dalam tahun 1978 dan akan meningkat sekitar 178-232 juta ton dalam tahun 1985. Dalam rangka rencana pembangunan ekonomi nasional sepuluh tahun (1976-1985)nya, RRC sangat membutuhkan teknologi dan keahlian pengelolaan (managerial skills) dari Jepang. Demikian pula landas kontinen laut Cina Selatan, khususnya “offshore sediamentary basin” yang meluas dari pantai-pantai Serawak, Brunei, Sabah sampai ke pantai Vietnan bagian Selatan. Muara Sungai Mekong di perkirakan mempunyai kekayaan minyak yang sangat potensial. Selain hasil perikanan laut Cina Selatan mencapai 5 juta ton tiap tahun, dan di-perkirakan akan me­ningkat dengan sebanyak 3 ton pertahun.

Cina dan Vietnam telah mengutamakan kepentingan penemuan sumber minyak dan kemudian mengekspioitasinya dalam rangka rencana pembangunan ekonomi mereka. Untuk membangun ekonomi negaranya yang hancur akibat perang selama 30 tahun, Viet­nam yang kurang mempunyai sumber-sumber lainnya untuk diekspor sangat mebutuhkan minyak tersebut. Dalam rangka ini Vietnam telah mengadakan kontrak prospek penggalian minyak dengan negara-nega­ra Comecon yaitu Uni Soviet, Cekoslowakia, Bulga­ria, Hongaria dan Polandia. Selain itu juga Vietnam berusaha melakukan hal yang sama dengan peru­sahaaan minyak asing Barat lainnya, yaitu Deminex (Jerman Barat), AGIP (Italia), Bow Valley (Cana­da), Elf-Awuitaine (Prancis). Diperkirakam kemam­puan minyak Vietnam mencapai 500.000 – 1000.000 barel perhari.

Di Laut Kuning adalah merupakan wilayah konsesi minyak yang terbanyak di Asia. Timur terutama wilayah-wilayah konsesi minyak Korea Selatan. Laut Kuning mulai dari Delta Sungai Yalu yang membelah Teluk Po Hai dan Teluk Korea pada bagian Utara sampai ke Delta Sungai Yangtze di Semenan­jung Kiangshu di Selatan merupakan paparan landas kontinen yang kaya dengan minyak sehingga pembagian landas kontinen di wilayah ini terjadi tumpang tindih antara negara-negara Korea Selatan, Korea Utara dan Cina. Selain masalah tumpang-tindih landas kontinen antara ketiga negara itu di Laut Ku­ning dimana wilayah-wilayah konsesi minyak. Korea Selatan SOCAL yang kerjasama dengan perusahaan pengeboran minyak Amerika Serikat TEXACO terdapat, juga tumpang-tindih masalah zona perikanan. Korea Selatan mengajukan tuntutan kepada Cina karena menganggap Cina telah melakukan kontrol wilayah perikanan memasuki wiIayah Korea Selatan terutama Proteksli Wilayah Perikanan Cina di Kepulauan, So­huksan (Sohuksan Do) yang diklaim oleh Korea Selatan. Korea Selatan menganggap bahwa Cina telah ditetapkan menurut hukum. Demikian pula dengan adanya hubungan yang tidak serasi antara dua Negara komunis Cina dan Korea Utara oleh penetapan zona militer (Militery Warning Zone) di mulut Teluk Po Hai yang sebagian masuk Wilayah Korea Utara di Teluk Korea. Penetapan Zona militer yang ditarik oleh Cina dari garis lurus yang membentang dari Tanjung Port Arthur di ujung semenjung Liao Thung ke Tanjung Peng-loi terus ke tanjung Jung-chen di Semenanjung Shan-tung terus ke  Delta Sungai Yalu. Dengan demikian segi empat antara titik Port Arthur, Tanjung Peng-loi, Tanjung Jung-chen dan Delta Sungai Yalu telah ditetapkan oleh Cina sebagai Zona Militer (Lilitery Warnibf Zone).

Sengketa Internasional Laut Cina Selatan

Secara geografis kawasan Laut China Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Macau. Luas perairan Laut China Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC. Klaim dari  China yang menyatakan wilayah laut tersebut sebagai bagian dari Negara mereka banyak mendapatkan protes dari berbagai Negara di ASEAN (Association of South East Asian Nations), terutama Vietnam. Pernyataan China didasarkan pada nilai-nilai historis wilayah tersebut, dimana mereka menganggap bahwa secara historis, laut China Selatan merupakan bagian dari perairan China, bukan daerah perairan internasional, ataupun milik Negara lainnya. Kenyataan ini telah berdampak besar terhadap konsesus pembuatan hokum laut Jenewa di tahun 1958, dan perumusan berbagai resolusi mengenai hukum laut lainnya. Lokasi yang dianggap strategis dari segi ekonomi dan politik menjadi latarbelakang lainnya mengapa China ingin secara konstan mempertahankan lautan ini.

Makalah ini bertujuan guna memberikan pemahaman mengenai kasus sengketa mengenai perairan Internasional dengan mengambil studi kasus sengketa di Laut China Selatan. Maraknya berbagai bentuk sengketa yang terjadi di perairan Internasional merupakan suatu tinjauan yang menarik untuk dianalisis secara lebih jauh utamanya mengenai perebutan wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sehingga pembuatan makalah ini akan sangat berguna bagi para akademisi maupun para peneliti yang ingin memahami secara lebih jauh mengenai kondisi perairan Internasional secara umum dan sengketa di Laut China Selatan secara khusus. 

Kerjasama dan perang oleh suatu negara dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan negara. Kepentingan tersebut dikenal dengan istilah kepentingan nasional. Kepentingan nasional diartikan sebagai tujuan dan ambisi suatu negara baik yang menyangkut politik, ekonomi, militer, dan budaya. Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa “kepentingan nasional setiap negara pada dasarnya adalah mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain”. Morgenthau juga mengatakan arti minimun yang inheren dalam kepentingan nasional adalah kelangsungan hidup. Pencapaian kekuasaan ini dapat dilakukan dengan teknik paksaan atau kerjasama.

Konflik merujuk pada hubungan yang melibatkan dua atau lebih pihak yang dalam mencapai tujuan tidak melalui kesepakatan atau kerjasama tetapi melalui cara-cara yang bersifat destruktif. Menurut Hugo Van Der Mene, terdapat 5 faktor penyebab konflik antara lain; community relation theory, principal negosiation theory, human needs theory, identity theory dan conflict transformation theory. Penyelesaian konflik dapat melalui cara-cara yang bersifat persuasif atau berupa perundingan dan cara-cara yang bersifat koersif atau menggunakan kekerasan fisik.

Penyebab konflik ada beragam, namun perlu diketahui bahwa konflik yang berhubungan dengan sengketa wilayah sering terjadi. Dimana aktor-aktor yang terlibat merasa bahwa wilayah yang telah dikatakan milik sebuah aktor, juga merupakan bagian dari wilayah dan kedaulatan Negara lainnya. Konflik akan pecah apabila tidak ada aktor yang ingin mengalah dalam sengketa tersebut, sehingga akan menghasilkan konflik yang berkelanjutan. Disintegrasi pemikiran antar kedua pihak akan berkontribusi terhadap perpanjangan konflik yang terjadi.

Terdapat 3 pendekatan dasar terhadap konflik itu sendiri. Posisi Menang/kalah, dimana pendirian dasar dari kedua belah pihak didasarkanpada tekanan untuk memenangkan posisi mereka dengan pengorbanan apapun. Posisi Negosiasi merefleksikan bagaimana kedua pihak bersedia untuk berkompromisasi sehingga keduanya mengakhiri dengan rasa agak puas serta mampu menanggung rasa kekalahan yang mereka terima. Posisi Menang sebagai pendekatan terakhir, merupakan refleksi kedua belah pihak yang menyelesaikan masalah secara bersama.

Pihak ketiga dalam proses mediasi merupakan individu atau kolektif yang berada di luar pihak yang bertika yang membantu pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan masalah melalui beberapa kesepakatan. Dalam menjalankan fungsinya, maka pihak ketiga atau mediator dalam sebuah konflik wajib memenuhi tiga indikator agar proses mediasi dapat berjalan secara efektif antara lain; netralitas, independensi dan leverage. Netralitas merupakan kemampuan bagi mediator untuk tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini bertujuan agar mediator dipercaya dan dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik guna membantu penyelesaian konflik yang ada. Independensi memiliki makna kemampuan untuk berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan terhadap pihak lain. Leverage adalah kemampuan mediator dalam menekan atau memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk menyepakati resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh mediator. Hal ini menjadi sangat penting utamanya untuk mengefektifkan rentang waktu mediasi yang diberikan serta menghindarkan pihak-pihak yang berkonflik dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat agresif yang dapat menghambat jalannya proses mediasi.

Penyelesaian konflik tersebut menurut William Hendrick ada 5 cara. Pertama adalah gaya penyelesaian dengan mempersatukan, dimana individu yang terlibat konflik akan mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua kelompok. Kedua adalah gaya penyelesaian dengan kerelaan untuk membantu, dimana adanya kerelaan membantu menempatkan nilai yang tertinggi untuk orang lain sementara dirinya dinilai rendah. Ketiga adalah gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi, dimana kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi dan meremehkan orang lain. Keempat adalah gaya penyelesaian konflik dengan menghindar, yaitu menghindar dari persoalan. Penyelesaian konflik secara  kompromis merupakan gaya terakhir, yang berlaku apabila adanya keseimbangan kekuatan, untuk mencari jalan keluar melalui pemberian sesuatu hal.

Sengketa yang terjadi di kawasan laut China Selatan tidak dapat ditinjau hanya dari aspek kedaulatan nasional saja. Sebab secara geostrategis kawasan ini jika dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Tidak hanya itu saja, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Sebuah perairan dengan potensi yang sangat luar biasa, kandungan minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat laut china selatan menjadi objek perdebatan regional selama bertahun-tahun. Paling tidak ada 9 negara yang mengajukan klaim atas wilayah laut china selatan, belum termasuk negara-negara maju yang juga punya kepentingan tersendiri terhadap laut China selatan.

Menganalisis secara keseluruhan kekayaan sumber daya alam di Laut China Selatan memberkan alasan yang kuat mengapa Negara seperti China, bahkan Amerika Serikat sering melakukan kebijakan yang dapat menggoyahkan perdamaian dan ketenangan di kawasan tersebut. Laut China Selatan memiliki kekayaan diantaranya terdapat cadangan minyak 213 milyar barel (10 kali lebih banyak daring persediaan minyak Amerika Serikat), serta terdapat gas alam yang jumlah keseluruhan sama dengan cadangan gas alam yang dimiliki oleh  Qatar. Perkiraan kandungan minyak bumi di kawasan laut China selatan cukup beragam. China sangat aktif mengklaim kawasan laut China selatan karena pernah mengeluarkan estimasi kandungan minyak di kawasan laut China selatan sebanyak 213 bbl (billion barrels), sementara Amerika memperkirakan kandungan minyak di laut China selatan sebanyak 28 bbl. Seperti halnya minyak bumi, kandungan gas alam di kawasan laut China selatan juga beragam dengan angka yang sangat luar biasa.

Selain sumber daya alam  laut China selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan laut China selatan sebagai prioritas dalam aktifitas politik luar negerinya. Sebut saja jepang, 80 persen import minyaknya diangkut melalui jalur kawasan laut China selatan. Amerika juga sangat membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika juga mempunyai angka kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan laut China selatan. Dengan latar belakang potensi yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika kawasan ini menjadi objek perdebatan multilateral.

Sengketa di Laut ChinaSelatan muncul sebagai salah satu konflik regional di kawasan Asia Tenggara yang sampai saat ini belum menemukan titik terangnya. Ini dikarenakan masing-masing negara yang terlibat dalam konflik ini tidak ingin mengalah dan menyerah begitu saja. Maka, tentu saja ketegangan di antara negara-negara yang terlibat itu dapat mengganggu stabilitas keamanan regional karena tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perang di kawasan Asia Tenggara.

Secara geografis, kawasan Laut Cina Selatan merupakan perairan yang memanjang dari barat daya ke arah timur laut. Sebelah selatan berbatasan dengan 3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, tepatnya Selat Karimata, dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan. Letak geografis yang tidak menentu inilah yang menyebabkan beberapa negara merasa ikut memiliki hak atas perairan dan kepulauan tersebut. Serta ditambah lagi dengan pedoman aturan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil, dimana semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan memiliki batas berdasarkan ZEE yang saling tumpang tindih sehingga menimbulkan masalah penentuan batas dan klaim wilayah.

Terdapat empat kelompok gugusan kepulauan di Laut China Selatan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut China Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut China Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu China, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali China dan Taiwan. Laut China Selatan jadi rebutan karena adanya perkiraan cadangan minyak dan gas di Kepulauan Spratly yang besar. Analisis Clive Schofield dan Ian Storey di asiaquarterly .com menyebut 1-2 miliar barrel minyak dan 225 tcf (triliun cubic feet) gas alam.Sementara estimasi lembaga statistik Amerika Serikat, Energy Information Administration (EIA) menyatakan di bawah Spratly terdapat sedikitnya 7 miliar barrel minyak dan 150,3 tcf (triliun cubic feet) gas alam.

Sengketa yang terjadi di kawasan tersebut menyebabkansejumlah Negara yang bersengketa memberikan penamaan yang berbeda tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang, sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung layang-layang.

Beberapa alasan dibalik kenyataan ini dapat dilihat dengan berbagai sumber daya alam yang berada di lautan tersebut, sehingga banyak aktor-aktor Negara berusaha menjadikan lautan tersebut bagian legal dari wilayah mereka, dan adapula yang menentang aktor lain untuk menyatakan kepemilikan atas lautan tersebut. 2 pulau yang sering menghasilkan konflik di Laut China Selatan adalah pulau Paracel dan pulau Spartyl. Negara-negara seperti China, Filipina dan Vietnam merupakan beberapa Negara yang terus secara konstan mengalami konflik di daerah tersebut. China melalui kebijakan pemerintahnya yang radikal terus melakukan usaha dalam menguasai lautan tersebut, bahkan tidak jarang China melakukan latihan angkatan lautan militernya di daerah perairan tersebut. Sengketa ini terus berlanjut hingga saat ini, dimana berbagai Negara di Asia terus menerus menyatakan bahwa daerah laut tersebut merupakan milik mereka. Pencarian solusi terus sampai ini berlanjut, namun perlu dipahami bahwa China merupakan kekuatan yang sangat besar di Asia, baik dari segi hak veto yang Ia miliki di Dewan Keamanan PBB, sampai kepada pengaruh yang China miliki di Negara-negara ASEAN.

Sengketa teritorial di kawasan laut cina selatan khususnya sengketa atas kepemilikan kepulauan spartly dan kepulauan paracel mempunyai perjalanan yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Perancis, Jepang, RRC, Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan. Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di laut cina selatan, diawali oleh tuntutan cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut cina selatan yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, laut cina selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan, yang pertama menemukan dan menduduki kepulauan spartly adalah Cina, di dukung bukti-bukti arkeologis Cina dari dinasti Han (206-220 SM). Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan spartly dan paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan spartly dan paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan sesuatu negara.

Pada perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam selatan menduduki kepulauan paracel, termasuk beberapa gugus pulau di kepulauan spartly. Selain Vietnam selatan kepulauan spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan filipina tahun 1971 sedangkan filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian timur kep. spartly yang disebut sebagai kelayaan, tahun 1978 menduduki lagi gugus pulau panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun. Filipina juga menunjuk perjanjian perdamaian san fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kep. spartly, mengemukakan diserahkan kepada negara mana. Malaysia juga menduduki beberapa gugus pulau kep. spartly yang dinamai terumbu layang. Menurut Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan peta batas landas kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari kep. spartly.

Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu terumbu laksmana diduduki oleh Filipina dan Amboyna diduduki Vietnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di kepulauan spartly. Namun, Brunei hanya mengklaim perairaan dan bukan gugus pulau. Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap seluruh wilayah kepulauan bagian selatan kawasan laut cina selatan. Sampai saat ini, negara yang aktif menduduki disekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di laut cina selatan tampaknya semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.

Konflik senjata pertama kali terjadi di wilayah laut cina selatan pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahun 1988, dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina-Vietnam di Indocina. Akibat perang yang terbuka antara angkatan laut China dan Vietnam ini, ada 70 korban di pihak militer Vietnam. Dua aktor Negara yang sampai saat ini terus mengalami konflik di Laut China Selatan adalah China dan Vietnam. Walaupun tidak menghasilkan korban yang banyak seperti kejadian di tahun 1974, namun bisa dilihat bagaimana kejadian tersebut selalu membawa kawasan tersebut ke dalam daerah yang tidak pernah tenang, serta terus menerus mengancam ketenangan di kawasan tersebut. Saat ini kecuali Brunei, masing-masing pihak telah menentukan “land base” di antara gugusan pulau-pulau spartly sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa pola yang jelas. Malaysia merupakan negara terakhir yang menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan pulau dari kelompok kepulauan spartly.

Amerika Serikat tidak mendeklarasikan masalah kepemilikan wilayah tersebut, namun AS memiliki peran yang penting dalam kestabilan di daerah tersebut. Dianggap sebagai lautan internasional, Amerika Serikat secara rutin melaksanakan patroli di perairan tersebut. Pada Maret 2011, angkatan laut militer menangkap kapal Amerika Serikat yang melakukan patrol di lautan China Selatan ini. Menanggapi berbagai pelatihan angkatan laut yang dilakukan oleh berbagai Negara yang menentang deklarasi China, China mengoperasikan kapal angkatan lautnya di perairan laut China Selatan, dengan alasan menjaga perairan China.

Penerapan nilai yang berbeda antara kedua pihak menjadi salah satu latar belakang mengapa konflik ini terus menerus terjadi. Cina di satu pihak berusaha meyakinkan dunia bahwa perairan tersebut secara historis merupakan bagian dari lautan Cina sejak 2000 tahun yang lalu. Laut Cina telah menjadi jalur perdagangan Cina pada waktu itu pada zaman Dinasti Han, Dinasti Sung, Dinasti Ming, dan Dinasti Ching. Kehadiran berbagai hukum internasional yang mengatur masalah wilayah laut semua telah diabaikan oleh Cina itu sendiri, karena sejak mempublikasikan map historis yang telah digunakan sejak waktu yang sangat lama di Cina di tahun 1947, Cina tidak akan menyerah dalam sengketa lautan ini. Dunia internasional di lain pihak berusaha berargumentasi dengan berdasar pada UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea) tahun 1982. Bagian penting dari UNCLIOS ini adalah memberikan hak kepada setiap Negara untuk menjadikan lautan dengan radius 200 mil dari daratan sebagai EEZ (Exclusive Economic Zone). EEZ ini merupakan lautan yang diberikan hak untuk aktor Negara dieksploitasi dan digunakan untuk kepentingan perekonomian secara domestik Negara. Wilayah lautan diluar dari wilayah EEZ ini akan dianggap sebagai International Waters (Perairan Internasional) yang tidak boleh dieksploitasi oleh Negara. Vietnam, Taiwan, Filipina, Brunei, Malaysia dan AS merupakan beberap Negara yang terus menerus memaksa agar ada resolusi yang berdasarkan pada UNCLOS yang disebutkan diatas. Anggapan Cina yang menyatakan bahwa laut Cina Selatan merupakan perairan mereka, sangat sulit untuk mendapat dukungan. Sebab mereka deklarasikan memiliki perairan yang sangat berbatasan dengan wilayah Filipina dan Vietnam, sehingga melanggar UNCLOS.

Sengketa laut Cina Selatan dapat dengan mudah menggoyahkan hubungan dengan Negara-negara ASEAN tersebut. Negara-negara yang paling menentang kebijakan Cina ini semua merupakan bagian dari ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, Indonesia). Negara-negara ASEAN dengan ini sangat mudah untuk membuat konsensus, untuk menentang kebijakan yang dilakukan Cina. Demi keamanan, perlu tindakan yang tepat yang dilakukan Cina untuk mengurangi ketegangan di wilayah ini, demi kepentingan hubungan Cina dengan ASEAN, dan sebaliknya.

Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional. Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang diharapkan.

Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.

Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.

Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

Dengan berakhirnya perang dingin, ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik. Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut:

  1. Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
  2. Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional.
  3. Ketiga, masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.

Dengan demikian, konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya. regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Eksistensi ASEAN, dalam pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:

  1. Deklarasi Kuala Lumpur 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
  2. Traktat Persabanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
  3. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.
  4. KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).

ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka sehingga ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik dan mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.

Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik. Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.

Ada beberapa kemungkinan penyelesaian sengketa yang terjadi di Laut China Selatan ini. Namun mendasarkan sebuah perjanjian pada UNCLOS di tahun 1982, hanya akan mendapatkan respon penolakan oleh Negara China. Dibutuhkan sebuah mekanisme baru yang dapat oleh kedua pihak disetujui. Kemungkinan yang pertama adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang harus turun tangan dalam melakukan patroli di lautan China Selatan. Patroli ini akan akan terdiri dari berbagai Negara yang telah disepakati dalam Majelis Umum/ Dewan Keamanan PBB. Patroli dan latihan angkatan laut yang dilakukan berbagai Negara harus segera dihentikan untuk beberapa waktu, hanya untuk menghilangkan ketegangan yang saat ini terus muncul apabila terjadi latihan militer di laut China Selatan.  Jika diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kepulauan Spartly, maka kita bisa mengacu kepada hukum laut internasional PBB, yaitu UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal yang terdapat dalam hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan kepulauan Spartly, yaitu :

  1. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam penetapan batas dua negara pantai, “Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”
  2. Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen.“Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”]
  3.  Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup.“Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”
  4.  Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas wilayah “Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan melakukan perjanjian internasional yang disepakati negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari negara lain . . .”
  5.  Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa.

Pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai. Kedua adalah menyelesaikan kasus ini dengan bantuan ASEAN Regional Forum (ARF). Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut:

a) Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam). b) Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional. c) Ketiga, masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:
a) Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN). b) Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.c) Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.d) KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ). Keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik. Resolusi dari ARF nantinya juga bisa menjadi masukan untuk resolusi PBB di Majelis Utama dan Dewan Kemanan PBB untuk menyikapi masalah sengketa laut China Selatan ini.

Kemungkinan solusi terakhir adalah meningkatkan hubungan bilateral dengan aktor yang terlibat, dalam artian China dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, dan semua Negara yang memiliki kepentingan nasional dengan sengketa laut China Selatan. Disaat forum atau solusi multilateral tidak mampu menyelesaikan kasus, maka perlu penyelesaian kasus dalam lingkup yang lebih kecil terdahulu. Melalui hubungan bilateral, kedua Negara dapat mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan ketegangan di kawasan ini.

Kedaulatan Negara sering dianggap sebagai elemen paling penting dalam sebuah Negara. kedaulatan Negara menjadi elemen yang penting sebab kedaulatan Negara berhubungan dengan kemampuan sebuah Negara dalam mengatur dan berkuasa dalam segi internal dan eksternal negaranya. Wilayah seringkali menjadi bagian penting dalam kedaulatan Negara. Sehingga seringkali kita melihat dilihat bagaimana sebuah Negara berkonflik dengan aktor Negara lainnya. Sengketa laut di China Selatan merupakan sebuah sengketa laut yang berlangsung selama puluhan tahun. Wilayah perairan yang kaya akan gas alam dan cadangan perminyakan ini menjadi rebutan berbagai Negara di sekitaran kawasan tersebut. China, Filipina, dan Vietnam merupakan beberapa Negara yang aktif berusaha menunjukkan bahwa laut ini milik mereka. Sengketa ini telah membuat Negara-negara yang terlibat ini untuk melakukan berbagai kebijakan radikal, hanya untuk merefleksikan bahwa ini wilayah mereka. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan latihan militer gabungan, dan juga patrol di perairan yang seharusnya secara hukum internasional merupakan perairan internasional, yang seharusnya tidak dieksploitasi.

China menyatakan bahwa mereka berhak menjadikan laut China Selatan menjadi bagian dari China, sebab masalah historis yang menurut mereka telah menjadi bagian China sejak 2000 tahun yang lalu. Hukum Internasional yang disebut UNCLOS pada tahun 1982 menyatakan bahwa laut China Selatan merupakan perairan internasional, bukan bagian dari EEZ (Exclusive Economic Zone) yang China berusaha deklarasikan ke dunia internasional.

Permasalahan di laut Cina Selatan merupakan sebuah sengketa yang perlu ditanggapi dengan cepat, sebab ketegangan yang terjadi antara Cina dengan aktor-aktor yang terlibat dalam sengketa laut ini, dapat dengan mudahnya mempengaruhi hubungan Cina dengan Negara-negara tersebut, terutama Negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations). Cina berusaha meningkatkan pengaruhnya terhadap Negara-negara sekitar, terutama ASEAN. Perumusan, dan pengaplikasian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) merupakan satu dari berbagai kerjasama regional yang telah ditawarkan Cina ke Negara-negara ASEAN. Kerjasama tersebut menjadi salah satu kebijakan luar negeri penting bagi kedua pihak, sebab memberi fasilitas terhadap kepentingan nasional dalam bidang perekonomian.

 Sengketa Internasional Laut Cina Timur
Laut China Timur ialah sebuah laut di pinggir China yang pesisirnya berkisar  1,249,000 km² di timur negara China, dan juga sebagian Lautan Pasifik. Laut China Timur dibatasi oleh kepulauan Kyūshū  dan Ryukyu di timur, pulau Taiwan di selatan, dan tanah besar China di barat, serta dihubungkan dengan Laut China Selatan melalui Selatan Taiwan dan Laut Jepang melalui Selat Korea. Laut China Timur juga bersebelahan dengan Laut Kuning di utara.

Laut China Timur menjadi suatu wilayah yang dipersengketakan terutama diwilayah kepulauan Ryukyu, pulau Senkaku disebelah selatan Okinawa, Jepang. Beberapa analisa mengatakan, sengketa di laut china timur tidak hanya sengketa politik antara Jepang dan China. Namun, didalamnya terdpaat persaingan memperebutkan Smber Daya Alam berupa cadangan gas murni dan minyak bumi. Disamping itu, persaingan antara China dan Amerika yang terjadi dewasa ini juga turut memenaskan konflik sekitaran Laut China. Perlombaan militer dan kapal tempurpun tidak bisa terlelakkan.

Wilayah itu telah lama dianggap sebagai salah satu potensi konflik militer Asia. China mengklaim sebagian besar kawasan itu, terbentang ratusan mil dari selatan sampai timur di Provinsi Hainan. Beijing mengatakan, hak mereka atas kawasan itu bermula sejak 2.000 tahun lalu. Dua pulau itu merupakan bagian dari China. Banyak hal yang menjadikan wilayah tersebut menjadi sengketa, selain Karenajlaur tersebut merupakan jalur ekspedisi barang Asia Timur dengan Eropa dan Timur Tengah.

Untuk mengetahui beberapa faktor serta permainan kepentingan yang terjadi di wilayah Laut China Timur, maka perumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana persoalan serta analisis terkait masalah masalah yang terjadi di Laut China Timur?

Makalah ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai permasalahan di wilayah Laut China Timur yang tentunya akan mengembangkan wawasan dan pengetahuan kita mengenai hal tersebut.

Laut China Timur adalah posisi yang sangat strategis di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan Latar belakang permasalahan juga telah menempatkan beberapa sengketa yang terjadi yang kemudian akan disistematiskan seperti dibawah ini.

Berdasarkan Restorasi Meiji, pemerintahan Meiji Jepang secara resmi menandai bahwa Kerajaan Ryukyu merupakan bagian dari Prefektur Okinawa pada tahun 1979. Pulau senkaku sendiri, berada di tengah tengah perbatasan antara Kerajaan Ryukyu dan Dinasti Qing dan terkenal dengan nama Sinon-Japanese boundaries.

Pada 14 Januari 1895 klaim atas kepulauan ini mulai terjadi. Jepang menandai kedaulatannya secara resmi dengan memasukkan Senkaku ke dalam teritorial Jepang. Senkaku menjadi bagian dari kepulauan Nansei Shoto atau Ryukyu yang kini menjadi bagian dari Prcfektur Okinawa.

Setelah Perang Dunia II, Jepang mengumumkan kembali klaim atas sejumlah teritorial dan pulau-pulau melalui Perjanjian San Fransisco 1951. Namun berdasarkan perjanjian ini, Nansei Shoto berada di bawah perwalian AS dan kemudian dikembalikan ke Jepang pada 1971 melalui Okinawa Reversion Deal (Kesepakatan Pengembalian Okinawa). .Taiwan menjadi bagian Jepang sejak disepakatinya Per-janjian Shimonoseki pada 1895, setelah perang China-Jepang. Menurut China, saat Taiwan dikembalikan melalui Perjanjian San Fransisco, ini berarti juga termasuk Daioyu.Namun, pemimpin Taiwan saat itu Chiang Kai-shek tidak mengangakat isu ini. bahkan saat Diaoyu diberi nama lain dalam Okinawa Reversion Deal. Alasannya, Chiang yang nasionalis dan ingin lepas dari China, juga bergantung kepada dukungan AS yang menjadi bagian kesepakatan itu. Taiwan yang hingga kini berusaha menjadi kesatuan terpisah dari China juga mengklaim, Daioyu sebagai bagian teritorinya

Pada 1996, sekelompok orang Jepang mendirikan mercusuar di salah satu pulau Senkaku. Aktivis-aktivis China pun berulang kali mencoba mencapai pulau ini. Pada 2004, Jepang menahan tujuh aktivis China yang mendarat di pulau utama Senkaku. Seringkali juga terjadi hadap-hadapan antara kapal patroli Jepang dan China atau kapal nelayan Taiwan. Pada tahun 2005,50 kapal nelayan Taiwan berdemo di wilayah ini. Mereka mengaku dianiaya petugas patroli Jepang.Hal ini kemudian dipicu karenabanyaknya sumber daya alam berupa gas murni yang terdpaat di sekitaran wilayah kepu lauan senkaku ini.

Klaim atas senkaku juga didasarkan pada masing masing pandangan negara mengenai batas wilayah yang didefinisikan seperti gambar dibawah ini. Terlihat bahwa batas wilayah senkaku merupakan pertengahan antara china dan jepang sehngga masing masing batas negara yang diklaim saling mencaplok wilayah senkaku.

 Pernyataan pihak china

China menyebut Diaoyu (nama yang diberikan China untuk kepulauan ini) merupakan teritorialnya sejak dulu karena merupakan wilayah penangkapan ikan yang dikelola provinsinya, Taiwan. Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa hal tersebut sepenuhnya terbukti dan secara legal ditetapkan

  1. Pulau tersebut merupakan garis terluar pertahanan untuk melawan “wokou” ( perompak Jepang) selama masa dinasti Ming dan Dinasti Qing (1368 – 1911 ). Peta China mengenai Asia menunjukkan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari China. Termasuk sebuah peta dari Jepang pada abad ke 18 Masehi, menunujukkanbahwa pulau tersebut meriupakan bagian dari China
  2. Jepang mengambil alih pulau tersebut selama periode perang China-Jepang pada tahun 1894-1895.
  3. Perjanian Posdam menyatakan bahawa” kedaulatan Jepang harus dibatasi terhadap pulau Honus, Hokaido, Kyushu, Shikoku dan pulau pulau kecil lainnya yang kamitentukan” dan kata “kami” pada deklarasi tersebut mengacu kepada pemenang perang dunia II yang bertemu di Postdam ; USA, UK dan China. Sementar Jepang menyetujui keputusan tersebut.
  4. Baik PKC maupun PRC tidak pernah melepaskan kontrol dan perhatian terhdap pulau tersebut, sejak tahun 1970

Berdasarkan klaim China, pulau tersebut telah dikenal paling tidak sejaktahun 1372. Kemudian selalu diulang ulang untuk merujuk terhadap territory China sejak 1372 hingga dikontrol oleh Dinasti Qing termasuk bersama Taiwan. Teks pertama mengenai pulau ini adalah catatan perjalan Diaoyutai pada 1403 di buku China yang berjudul Voyage with the Tail Wind.. kemudian, pada tahun 1534 semua pulau pulau besar di kepulaun tresbut telah diidentifikasi dan kemudian buku itu dikenall dengan nama Record of the Imperial Envoy’s Visit to Ryukyu.

 Pernyataan Pihak Jepang

Menurut Jepang. China tidak pernah keberatan dengan Perjanjian San Fransisco. Mereka baru mulai membicarakannya sejak 1970-an, saat beredar isu ada cadangan minyak di kepulauan tersebut. Menurut Jepang, tidak terdapat masalah teritori yang diselesaikan di Senkaku. Hal itu disebabkan karena beberpa alasan berikut :

  1. Pulau tersebut tidak berpenghuni dan tidak terdapat aktiitas sejak berada di bawah Kendal iChina hingga tahun 1895,
  2. Pulau tersebut bukan merupakan bagian dari Taiwan maupun Kepulauan Percadores, seperti yang tertulisa dalam pasal II bulan May 1985, Treaty of Ahimonosek,
  3. Meskipun pulau tersebutberada di bawah kontrol Amerika sebagai kekuatan yang menang pada tahun 1945 dan 1972. Jepang, sejak 1972 melakukan legal administrasipulau tersebut. PRC (China) dan ROC (Taiwan) tidak pernah melakukan klaim hingga diketahuinya cadangan minyak telah ditemukan disekitaran wilayah tersebut.

Melalu kunjungan probadi setelah 9 tahun berhenti dari jabatannya, matan presiden Republik of China, lee teng hui suatu kali pernah mengatakan bahwa Pulau Senkaku adalah bagian dari Okinawa.Kemudian pada tahun 1885, pemerintah jepang melakukan survey dan menemukan fakta  bahwa pulau tersebut merupakan terra nulius (tidak berpenduduk). Yang membuktikan bahwa pulau tersbut tidak berada diwabah kontrol China.

Kentaro Serita dari Kobe University menemukan poin semenjak dinasti ming hingga dinati Qing disebuah buku berjudul History of Ming yang menggambarkan Taiwan  “Biographies of Foreign Countries”. Dan bab tersebut menggambarkan China tidak mengontrol pulau senkaku maupun Taiwan selama masa dinasti Ming. Pembuktiannya kemudian merujuk pada awal kekaisaeran Qing, Taiwan berada diluar dari territory dinasti, bahwa chian tidak mengontrol senkaku maupun taiwan, namun merupakan kekuasaan yang berpisah yakni kerajaan Tungning yang memang loyal terhadap dinasti Ming. Bukti tersebut mengungkapkan bahwa kepaulaun senkaku tidak mempunyai kaitandengan dinasti Ming.

Perebutan sumber daya alam

Pulau Senkaku atau Diaoyu menjadi primadona dan diidamkan keduanegara karena pada tahun 1968 komisi ekonomi persyerikatan negara – negarauntuk wilayah Asia Timur telah menyebutkan potensi cadangan minyak dan dangas alam di perairan Senkaku. Potensi minyak dan gas di Laut Cina Timurtersebut mengakibatkan kedua negara memperebutkan Kepulauan tersebut.

Sejak berakhirnya PD II, kedua negara terlibat sengketa perbatasan di kepulauan Diaoyo (versi Cina) atau Senkaku (versi Jepang) wilayah laut Cina Selatan. Kepulauan ini semula merupakan bagian dari wilayah Cina. Namun akibat kekalahan Cina dalam perang terhadap Jepang di tahun 1895, kepemilikan kepulauan ini kemudian beralih kepada Jepang. Cina tidak pernah mengakui kepemilikan Jepang atas Kepulauan tersebut. Yang menjadi kepentingan Cina pada Pulau Senkaku adalah potensi minyak dan gas yang cukup besar diperkirakan sekitar 100 juta barel minyak.

Cina sangat membutuhkan energy dalam jumlah besar untuk melaksanakan pembangunan ekonominya. Cina merupakan negara pengimpor energy terbesar didunia. Cina juga negara kedua terbesar setelah Amerika sebagai pengonsumsi energy minyak sekarang berada diujung krisis energy untuk memenuhi permintaan energy dalam negeri.

Hal ini kemudian dibuktikan sejak Musim Panas 2010, China mengembangkan lebih lanjut ladang minyak di laut china itu karena ketika itu, china sedang kesulitan energy terutama listrik. China bahkan masih membutuhkan tambahan llistrik  untuk industri berat dan industri manufaktur. Para ahli china meyakini bahwa setiap tahun, china akan kekurangan energy, hal ini kemudian dibuktikan dengan dinon aktifkannya duabuah pembangkit yang terbesar untuk menghemat penggunaan energy.

Explotasi di lepas pantai ladang gas di laut china baik dari china maupun jepang, telah memeperkeruh hubungan dari dua negara yang powerfull di asia ini. Bagi jepang, penyulingan yang dilakukan china sangat memungkinkan melewati batas territori jepang dan hal itu dianggap illegal. Sedangkan China mulai berbicara banyak mengenai Tokyo yang ketakutan terhadap kebangkitan ekonomi china, sehingga mencoba untuk membendung itu paling tidak melalui Laut Cina Timur. Rivalitas perminyakan ini bisa menimbulkan maslaah serius yang lainnya yang mengarah kepada perpolitikan kedua negara.

Isu inipun semakin memuka ketika pada agustus 2001, pemerintah China telah merampungkan kontrak kerjasama dengan perusahaan China dan dari negara lain termasuk perusahaan raksasa Royal Dutch/Shell dan perusahaan Amerika Serikat, Untuk mengeksplorasi dan memproduksi gas di laut china timur seharga miliaran dolar. Pemerintah jepang sendiri, selalu mengultimatum china bahwa ladang eksplorasi tersebutmungkin saja, menjangkau ZEE Jepang, dan jepang secara resmi meminta Beijing untuk mengirimkan data lokasi semua ladang perminyakan, akan tetapi Beijing menolak permintaan tersebut

Isu ini kembali memanas di awal bulan Juli 2010 ketika jepang mengkomfirmasikan bahwa Beijing telah membangun konstruksi di dalam area ZEE china, 4 km dari klaim jepang atas perbatasan antara kedua negara dan Jepang percaya bahwa kedepannya China akan membuka banyak pertambangan lagi.Jepang menganggap bahwa data-data yang dimnita jepang tersbeut pada dasarnya merupakan data angkatan laut china yang mengamankan posisi pertambnagan gas dan ladang minyak.

Pada 7 juli, jepang mulai mengeksplorasi ZEEnya di wilayah laut china timur untuk gasalam dengan mengirimkan kapal survey dan jugamencari wilayah wialyah eksplorasi gas dekat dari batas dengan china. Hal itu kemudian mengundang reaksi dan Wang Yi, wakil menteri luar negeri chian dan mengasumsikan bahwa jepang telah bertindak terlalu berlebihan serta telah melanggar kedaulatan china.Ladang gas yang menjadi pentanyaan adalah Chunxiao, yang berlokasi 4 km didalam ZEE China yang diklaim oleh jepang sebaga ibatas wilayahnya.

Sebenarnya kedua negara telah menandatangani UNCLOS mengenai pemanfaatan kekayan alam sebesar 200 mil atau 370 km, dari pinggir pantai. Tetapi, baik Beijing maupun Tokyo keduanya tidak menyetujui dimana batas laut berada. Atas dasar ini, China mengklaim lading minyak Chunxiao tidak melewati garis batas Negara.

Jalur strategis pelayaran dunia

Laut China timur merupakan area strategis bagi China, Jepang dan amerika serikat karena wilayah ini merupakan jalur masuk ekspedisi barang Asia Timur dengan Eropa dan Timur Tengah. Terutama hasil minyak bumi , pertambagan dan ekspor impor ke wilayah Beijing, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara serta jalur alternative bagi Rusia.

Di bagian utara laut ini merupakan wilayah utama untuk memasuki Selat Tsusuhima yang merupakan penghubung untuk memasuki selat Laut Jepang. Di bagian selatan terdapat Taiwan, wilayah yang selalu mejadi perdebatan sengit antara china dan amerika serikat. Bagaimanapun, china melihat jepang sebagai bagian dari Amerika Serikat yang selalu mendukung baik secara logistik maupun militer terhadap Taiwan dalam hal kasus China-Taiwan.

Hal lain yang menjadi perhatian dalah munculnya sentiment sentiment yang akan diakumulasikan menuju rivalitas militer China-Jepang . China sedang giat giatnya membangun angkatan lautnya dengan membeli super kilo yang didesain untuk pengarahan militer terhadap Taiwan. Selanjutnya china berharap akan memperluas kekuatan pertahanan lautnya ke wilayah Pasifik Barat. Akan tetapi, untuk melakukan hal tersebut, China harus menggerakkan submarinenya ke wilayah armada lautnya yang lain, dengan melewati Kepulauan Ryukyu. Tidak hanya patrol Jepang, tetapi wilayah Taiwan serta pangakaln militer Amerika Serikat di Okinawa.

Keamanan dan ketegangan militer

Siapapun yang menguasai Laut China Timur, akan mengontrol militer dan maritime paling penting didunia. Yang menjadi ancaman Cina adalah Hubungan bilateral Jepang dan Amerika Serikat. Ketika kedaulatan Jepang yang sudah tentu berkaitan dengan militer terganggu, maka sudah pasti akan berhadapan dengan Amerika. Dalam hal ini, ketika strategi militer menjadi pilihan Jepang untuk mengamankan akses energy, maka kebutuhan pengembangan persenjataan menjadi keharusan. Apalagi baru-baru ini, Jepang mengadakan latihan militer bersama dengan AS. Disisi lain, saat ini Jepang juga telah mengambil langkah-langkah: 1) meningkatkan kemampuan air-refueling yang berguna untuk memperluas wilayah jangkauan operasi militer di kawasan selatan Jepang; 2) Melakukan peningkatan kemampuan (upgrade) terhadap pangkalan udara yang terletak di pulau-pulau di sekitar Kepulauan Senkaku; 3) Memperbesar armada militer angkutan udara; 4) Membentuk pasukan reaksi cepat (Rapid Deployment Force), dan; 5) Meningkatkan kemampuan (up-grade) sistem AEGIS angkatan laut. Hal ini kemudian menjadi ancaman terbesar bagi Cina dalam sengketa pulau ini. Antisipasi ancaman : Cina telah mengetahui ancaman dari klaim yang telah ia lakukan. Cina dan jepang sama-sama The Big Power di Asia. Jadi saat ini, untuk mengimbangi ancaman tersebut Cina melakukan pembangunan kekuatan militer dan menempatkan dia pada posisi kedua militer setelah Amerika Serikat. Kapal perang China siap tempur di gugusan kepulauan Beijing.

Pada 10 novemer 2004, submarine China tertangkap sinyal Self defence force dariJepang dan dipergoki oleh helicopter Jepang di wilayah perairan jepang. Agen keamanan jepang menganggap haltersebut merupakan provokasi dan “show off” submarine jepang. Submarine tersebut teridentifikasi merupakan Tipe 09-1 Han, dengan kelas ‘menyerang’. Kapal tersebut merupakan kapal dengan tenaga nuklir yang didesain pada tahun 1950an dan dibuat pertamakali pada tahun 1974.

Hal ini kemudian menyebabkan keruhnya suasana di laut china timur. Tensi tinggi kedua negara  meningkat sejak bulan april 2005, ketika penghancur angkatan laut china mengarahkan senjatanya kearah  Japanese Maritime Self-Defense Force P3-C di wilayah yang dekat dengan wilayah perairan yang masih disengketakan, dekat dengan Chunxiao. Sementara itu, agen berita Kyodo memberitakan bahwa China mengirimkan pesawat mata mata ketiga kalinya dalam rentang dua bulan. Sebuah rekaman video bentrokan kapal laut antara patroli perairan Jepang dan sebuah kapal pemukat China pada September 2010 telah beredar di dalam jaringan sehingga mengancam regangnya hubungan Jepang-China, demikian menurut media.

Kedua negara raksasa di Asia itu terlibat pertikaian sengit dalam beberapa tahun karena kejadian pada awal September di dekat kepulauan sengketa di Laut China Timur yang memicu Jepang untuk menangkap nakhoda dan menahannya selama beberapa pekan.

China menganggap penangkapan tersebut tidak dibenarkan dan ilegal serta meresponnya dengan sejumlah protes dan tindakan diplomasi lainnya. Rekaman video bentrokan yang direkam oleh patroli perairan Jepang telah diperlihatkan kepada Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, serta sejumlah anggota parlemen Jepang, namun tidak disiarkan kepada masyarakat umum yang ditakutkan dapat memperburuk persengketaan.

Jepang menyatakan kekhawatiran terbarunya mengenai perkembangan kekuatan militer China pada Kamis (3/3/2011). Sehari sebelumnya, dua pesawat militer China terbang di dekat kepulauan sengketa di Laut China Timur. Juru bicara pemerintah Yukio Edano mengatakan Jepang mengirimkan pesawat jet tempur untuk mengusir pesawat China tersebut pada jarak 55 kilometer dari kepulauan yang disebut Senkaku dalam bahasa Jepang dan Diaoyu dalam bahasa China. Menurut laporan media Jepang yang mengutip pejabat yang tidak menyebutkan identitasnya, peristiwa itu adalah jarak terdekat yang dilakukan pesawat militer China ke kepulauan yang tengah menjadi pusat perselisihan kedua raksasa Asia itu.

Namun, pesawat China yang diidentifikasi oleh Kantor Berita Kyodo sebagai pesawat mata-mata dan anti kapal selam Y-8 tidak memasuki wilayah Jepang dan langsung pergi setelah mereka berhadapan dengan pesawat Jepang. “Kami memperhatikan modernisasi kekuatan militer China dan menjadikan pertumbuhan dan aktivitas intensifnya sebagai bahan pertimbangan kami,” kata Sekretaris Kabinet Edano.

Tahun lalu pasukan pertahanan Jepang mengirim pesawat tempur sebanyak 48 kali sebagai respon atas pesawat militer China yang terbang dekat ke wilayah Jepang antara April dan Desember menurut harian Yomiuri Shimbun. Kedua kekuatan Asia itu mengalami perselisihan diplomatik yang makin buruk selama bertahun-tahun setelah konflik di perairan yang masih dalam sengketa pada September antara dua kapal patroli pantai Jepang dengan satu kapal nelayan China

Munculnya aktor luar dalam permasalahan sengketa

Salah satu kebijakan yang telah China lakukan bercermin dari penangkapan nelayannya di Senkaku adalah Pemerintah Cina menekan serius pemerintah Jepang dengan melakukan manuver di bidang diplomatik, antara lain membatalkan kunjungan pelajar Jepang ke Cina, melarang atletnya ikut dalam kompetisi perlombaan di Jepang, dan yang paling jelas adalah menarik Dubes Cina untuk Jepang seminggu setelah kejadian, mendorong demonstrasi anti Jepang, melarang ekspor logam bumi ke Jepang yang sangat dibutuhkan untuk industri teknologi tingginya. China juga menangguhkan hubungan diplomatic tingkat tingginya dengan Jepang. China sebelumnya juga telah menghentikan rencana perundingan soal eksplorasi bersama sumber minyak dan gas di Laut China Timur, menunda pembicaraan soal perdagangan batu bara, dan membatalkan negosiasi penambahan frekuensi penerbangan sipil di antara dua negara. Terakhir, China secara mendadak membatalkan undangan kepada 1.000 anak muda Jepang ke Shanghai Expo

Jepang benar-benar ingin mengamandemen konstitusinya termasuk artikel IX yang anti perang tampaknya akan kian mengelisahkan negara-negara tetangganya, yang pernah diserbu pasukan Jepang pada awal abad ke-20 silam. Ini karena Amerika tidak selamanya membantu kepentingan-kepentingan nasional Jepang seperti dalam kasus perebutan pulau Senkaku dengan Cina, pihak Amerika tidak membantu dengan alasan bahwa itu merupakan masalah domestik antara Jepang dengan Cina dan kasus yang paling baru adalah banyak demonstrasi anti Jepang di Cina dan Korea Selatan.

Di Asia, secara terang-terangan, AS menyatakan Cina sebagai ancaman potensial bagi kepentingannya. Ini terlihat dari pandangan Pentagon yang menyatakan, “di masa datang, para pemimpin China bisa saja tergoda menggunakan kekuatan atau melakukan pemaksaan untuk mendapatkan keuntungan diplomatik atau menyelesaikan persoalan secara tepat lewat penggunaan kekuatan” (Kompas, 8 Mei 2006). Begitu pula dengan pernyataan Condeleezza Rice bahwa Cina bisa menjadi “kekuatan negatif” di kawasan Asia Pasifik sehingga pembangunan militernya perlu diawasi.

Hubungan Tokyo – Beijing semakin tegang dan mengkhawatirkan. Mungkin tidak ada negara di dunia yang senang dengan konflik dan perang  dua negara, kecuali satu negara yang selama ini menjadi polisi militer dunia, Amerika Serikat.  Konflik Asia Timur seakan menjadi berkah dan sebagai sebuah kesempatan dan dapat digunakan untuk berperan di kawasan Asia Timur dengan suatu alasan untuk memperpanjang eksistensi dan penempatan militer di Jepang dan pangkalan rudal.

Washington dengan cepat mengontak Pemerintah Jepang bahwa kekuatan militer AS siap untuk berada di belakang Jepang. Gedung Putih memberikan garansi ke Jepang bahwa  militer AS di Okinawa, Yokosuka dan lainnya dapat menjadi bagian dari kekuatan Jepang seandainya Jepang diserang oleh China.

Apalagi Amerika Serikat sendiri memiliki konflik dengan China terkait semenanjung Korea.  Masalah nuklir Korea Utara menjadi ganjalan hubungan China AS. Amerika Serikat dan Cina juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga perannya dalam mencari solusi konflik di Semenanjung Korea lebih mudah.

China protes dan mengecam latihan militer bersama AS dan Korea Selatan. Menurut Beijing, latihan tersebut menyusupi area di mana militer China beroperasi. AS dan Korsel pun berulangkali menegaskan, latihan ini adalah ajang unjuk gigi kepada Korea Utara (Korut) yang dituduh menembakkan torpedo ke kapal perang Korsel.

Beberapa pemimpin militer China dan analis melihat upaya AS mengepung China. Dalam sebuah artikel yang dipublikasi The Global Times, ahli Jepang di Chinese Academy of Social Sciences Feng Zhaokui mengatakan, “AS mencoba memelihara koalisi anti China.”

Cina dengan pertimbangan power besar yang dia miliki, sebagai raksasa ekonomi dan sebagai penyumbang terbesar ekspor logam bagi Jepang dan beberapa negara didunia juga disertai kemapanan militer yang ia miliki, akan memaksa Jepang untuk memikirkan kembali sikapnya dalam mempertahankan senkaku island dan sikapnya terhadap China. Ini dapat dilihat ketika China menhentikan eskpornya yang kemudian melemahkan ekonomi Jepang dan membuat pengusaha Jepang kalang kabut.  Cina juga saat ini telah mapan dari segi militernya sehingga kemungkinan untuk menghadapi Jepang sangatlah mungkin terjadi. Keseluruhan hal diataslah yang kemudian membentuk geopolitical codes Cina dalam sengketa pulau Diaoyou atau pulau Senkaku. Itulah contoh dimana pertimbangan geografi politik dapat melahirkan dan mendefinisikan politik luar negeri sebuah Negara

Mengapa China begitu diresahkan oleh banyak negara adidaya, khususnya Amerika Serikat? Ada fakta-fakta menarik dibalik ini semua. Berbagai predisksi para analis mengenai China memang bermacam-macam tetapi semuanya memiliki  gambaran yang jelas bagaimana China sekarnag ini.

Hal ini dipicu oleh membesarnya porsi anggaran militer China yang naik 14,9 persen pada tahun 2009. Pada Tahun 2009 Pemerintah China menaikkan anggaran militernya mencapai 480,686 miliar yuan (70,2 miliar dolar AS), meningkat 62,482 miliar yuan dari 2008, kata jurubicara parlemen China, Li Zhaoxing kepada para wartawan seperti dikutip AFP.

Kemudian pada tahun 2010 ini, Pemerintah China meningkatkan lagi anggaran pertahannya dengan besaran yang masih diperhitungkan, kemungkinan seperti yang di lansir sebuah lembaga riset perdamaian internasional di Stockholm itu, China akan menambahakn lagi sebesar 10% dari 84,9 miliar dollar tahun lalu untuk anggaran militer tahun 2010.

AS melihat China sebagai naga besar yang sedang menggeliat baik dari segi ekonomi maupun militer. Perkembangannya sangat dinamis bahkan jauh lebih dinamis dibandingkan dengan masa kebangkitan renaissance barat sendiri. China memiliki karakteristik yang kuat dan sulit untuk ditandingi. AS pun tidak mampu untuk melemahkan ekonomi China, karena jaringan China justru ada dimana-mana. Perantauan China bukan saja sebagai imigran tetapi seakan seperti menteri perdagangan pada banyak negara yang siap menjalin perdagangan strategis dan menguntungkan dengan China. Gilanya hal seperti itu juga terjadi di Negara AS sendiri.

Para investor AS pun tidak bisa untuk berdiam diri selain ikut menginvestasikan dananya di China, karena angka-angka ekonomi memaksa mereka harus berbuat seperti itu untuk dapat bertahan. China merupakan peluang bagus untuk meluaskan usahanya dengan memanfaatkannya sebagai pasar yang besar bagi produksinya. Sedangkan bagi konsumen AS yang juga pragmatis, bukanlah saat yang tepat untuk berbuat secara patriotis disaat kebutuhan dan keadaan ekonomi yang mendesak, membuat mereka harus mencari produk murah tetapi standar kebutuhan sudah terpenuhi. Pengangguran dan penurunan kapasitas ekonomi masyarakat AS justru menjadi pasar yang tepat bagi produk China. Selamat tinggal bagi produk kamera Soni atau mobil Ford hanya hanya menjadi sarang laba-laba di toko atau dealer di AS. Hukum ekonomi memang kejam terhadap terhadap ibukandung kapitalis pun.

Bagi para industriawan senjata AS, keberadaan China menjadi napas yang kedua setelah hampir mati paska perang dingin dengan Uni Soviet selesai. Pagi para ilmuwan dan periset persenjataan kebangkitan China adalah berkah bagi kelanjutan risetnya yang amat sangat membutuhkian biaya jutaan dolar.

Demikian juga bagi para jenderal di Pantagon kebangkitan China adalah alas an untuk dapat mengajukan anggaran militer lebih tinggi dari paska selesainya perang dingin dengan Uni Soviet agar dapat disetujui oleh Kongres. Darah mereka adalah anggaran militer dan komisi dari proyek-proyek pemerintah yang akan disaluarkan kepada pengusaha yang juga merasa mendapatkan berkah atas kebangkitan China.

Kemajuan ekonomi China telah diprediksi akan menyusul dan melampaui AS paling lambat dalam pertengahan abad ke 21 ini. Hal ini menimbulkan banyak pusing kepala bagi pimpinan AS. Sebab ekonomi yang makin maju berarti juga kemampuan yang makin meningkat untuk meluaskan pengaruh politik di seluruh dunia.

Keberhasilan ekonomi China memungkinkannya memperkuat dan memodernisasi kekuatan militernya. AS tidak hanya risau terhadap kemampuan China untuk merebut Taiwan secara militer, melainkan khawatir terhadap peran militer China pada umumnya. Keberhasilan China mengembangkan roket anti-satelit yang pada bulan Januari 2007 sanggup menembak jatuh satelit, dinilai AS sangat serieus.

AS sangat risau terhadap hubungan China dengan Rusia, Brasil dan India dalam persekutuan BRIC. Rusia secara terang-terangan menolak AS hadir dalam pertemuan di Brasilia pada beberapa bulan yang lalu. BRIC juga berencana untuk menerbitkan mata uang baru yang tentunya akan menyaingi dolar. China juga memiliki ikatan diplomatic yang kuat dengan Korea Utara dan Iran.

Perusahaan-perusahaan China mendapatkan banyak keuntungan di Iran dan Rusia sebagai kontraktor migas, sementara kontraktor AS sendiri terdepak akibat situasi politik yang tidak menguntungkan bagi negaranya. Dari Iran, China mendapatkan suplai minyak yang teratur.Diplomasi China juga sangat berhasil di kawasan Asia Tengah, bahkan China dapat membangun jalan tol di kawasan jalur sutra untuk menyuntidkan produknya pada Negara-negara Balkan tersebut. Asia Tengah juga penghasil minyak sangat loyak mensuplai ke China.

Selain itu industri kedirgantaraan Cina kini menjadi perhatian besar pemerintah China kemampuan berbagai teknologi pesawat terbang akan terus ditingkatkan termasuk prototype pesawat tempur Fighter China-1 (FC-1) yang diberi nama Xiaolong (Fierce Dragon). Pesawat dengan sayap delta bermesin tunggal ini dikatakan memiliki kemampuan sekitar 85 persen dari pesawat tempur F-16 generasi ke-4, dan diperkirakan akan dipassarkan dengan harga hanya separuh dari pesawat F-16 tersebut. Dalam perkembangan kedepan modernisasi peralatan perang akan manjadi bisnis yang menggiurkan bagi China.

Prototype pesawat China yang akan terus diupgrade seperti prototype ke-4 dari pesawat ini dengan kode FC-4. Seperti yang dilansir kantor berita Cina Xinhua yang memberitakan bahwa pengujian prototype ini pada tanggal 28 April 2006 lalu telah berhasil, dengan kemampuan yang lebih baik dari prototype sebelumnya. Pesawat ini dapat dipersenjatai dengan rudal active-guided air-to-air jenis PL-12 maupun persenjataan lain seperti precision guided-munition.

Cina juga telah berhasil menjual sejumlah pesawat tempurnya (F-7MG) kebeberapa negara seperti Banglades, Nigeria dan Pakistan. Potensi pasar lainnya adalah Mesir, Iran, beberapa Negara Afrika dan Amerika Latin. Pakistan telah memesan jenis pesawat FC-1 Xiaolong dengan system ko-produksi dengan industri local yang nantinya akan diberi nama Joint Fighter-17 (FJ-17 Thunder).

Selain memproduksi sendiri China juga melakukan import besar-besaran berbagai peralatan militer kepada Rusia. Teknologi Rusia dianggap telah dapat menyaingi teknologi AS. Tanpa sama sekali terpengaruh krisis ekonomi import China malah terus meningkat. Seperti kita ketahui Rusia sekarang ini saja sudah mulai meningkatkan kapasitas produksi militernya, salah satu konsumennya adalah China.

Pertikaian antara China dan Korea Selatan pula melibatkan Batu Socotra, sebuah terumbu dasar laut di mana dibinanya stesen penyelidikan sains oleh Korea Selatan. Biarpun kedua-dua pihak tidak menuntut batu tersebut sebagai wilayah masing-masing, namun pihak China membantah kegiatan Korea di situ sebagai melanggar hak-hak ZEE-nya.

Dalam mengatasi masalah di Laut Cina Timur, negara-negara yang terlibat dalam sengketa telah berusaha untuk melakukan berbagai perundingan dan negoisasi untuk memecahkan dan mencari solusi terbaik dari sengketa tersebut. Beberapa perjanjian dan negoisasi mengenai sengketa di Laut Cina Timur yakni sebagai berikut:

  1. Informal Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: April 1996
  2. Informal Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: August 1996
  3. 1st round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: December 1996
  4. 2nd round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: February 1997
  5. 3rd round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: April 1997
  6. 4th round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: June 1997
  7. Informal Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: June 1997
  8. Informal Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: July 1997
  9. 5th round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: August 1997
  10. 6th round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: August 1997
  11. 7th round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: August 1997
  12. 8th round of the Japan-China Consultation on the Law of the Sea and Fishery: November 1997

Source: China Division, Ministry of Foreign Affairs, Japan

  1. Chronology of East China Sea consultations 1998- Japan-China Consultation on the Law of the Sea and the Delimitation of EEZ (Kaiyoho ni kansuru Nittyu Kyogi)
  2. 1st round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: August 1998
  3. 2nd round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: January 2000
  4. 3rd round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: September 2000
  5. 4th round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: December 2001
  6. 5th round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: November 2002
  7. 6th round of the Japan China Consultation on the Law of the Sea: December 2003
  8. 1st round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 25 October 2004
  9. 2nd round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 30-31 May 2005
  10. 3rd round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 30 September-1 Oct 2005
  11. Informal Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: January 2006
  12. 4th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 6-7 March 2006
  13. 5th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 18 May 2006
  14. 6th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 8-9 July 2006
  15. 7th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 29 March 2007
  16. 8th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 25 May 2007
  17. 9th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 26 June 2007
  18. 10th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 11 October 2007
  19. 11th round of the Japan-China Consultations concerning the East China Sea and Other Matters: 14 November 2007
  20. 1st Ministerial Meeting: 1 December 2007
  21. Vice-Ministerial Meeting in Beijing, 22-23 February 2008
  22. Vice-Ministerial Meeting in Beijing, 14 April 2008

Laut Cina Timur sangat terkenal dengan sengketa Kepulauan Senkaku. Disengketakan oleh Cina, Jepang dan Taiwan. Sengketa ini dikarenakan masing-masing kedua belah pihak merasa terikat secara historis dengan kepulauan tersebut. Pada awalnya Cina tidak pernah sama sekali mengungkit-ungkit permasalahan klaimnya atas wilayah ini. Akan tetapi, sejak diketahui terdapat cadangan minyak dan gas disana, China semakin gencar dalam mengklaim wilayah tersebut. Kebutuhan ekonomi China dalam hal industri sangat sinkron dengan sikap Cina dalam mengklaim wilayah Daiyou. Jika China dapat dengan bebas menguasai kepulauan ini, maka akan sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan energi nya. Mengingat Cina merupakan negara industri terbesar didunia. Disisi lain Jepang juga tidak akan kalah dalam hal kepemilikan sumber daya dengan Cina. Rivalitas antara dua negara besar Asia ini akan mengakibatkan potensi kekacauan apalagi jika mereka sudah melintasi batas negara masing-masing. Selain karena Kepulauan ini merupakan kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, ditambah dengan Laut Cina Timur merupakan jalur pelayaran strategis dunia yang sangat penting bagi Cina, Jepang, Amerika Serikat. Terutama untuk jalur masuk ekspedisi barang seperti minyak bumi, pertambangan dan ekspor impor ke Beijing, Jepang, Korea Selatan dan Korea Utara dan jalur alternativ bagi Rusia. Untuk permasalahan sengketa di Laut Cina Timur ini juga akan mengancam rivalitas militer antara kedua negara tersebut yang akan berpengaruh pada kemananan di Laut Cina Timur. Telah terlihat kedua negara saling panas memanasi dalam hal militer. Cina telah meningkatkan kesiagaannya terhadap militer Jepang disekitaran perairan Laut Cina Timur. Belum lagi situasi ini diperkeruh dengan intervensi Amerika Serikat yang berada dibelakang dan dipihak Jepang.

Dalam menghadapi Cina yang dewasa ini telah berkembang dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia serta hubungannya dengan negara-negara seperti Rusia, menjadi salah satu langkah yang sulit jika negara-negara lain ingin melawannya. Apalagi mereka sangat bergantung pada Cina dalam hal ekonomi. Sedikit saja salah langkah dalam menghadapi Cina, mereka akan berhadapan langsung dengan embargo ekonomi China yang akan melumpuhkan ekonomi mereka khususnya Amerika Serikat yang kita ketahui banyak memiliki utang pada China dan impor dari China.

Dalam menghadapi permasalahan sengketa Kepulauan Senkaku ini, masing-masing negara harus memikirkan kembali bagaimana sikap mereka dalam mengklaim pulau tersebut. Kejelasan pemilik memang harus ditemukan segera dan negoisasi yang akurat harus terjadi sehingga keamanan dan stabilitas disana dapat terjaga dan menjadi stabil. Mengingat kondisi yang kisruh akibat persaingan militer dan juga intervensi asing yang tidak diinginkan.

 DAFTAR PUSTAKA

AS. Sukanta HM, Konflik tak berujung, Jakarta: PT.Mizan Publika, 2007

Noor, S.M, Sengketa Internasional Kawasan Perairan Asia Timur, Makassar Pustaka Pena Press Makassar, 2009

Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Agreement UNCLOS. n.d. Diaskses dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/c losindx.htm Diakses tanggal 3 Desember 2011

Convention Agreement. n.d Diakses dari

  http-//www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/c losindx.htm Diakses tanggal 3 Desember 2011

Q & A South China Dispute. http://www.bbc.co.uk/news/world-asia­pacific-13748349. Diakses tanggal 25 September 2011.

Regional Cooperation. n.d. Diakses dari

  http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=RegionalCo operation&IDP=5&P=Regional&l=id Diakses tanggal 3 Desember 2011

Timeline: Disputes in the South China Sea. http,//www.siiaonline.org/?q=research/timeline-disputes-south­china-sea. Diakses tanggal 25 September 2011.

The South China Sea. http://www.economist.com/node/21016161. Diakses tanggal 24 September 2011.

Who’s right in the South China Spat? http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia­pacific/7941425.stm. Diakses tanggal 23 September 2011.

Drifte, Reinhard (2008). Japanese-Chinese territorial disputes in the East

China Sea – between military confrontation and economic

cooperation. Working paper, Asia Research Centre, London

School of Economics and Political Science, London UK.

James Manicom. What is the East China Sea Worth? Conceptions of value in maritime territorial disputes. Flinders University

Mark J. Valencia. The East China Sea Dispute: Context, Claims, Issues, And Possible Solutions.

Ji Guoxing. “The Diaoyudao (Senkaku) Disputes and Prospects for Settlement, ” The Korean Journal of Defense Analysis, vol. 6, No. 2 (Winter, 1994), pp. 285-311

James C. Hsiung. 2005. Sea Power, Law of the Sea, and China-Japan East China Sea “Resource War”. New York University

East China Sea Energy Data, Statistics and Analysis – Oil, Gas, Electricit. Diakses melalui www.eia.doe.gov

Microsoft encarta, 2008.

Haslim Djalal, Potential Conflicts in the South China, Sea: – In Search of
Cooperation,
The Indonesian Quarterly., Vol.XVIII, No.2, 1990

Dieter Heinzig, Disputed Island in the South China Sea, Otto Harrassowittz, Wieshaden 1976.

Mark J. Valencia, The South China Sea:       Constrain to Marine
Regionalism,
East-West Center Publications, Honolulu 1980.

South China Sea Oil, Two Power of Ownership and Development, Institute of Southeast Asian Studie (ISEAS), Singapore 1977.

Hoang Sa and Truong Sa Archipelagos Vietnamese Territories, Ministery of Foreign Affairs Socialist Republic of Vietnam, 1981.

Lee Lai To, Managing Potential Conflicts -in the South, china Sea: Political and Security Issue, The Indonesian Quarterly, Vol.XVIII, No.2, 1990.

Lau Teik Soon and Lee Lai To, The Security of the Sea Lanes in the Asia­Paciffe Region, Center for Advance Studies and Singapore Institute of International Affairs, Singapore 1988.

S M Noor, Some Basic Principles of International Dispute on East Asia, Skripsi Fakultas Hukum Unhas, 1986.

choon-ho Park, East Asia Asia The Law of the Sea, Seoul National University Press, Seoul 1983.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...