Suksesi Politik dan Ritual Anarki

Untuk apa kekuasaan ada, untuk siapa kekuasaan berguna, kepada siapa kekuasaan berkhidmat?. Pertanyaan ini terus muncul disetiap zaman dan di setiap episode peradaban. Berbagai pencarian bentuk sistem politik, lahirnya dan matinya suatu negara, tumbuh dan tenggelamnya peradaban, semuanya bermuara pada satu soal: yakni bagaimana mencari bentuk kekuasaan. Atas nama kekuasaan, makam pahlawan dibangun diberbagai kota. Kekuasaan memang selalu meminta korban.Tulisan ini hendak menguji keabsahan suksesi politik sebagai sebuah agenda negara demokrasi dengan kebiasaan ritual suksesi di Indonesia yang berakhir dengan radikalisme dan anarkisme yang disebabkan oleh ambisi kekuasaan yang terlampau besar, sehingga menghalalkan segala cara dalam upaya menciptakan teror politik yang melanda negeri transisi yang pongah ini. selama ini, suksesi di Indonesia diwarnai dengan ritual mistisisme elit-elit politik yang meminta kepada dunia abstrak dengan pertapaan dan bersemedi untuk mendapatkan “wahyu kemenangan” dengan ritual kekerasan militer yang menjaga kamar-kamar pencoblosan dan proses-proses kampanye politik yang mewarnainya, sehingga ritual kekerasan, ritual anarki dan radikalisme adalah merupakan “persembahan” suksesi politik Indonesia yang telah lama menghiasi dunia politik kita. Tanpa pembedahan yang tajam, suksesi politik Indonesia akan selalu diwarnai dengan korba-korban akibat ritual “sesat” dan ritual “sadis” tersebut, tanpa ada rasa bersalah dari aktor-aktor pemain politik yang ada ditingkat elit.

Menurut Alan Brier suksesi politik didefinisikan sebagai cara kekuatan politik disampaikan, atau ditransfer, dari seorang individu, pemerintah atau rezim, ke individu, pemerintah atau rezim lain. Jadi, Suksesi politik adalah menyangkut upacara demokrasi, untuk meneguhkan dirinya sebagai salah satu indikator keberhasilan sebuah negara dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik yang berjalan. Antara “kekuatan” dan “jabatan” dalam suksesi harus benar-benar diterjemahkan secara simultan, karena yang ditransfer adalah “posisi kekuasaan” dan “otoritas kekuasaan” kepada orang lain, yang tentu saja kemampuan seseorang untuk mengapresiasi gagasan yang telah dirintis sebelumnya akan berbeda. Disinilah sesungguhnya akan terbangun satu rezim politik ideologis, yang menghendaki bahwa konstruksi politik yang telah dirintisnya, paling tidak bisa dilanjutkan oleh pewaris ideologis setelahnya. Akibatnya dalam proses transisi diwarnai dengan restu politik dan keterlibatan aktor-aktor lama yang sedang berkuasa untuk menyukseskan kader ideologisnya.

Bagi komunitas yang anti kemapanan, suksesi seperti ini hanyalah merupakan ritual suksesi yang tidak membawa perubahan, akibatnya situasi politik dan pergeseran kekuasaan tidak menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan dan karakter atas sistem politik yang ada. Lahirlah kekuatan politik yang lain yang akan mengancam posisi kekuasaan yang mapan ini, bahkan melabrak kekuatan politik yang mapan demi melancarkan agenda politik yang di usungnya.

Dalam proses suksesi, yang terjadi biasanya adalah gesekan politik yang sedikit memanas, karena pertarungan antara kekuatan politik yang saling merebut kekuasaan bisa menyebabkan terjadinya mobilitas massa politik meningkat. Tingkat emosi sosial ditentukkan oleh dukungan politik yang diberikan oleh mereka atas orang-orang tertentu yang menjadi calon penguasa politik dalam proses suksesi tersebut. Emosi sosial ini dapat bangkit jika terjadi gesekan kencan ditingkat elit, sementara elit yang diatas mengakomodasi tokoh-tokoh kultural untuk mendukungnya dalam menyukseskan agenda politik yang diusungnya. Provokasi elit kultural jauh lebih memiliki daya tarik kental dibanding dengan provokasi yang dimainkan oleh siapapun. Misalnya, di Jawa Timur, seorang ulama dianggap sebagai mesin penggerak massa yang efektif, karena dalam kultur masyarakat Islam Jawa. Ulama adalah pusat segala-galanya. Bahkan ada ulama yang kemudian dimitoskan, hingga kemudian dianggap sebagai pembawa wahyu; suatu pikiran irasional masyarakat tradisional yang masih bisa disaksikan dalam masyarakat Indonesia.

Hampir setiap proses suksesi politik, kekerasan dan anarki adalah merupakan simbol, bahwa suksesi berjalan dengan baik. Seakan-akan anarki adalah merupakan salah satu syarat, bahwa suksesi berlangsung dengan sukses jika dibarengi dengan anarki. Sehingga anarki adalah merupakan ritual yang bersamaan dengan ritual suksesi itu sendiri. Antara ritual anarki dan ritual suksesi sebagai proses politik tidak bisa dipisahkan. Dan celakanya, dalam ritual ini, yang selalu menjadi korban persembahan ritual adalah masyarakat, sementara pemimpin-pemimpin ritual tidak terkena kecipratan atas persembahan ritual tersebut.

Suksesi politik di Indonesia selalu diwarnai oleh ritual-ritual anarki, yang selalu menjadi korban persembahan adalah “manusia-manusia kecil” yang hidup dalam ketergantungan penuh atas permainan kekuasaan yang ada diatas mereka. Soeharto mempertahankan kekuasaan yang begitu lama diatas suksesi politik dengan ritual-ritual anarki yang sangat sistematik. Bahkan perjalanan kekuasaannya dipertahankan dengan persembahan atas “manusia-manusia kecil” ini sebagai tumbal. Dan para korban atas tumbal tersebut bertebaran dimana-mana. Ritual anarki terakhir yang dipersembahkan oleh Soeharto adalah pada tanggal 27 juli 1996, setahun sebelum Pemilu 1997. inilah ritual anarki terakhir yang termasuk dalam kategori sadis sepanjang kekuasaan Soeharto setelah tahun 1990-an.

Ritual anarki dalam proses suksesi politik memang sudah menjadi semacam kewajiban politik yang harus dijalani oleh masyarakat Indonesia, utamanya bagi pemain-pemain politik yang haus akan kekuasaan. Karena kehausan akan kekuasaan menyebabkan “laku bejat” untuk menukarkan darah orang lain dengan kekuasaan yang glamour, bejat dan penuh dusta-dusta.

Perayaan ritual anarki yang paling besar dalam dunia perpolitikan Indonesia terjadi ketika proses penurunan Soeharto tahun 1998, dan diganti oleh B.J Habibie. Anarki massal yang telah menerabas menghancurkan kekuasaan Orde Baru yang hegemonik dan tuntutan politik massa brutal ditahun itu, melahirkan satu catatan politik terpenting bagi proses suksesi politik Indonesia, bahwa proses suksesi yang selama 32 tahun dibawah kendali rezim Soeharto dibajak secara “sadis” oleh kekuatan massa yang tak bisa dipahami sepenuhnya kemauan mereka.

Akhir cerita kekuasaan Soeharto ini, banyak pengamat politik yang bermimpi, bahwa proses politik ditengah transisi demokrasi akan berjalan secara partisipatoris, tanpa ada yang dikorbankan, tanpa ada anarki lagi, tanpa ada janji-janji dusta seperti dulu. Tetapi ritual anarki menjadi semakin gila, korban-korban anarki bertambah kuantitasnya dan tukang-tukang janji dusta semakin menganggap bahwa dusta adalah “berkah politik” yang harus diucapkan. Akhirnya politik dan suksesi politik di Indonesia dipenuhi oleh berbagai cerita-cerita dusta, korban-korban ritual anarki dan ditingkat yang lain pemain politik yang tak pernah merasa berdosa dengan tingkah laku bejatnya.

Ritual anarki kemudian diperparah dengan kehadiran UU No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ritual anarki yang secara serentak terjadi di seantero negeri ini adalah pasca Pemilu tahun 2004 dan Pilkada Langsung sepanjang tahun 2005. Pilkada Langsung telah menambah intensitas suksesi politik lokal, pada saat yang sama juga ditandai dengan meningkatnya korban-korban ritual anarki. Karena ritual anarki terjadi berbarengan dengan suksesi politik yang terjadi disuatu wilayah. Karena kekuasaan logikanya selalu meminta korban, dan gilanya, yang selalu menjadi korban adalah “manusia-manusia kecil”. Pilkada telah menambah rentetan korban atas ritual anarki ini. konflik horizontal, radikalisme massa, dan penghancuran institusi-institusi negara adalah merupakan korban-korban ritual anarki.

Memasuki tahun 2007 ini, Sulawesi Selatan akan diperhadapkan dengan proses suksesi politik, yang sejatinya juga akan melahirkan ritual anarki. Korban dari ritual anarki ini adalah “manusia-mansuai kecil” yang dimanfaatkan oleh tangan-tangan “iblis” kekuasaan dan pemain-pemain politik yang ingin menghalalkan segala cara, persis seperti anjuran Machiavelli. Indikasi kearah ritual anarki menganga lebar dalam proses suksesi pilkada Sul-Sel nanti, karena tokoh-tokoh primordial, elit-elit adat, dan tokoh-tokoh kunci mistik telah banyak diakomodasi oleh para pemain politik untuk dijadikan mesin mengendali massa. Juga tersebarnya Baleho dan brosur salah satu calon di seluruh daerah di Sul-Sel padahal kampanye belum dimulai, adalah indikasi akan rentan terjadinya ritual anarki yang berbahaya bagi masa depan demokrasi di Sul-Sel. Mudah-mudahan suksesi Pilkada di Sul-Sel terjadi tanpa ritual anarki.

Fajlurrahman Jurdi

Tenaga Ahli DPR RI; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia (2005-2010); Peneliti Pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, sekaligus sebagai Redaktur Jurnal Konstitusi Kerja sama dengan MK RI (2009-Sekarang); Lama menjadi santri di IMM dan Muhammadiyah. Menulis Buku antala lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik Muhammadiyah (2007); Komisi Yudisial; Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007); Predator-Predator Pasca Orde Baru, Membongkar Aliansi Leviathan dan Kegagalan Demokrasi di Indonesia (2008); Aib Politik Islam (2009); Paradoks Konstitusi (2009); Gerakan SOsial Islam (2009); Editor Buku-Buku Antara Lain: Feminisme Profetik (2007); Trias Politica Dalam Sistem Ketatanegaraan (PuKAP: 2008); Hukum Internasional (2008); Jalan Terjal Good Governance (2009); Persekongkolan Rezim Politik Lokal (2009); Politik Hukum Pertanahan (2009); Islam dan Konstitusionalisme (2009); Paradoks Kehidupan (2009); Hukum Otonomi Daerah (2010); Hukum Pelayanan Publik (2010); Hukum Korporasi Rumah Sakit (2010); Peradilan Satu Atap Dalam Rezim Hukum Administrasi (2010); Menakar Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Relevansi Konvensi New York dengan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia (2009: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Implementasi Keputusan Arbitrase Asing di Indonesia (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim); Mehamami Sumber Hukum, Jenis, Azas-Azas dan Prinsip-Prinsip Dalam Arbitrase di Indonesia (2010: bersama Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim). Reformasi Mahkamah Agung (2011: Prof. Dr. Slamet Sampurno Soewondo dan Prof. Dr. Hamzah Halim).

You may also like...