Kasus Audrey dan Revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Seto Mulyadi, Sumber Gambar: okezone.com

SAAT saya menyusun tulisan ini, petisi #justiceforaudrey telah ditandatangani lebih dari 3 juta orang. Saya terharu oleh besarnya simpati masyarakat pada gadis malang itu. Masalahnya, apa tuntutan nyata dalam petisi tersebut? Saya melihat adanya kebutuhan untuk lebih mempertajam petisi tersebut. Petisi dukungan untuk Audrey itu patut dijadikan sebagai momentum perombakan pranata peradilan pidana anak yang dimiliki negeri ini.

Saya juga menerima kiriman dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Lewat rilisnya, Kementerian itu menekankan pentingnya langkah penegakan hukum dengan berpijak pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Pandangan ini terkesan begitu normatif, yang pada gilirannya justru sewajarnya dibaca sebagai bahan berefleksi. Refleksi yang sekali lagi bermuara pada urgensi pembenahan sistem peradilan anak di Tanah Air.

Wacana tentang hal ini saya rangkai dalam sejumlah pertanyaan reflektif berikut ini. Pertama, apakah kita sepakat bahwa doktrin rehabilitasi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak justru membuat hukum tampak semakin tumpul di hadapan anak-anak yang kepribadian maupun tingkah lakunya semakin agresif?

Tidak mengejutkan, secara global, tercatat bahwa usia anak yang melakukan perbuatan pidana untuk pertama kalinya memang semakin belia. Dari segi intensitas, publik juga berulang kali kaget mendapati berita tentang semakin banyaknya kejahatan tak terkira yang dilakukan anak-anak.

Kedua, berpijak pada butir pertama, apakah kita setuju bila dikatakan bahwa kenakalan anak-anak (juvenile delinquency) meski terkesan humanis tetapi justru menurunkan derajat keseriusan masalah pidana yang dilakukan anak-anak? Apabila setuju, patutlah juvenile delinquency ini diganti dengan istilah criminal delinquency atau kejahatan anak.

Ketiga, doktrin rehabilitasi membutuhkan kerja sama solid antara institusi penegakan hukum dan institusi-institusi di luar itu. Masalahnya, samakah penilaian kita bahwa saat doktrin tersebut diimplementasikan di lapangan, pada kenyataannya kesiapan lintas sektor, lintas kementerian dan lintas lembaga masih membutuhkan penguatan besar-besaran? Seharusnya memang demikian. Apalagi, saat kasus ditangani dengan diversi, masalahnya harus dikelola dari berbagai dimensi. Tidak hanya dari dimensi hukum.

Pengasuhan keluarga, ketangguhan masyarakat, pembangunan karakter anak, dan lainnya tidak berada di ranah pidana. Urusan keluarga dan kemasyarakatan semacam demikian lebih relevan bila ditangani lewat kerja-sama, antara lain Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Bahkan, bila menyadari semakin kompleksnya persoalan, pelurusan sekaligus pemurnian nomenklatur yang saya usulkan sekian belas tahun silam kiranya patut segera direalisasikan, yaitu dengan membentuk secara khusus Kementerian Urusan Anak tersendiri.

Keempat, tanpa harus mencari kambing hitamnya di media sosial, kejadian perkelahian dan pengeroyokan di kalangan anak-anak sebetulnya merupakan hal yang cukup tipikal. Semacam fenomena gunung es yang sudah terjadi sejak tempo dulu. Dari sekian banyak kasus perkelahian dan pengeroyokan, tampaknya tidak sedikit yang diselesaikan lewat diversi.

Realitasnya, akankah kita sepakat bahwa diversi (sebagai salah satu pelaksanaan doktrin rehabilitasi) belum teruji benar efektivitasnya bagi tiga pihak, yakni pemulihan hak korban, perbaikan perilaku pelaku, serta jaminan akan rasa aman publik.

Pihak ketiga, yaitu masyarakat, bahkan masih sering terkesampingkan dalam sorotan dan penerapan diversi. Diversi sejauh ini tampak masih sebatas didudukkan sebagai kepentingan pelaku dan korban semata. Padahal, manakala pelaku dijatuhi sanksi nonpemenjaraan, respons masyarakat sungguh-sungguh butuh untuk diperhatikan.

Kelima, atas dasar itu semua, pada tataran paling mendasar, akankah kita bergandeng tangan untuk melakukan revisi signifikan terhadap UU Sistem Peradilan Pidana Anak? Materi revisi yang saya usulkan berkutat setidaknya pada tiga aspek, yakni penurunan batasan usia anak, penentuan jenis perbuatan pidana anak yang dapat dikenakan sanksi yang diperberat atau bahkan dikecualikan dari UU Sistem Peradilan Pidana Anak, serta penetapan batas hukuman minimal.

Jalan revisi

Merevisi UU merupakan kerja besar dan cukup memakan waktu. Revisi atas sebuah legislasi juga harus dipicu kegentingan yang tak bisa ditawar.

Pada sisi lain, sebagaimana tertulis pada alinea awal tulisan ini, lebih dari tiga jutaan tanda tangan pada petisi #justiceforaudrey merupakan simbol kesadaran masyarakat luas bahwa Indonesia sungguh membutuhkan produk perundang-undangan yang lebih tegas, sebagai batu pijakan penanganan kasus-kasus pidana yang dilakukan anak-anak. Ini merupakan kegentingan yang sudah sangat jelas berada di depan mata.

Untuk mengakomodasi itu semua, bola kini berada di tangan pemerintah. Sungguh indah bila pemerintah bisa segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Presedennya sudah ada, yaitu Perppu tentang kebiri (pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak) yang kemudian dinaikkan kelasnya menjadi UU tentang Revisi Kedua atas UU Perlindungan Anak No 17 Tahun 2016.

Revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang didahului dengan dikeluarkannya Perppu, ialah penawar sekaligus penyemangat agar kita mampu beranjak dari  ‘justice for Audrey’  ke dimensi yang lebih luas lagi, yaitu ‘justice for all’.

Kiranya ribuan anak akan dapat semakin terlindungi dari monster bullying yang masih terus bergentayangan dan kasus Audrey tidak akan pernah lagi terulang di negeri ini. Semoga.

Oleh:

Seto Mulyadi

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) 

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Artikel Ini Telah Muat Sebelumnya di Media Indonesia, 12 April 2019

You may also like...